IRESS juga menuntut agar pengelolaan Blok WMO dikelola sepenuhnya oleh Pertamina. Demikian rilis yang dikirim LSM tersebut kepada
Rakyat Merdeka Online, Minggu (8/5). Mengapa Pertamina harus mengelola blok itu sepenuhnya?
Ada sejumlah alasan yang dikemukakan IRESS, pertama, berdasar Peraturan Pemerintah 35/2004, pasal 104 butir a, disebutkan bahwa “Kontrak Bagi Hasil dan kontrak lain yang berkaitan dengan kontrak bagi hasil antara Pertamina dan pihak lain tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutanâ€, serta Joint Operation Agreement Production Sharing Contract WMO section II, 1.1. bahwa “The term of this Contract shall be thirty (30) years as from the Effective Dateâ€.
Kedua, disebutkan bahwa berdasarkan ketentuan pada butir a di atas, maka tidak ada kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk memperpanjang kerjasama dengan Kodeco, sehingga pemerintah dapat dengan leluasa menetapkan kebijakan tentang WMO sesuai kepentingan bangsa dan rakyat.
Karena itu, pemerintah dituntut untuk memutuskan kontrak dengan Kodeco, sehingga WMO dapat dikembalikan kepada Negara, untuk selanjutnya dikelola oleh Pertamina dengan Participating Interest (PI) 100 persen.
Ketiga, Pertamina sendiri telah menyampaikan permintaan untuk mengelola WMO 100 persen dengan komitmen produksi 30.000 bph, sejak tahun 2009. Alasan keempat, jika Kodeco tetap mendapat saham 20 persen, maka Pemerintah, melalui Pertamina, akan kehilangan potensi keuntungan sebesar US$ 2 miliar lebih selama masa kontrak 20 tahun.
Kelima, pemerintah berpotensi kehilangan kesempatan memperoleh dana tunai sebesar US$ 300 juta lebih dari farm-out 20 persen PI (oleh Pertamina) di Blok WMO. Angka US$ 300 juta ini diperoleh melalui perhitungan yang sebanding dengan besarnya nilai farm-in Pertamina sebesar US$ 280 juta saat mengakuisisi 46 persen saham BP di blok Offshore North West Java/ONWJ, untuk sisa kontrak 8 tahun.
Menurut IRESS, jika Kodeco atau ada pihak lain yang berminat terlibat dalam pengelolaan PSC WMO, maka seyogianya hal ini diselesaikan melalui mekanisme tender, B to B, dengan Pertamina.
BP Migas sendiri, telah menyatakan melalui surat tertanggal 13 April 2011 bahwa Kodeco dan CNOOC akan mendapatkan saham masing-masing 10 persen. . Maka dengan mundurnya CNOOC, seharusnya saham yang diberikan kepada Kodeco hanya sebesar 10 persen. Tetapi faktanya Kodeco memperoleh saham sebasar 20 persen. Hal ini berpotensi memberi kesempatan bagi “penumpang gelap†untuk memiliki saham di WMO dengan cara yang mudah, sangat murah dan tidak sah (memiliki potensi keuntungan sebesar US$ 2 miliar lebih selama masa kontrak 20 tahun).
Seandainya Kodeco (berikut penumpang gelapnya) tetap dipaksakan memperoleh saham 20 persen, maka keduanya harus membayar dana farm-in kepada Negara melalui Pertamina minimum US$ 300 juta seperti disebutkan pada butir 2.e di atas. Hal ini berlaku dengan catatan tidak ada pihak lain yang berminat terhadap blok WMO tersebut, sehingga tidak diperlukan mekanisme tender.
Berkaitan dengan permintaan Gubernur Jatim agar Pemda Jatim memperoleh saham WMO hingga 49 persen, IRESS menganggap jumlah sebesar ini tidak sejalan dengan ketentuan PP 34/2005. Pemda Jatim memang berhak memperoleh PI dalam jumlah yang wajar. Namun, permintaan ini juga rawan terhadap “memboncengnya penumpang gelap pemburu rente†untuk memiliki saham WMO, yang kelak akan merugikan Pemda Jatim sendiri.
IRESS juga mendukung pemilikan saham WMO oleh Jatim dengan cara langsung berhubungan dengan Pertamina, di bawah kordinasi pemerintah pusat, tanpa melibatkan perantara atau penyandang dana. Namun sebelum itu, pemilikan saham WMO oleh pemda Jatim harus dikordinasikan dan didukung oleh seluruh stake holders daerah Jatim secara terintegrasi yang melibatkan Pemda-pemda (minimal Pemprov Jatim dan Pemkab Madura), DPRD-DPRD (terkait), akademisi, ormas, dan sebagainya.
[dry]
BERITA TERKAIT: