Rumah Kaca: Gol
Selasa, 07 Juni 2011, 06:45 WIB
…SEBUAH pukulan mendarat mulus di pelipis kanan Rudi. Dia tersungkur. Wajahnya terjerembab dan menghentak ke lapangan tanah kering. Belum sempat matanya terbuka, sebuah tendangan kembali dilayangkan bertubi-tubi ke sekujur tubuhnya. Rudi menggeram. Sekali lagi bogem mentah masuk ke hidungnya. Darah muncrat. Rudi tak mendengar sorak sorai pengagumnya lagi di tepi lapangan…
Dua puluh delapan menit yang lalu…
Di lapangan yang tandus itu tim kesebelasan Rudi akan menjamu tamunya. Sore itu, Rudi yang menggunakan nomor keramatnya terlihat tak sabar untuk menaklukan bakal lawannya. "Ini pertandingan persahabatan, jadi bermainlah seperti kita bermain melawan sahabat kita," kata pelatihnya. Di ruang ganti kostum, Rudi sempat melempar pandangannya melewati jendela. Sore yang menegangkan. Tak seperti biasanya, kali ini Rudi terlihat gelisah. Matanya sangat liar, dan keringat sebesar bulir jagung menetes dari dahinya. Selindap angin sore menghantam daun jendela ruang itu. Rudi semakin pucat, nafasnya sesak. Hampir saja dia tak bisa menghirup nafas. Hentakan kaca jendela membuatnya kaget. Sore ini bebannya sangat berat. Matanya berkunang-kunang. Nafsu merobek dan mengalahkan lawan bercampur dengan ketakutan.
Dua puluh satu menit yang lalu…
Rudi mengambil botol minuman. Ditenggaknya, kemudian dia memasukkan baju kaosnya ke dalam celana. Rudi masih pucat ketika dia mengencangkan tali ikatan celananya. Setelah pelatih memberikan instruksi dan semangat tempur, perlahan-lahan rombongan skuad kesebelasan Merah meninggalkan ruangan dan menuju lapangan yang botak. Pukul tiga seperempat. Baju Rudi melambai ditiup angin sore yang sangar. Dilemparkannya wajahnya ke tribun penonton. Matanya yang liar sedang mencari-cari sesuatu di antara para pendukung timnya. Zulaikha! Itulah perempuan yang telah memberikan nafas padanya. Perlahan kesesakan dadanya berkurang. Angin segar bertiup di atas kepalanya. Sambil tersenyum memandangi Zulaikha, dia melangkah dan menggandeng tangan teman-temannya. Busung dadanya menandakan kalau dia sudah siap tempur sekarang. Barisan pemuda berkostum merah itu demikian indah memasuki arena yang kering.
Tak lama kemudian, dua puluh menit yang lalu…
Keluarlah tim lawan dari tempatnya. Angin kembali mendesir dan menerbangkan debu-debu. Pelatih memberikan aba-aba kepada kapten kesebelasan tim Merah. Rudi sempat melirik kepada pelatihnya, kepada sang kapten dan kepada lawan yang akan dihadapi oleh timnya. Hatinya bergetar, di luar lapangan para pendukung tim lawan mengisi tempat duduk yang khusus. Rudi menelan ludah, lapangan terasa lebih panas dari biasanya.
Suporter tuan rumah mengelu-elukan Rudi yang memang bintang lapangan. Walaupun posisinya hanyalah gelandang kanan, namun permainan dan aksi lapangannya membuat banyak orang jatuh cinta, tak terkecuali Zulaikha. Awalnya perempuan berwajah sendu itu tidak berminat pada olah raga indah namun keras itu.
Zulaikha sendiri mempunyai kenangan pahit pada setiap kekerasan. Setiap dia melihat Rudi jatuh ketika ditakle lawan dia teringat pada peristiwa yang menimpa keluarganya, beberapa tahun lalu.
Namun setelah Rudi menaklukannya, Zulaikha selalu mendampingi Rudi ke mana pun dia pergi. Termasuk mengajaknya menonton bola kaki.
Delapan belas menit yang lalu…
Kedua tim sudah beradu pandang. Sebelas lawan sebelas. Tim Merah siap beradu dengan Tim Hijau. Rudi menatap tajam pada lawannya. Sebelas orang itu seragam tingginya, seragam kekarnya. Rudi menghela nafas. Dadanya kembali sesak. Kali ini senyuman yang diberikan Zulaikha tak mampu meredam cemasnya.
Wasit memanggil kapten Tim Merah dan kapten Tim Hijau. Koin dilemparkan ke udara. Untuk terakhir kalinya Rudi melempar senyum kepada Zulaikha. Angin panas bertiup kencang.
Masih di menit ke delapan belas…
Kedua tim sudah dalam posisi siap. Wasit meniup peluit. Kick off pun dimulai. Bola telah bergulir di atas tanah yang kerontang. Tim Merah maju membawa bola langsung mengembangkan formasi menyerangnya yang terkenal ampuh. Si Nomor Punggung Tujuh menggiring bola dengan lihai. Dia menyusuri sisi kiri daerah pertahanan Tim Hijau. Tim Hijau panik dan langsung membuat barikade berpola. Sebuah long pass membelah pertahanan Tim Hijau. Si Nomor Tiga langsung menyambar dengan kepalanya. Si Nomor Delapan dari Tim Hijau berusaha keras membendung gerak bola. Namun sayang bola itu lolos.
Debu mengepul di atas tanah lapang yang pernah menjadi saksi sebuah peristiwa berdarah. Si Nomor Tujuh berhasil berkelit dan menerobos pagar akhir Tim Hijau.
Dua belas menit yang lalu…
Sebuah pelanggaran baru saja terjadi di dekat kotak pinalti Tim Hijau. Si Nomor Tujuh terkapar lemah. Pendukung Tim Merah terhenyak. Sorak-sorai yang menggema sejak awal pertandingan terhenti mendadak. Rudi menghampiri si Nomor Tujuh. Dadanya semakin sesak. Dari tribun Zulaikha melihat sang kekasih yang tengah berada di tengah lapangan perang. Zulaikha khawatir sekali dengan pertandingan kali ini.
"Aku tetap akan bermain besok Laikha," kata Rudi dua puluh satu jam yang lalu. "Tak perduli siapa pun yang akan menjadi lawanku esok." sambung Rudi.
"Tapi mereka tak bisa dipercaya," tandas Zulaikha. Dia sangat khawatir atas nasib Rudi nantinya.
Si Nomor Tujuh akhirnya ditandu keluar lapangan. Dia dihentikkan dengan kasar oleh si Nomor Tujuhbelas dari Tim Hijau. Wasit tidak memberikan hadiah free kick kepada Tim Merah. Wasit mengatakan bahwa itu sekedar insiden biasa.
Permainan pun dilanjutkan. Si Nomor Tujuh mengaduh di tepi lapangan. Rudi mulai berlari mengejar bola lagi. Zulaikha terus berdoa untuk keselamatan Rudi. Bermain tidak hanya mengharapkan kemenangan, tapi juga keselamatan sampai dengan selesai permainan.
Dua menit kemudian, sepuluh menit yang lalu…
Pelanggaran kembali terjadi, kali ini si Nomor Empat dari Tim Hijau sengaja menyikut hidung si Nomor Duabelas dari Tim Merah. Nyaris terjadi keributan. Di tribun tempat Zulaikha duduk kata-kata kotor yang susah dimengerti oleh Tim Hijau dan pendukungnya terlontar begitu saja. Mereka telah bosan dengan kekerasan yang ditampilkan Tim Hijau. Dan wasit adalah sasaran kemarahan dan umpatan mereka.
Dua menit kemudian, Tim Merah mendapat hadiah free kick. Si Nomor Tujuh yang telah pulih dari cederanya mengambil posisi sebagai eksekutor. Tendangan tajam dilepaskan ke arah mulut gawang. Bola meluncur dan menukik deras. Hampir saja kipper Tim Hijau tak mampu membendungnya.
Bola memantul tinggi ke udara, Tim Hijau melakukan over lap dan counter attack. Serangan cepat dilakukan, secepat serangan fajar yang mereka lakukan disaat berdinas di dalam hutan. Tim Hijau mengamuk melepaskan tembakan-tembakan pressure yang membuat Tim Merah kocar kacir mundur ke belakang. Rudi mencoba menghalangi laju pergerakan pasukan Hijau di sisi kanan tempat dia bertugas. Sebuah trick menghalau gagal dilakukannya, Rudi terhuyung. Si Nomor Tujuhbelas berhasil meloloskan bola, tinggal selangkah lagi Tim Hijau berhasil melumpuhkan Tim Merah.
Pagar pertahanan nyaris poranda oleh gempuran skuad yang berambut cepak semua…
Enam menit yang lalu.
Bola menggelinding lagi. Nasib bergulir lagi. Penyelamatan gemilang baru saja dilakukan oleh kubu Tim Hijau. Rudi menggiring bola, lihai berkelit menerobos barisan belakang Tim Hijau. Sendiri saja membawa bola, empat pemain lawan berhasil dielakkan. Zulaikha semakin berdebar, dia tak kuasa melihat keberanian Rudi untuk berlari membawa bola ke jantung pertahanan lawan.
Sebuah sapuan dilakukan bek belakang Tim Hijau. Bola mental ke udara. Rudi melompat tinggi berebut bola dengan si Nomor Enam. Duel udara dimenangkan Rudi. Stop ball yang dilakukannya dengan dada sangat memukau penonton. Untuk memenangkan pertempuran memang harus dilakukan dengan seindah mungkin.
Empat menit yang lalu…
Rudi menerobos masuk barikade Tim Hijau, semua kacau oleh aksi briliannya. Kutak-kutik di depan gawang mengecoh kipper Tim Hijau. Dengan mulus bola disarangkan Rudi ke gawang lawan. Wasit meniup panjang. Lapangan membuncah oleh teriakan massif para pendukung Tim Merah. Rudi dijagokan. Teman-temannya merubungi dan mengangkatnya tinggi ke udara. Sebuah gol telah lahir dari polesan ketakutannya.
Namun di tribun penonton, Zulaikha tak merasakan kegembiraan. Wajahnya ditutup setangan. Jilbab hitamnya melambai ditiup angin yang semakin sore.
Rudi sendiri tersedak. Nafasnya hampir putus. Dia telah berhasil merobek jala lawan. Dia telah menyelesaikan sebuah pertandingan. Dan pertandingan lain akan segera dimulai. Rudi membuka kaos bernomor sebelasnya. Dipandangnya pemain lawan dengan tatapan sendu. Dia pasrah pada sebuah permainan yang memaksanya untuk terus bermain.
Tiga menit kemudian…
Rudi masih tersedak. Darah masih mengalir dari hidungnya. Di lapangan wasit meniup peluitnya. Seluruh pendukung Tim Merah bangkit dan bergerak ke arah lapangan. Pendukung Tim Hijau juga bergerak. Tangan mereka yang kekar mengepal tinju. Rudi sang bintang ditandu keluar lapangan. Darah menetes dari hidungnya. Zulaikha mendekat ke petugas kesehatan yang membawa Rudi. Diletakkannya tangannya ke dada Rudi. Rudi membuka matanya. Senyum Laikha membayang di atas langit sore.
"Rudi, Rudi," panggil Zulaikha. Rudi tersenyum.
"Aku puas, aku puas Laikha," bisikknya pelan.
Dua menit setelah insiden itu…
Pertandingan dilanjutkan lagi. Si Nomor tujuh membawa bola. Dia mengoper pada si Nomor Sepuluh. Dihadang saja oleh si Cepak Bernomor Delapan. Serangan balik dari Tim Hijau. Menerobos masuk dari wing kanan Tim Merah. Sebuah blocking di lakukan si Nomor Delapanbelas. Tim Hijau masih menguasai bola, Tim Merah mati-matian menahan bombardir yang dilakukan Tim Hijau. Pos terakhir berhasil dilewati. Pasukan Hijau menguasai daerah pinalti Tim Merah. Sebuah penyelamatan lagi-lagi dilakukan di tengah intimidasi dan tekanan dari Tim Hijau.
Bola meluncur lagi. debu-debu berterbangan ke udara. Wasit melirik jam tangannya. Pertandingan belum berakhir. Tim Merah mulai membuka formasi penyerangan. Tim Hijau membuka gelanda-gelandang mematikannya…
Pertandingan bola, 14 Juni 2005
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: