Isi tujuh butir cita-cita itu adalah: (1) Indonesia bebas dari penjajahan gaya baru, (2) Supremasi hukum tanpa diskriminasi, (3) Tangkap, adili dan sita harta koruptor dimulai dari Istana Negara, (4) Persatuan Indonesia berlandaskan keadilan sosial dan pemerataan, (5) Distrubusi tanah untuk rakyat, (6) Dorong pemimpin mandiri, berani, demokratis dan bermental kerakyatan, serta (7) Demokrasi tanpa oligarki.
""Tujuh cita-cita itulah yang mahasiswa anggap sebagai blue print Indonesia yang baru. Itu substansinya, bukan hanya regenerasi kepemimpinan saja," terang Ketua Presidium Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, Stefanus Asat Gusma, saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Tujuh cita-cita perubahan itu dikampanyekan ke masyarakat luas di dua tempat pada hari bersamaan (Senin, 18/4). Pada pagi hari, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) mengadakan demonstrasi di Denpasar, Bali. Demo diikuti 18 cabang PMKRI di Indonesia. Puluhan massa itu bergerak long march dari Kampus Unud hingga ke simpang empat Jalan Sudirman.
Siang harinya, pimpinan belasan organisasi mahasiswa berkumpul di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta Pusat. Saat itu mereka menyatakan sikap bahwa Pemimpin Nasional telah mengalami "impotensi" moral. Sebab itu, perlu dilakukan percepatan pergantian kepemimpinan nasional. Beberapa organisasi pemuda dan mahasiswa yang terlibat dalam deklarasi tersebut antara lain PII, PMKRI, HMI, GMNI, PMII, LMND, GMKI, KMHDI, Hikmahbudhi, SMI, Kamtri dan IMM.
"Para pejabat baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif bermental budak. Terhadap kenyataan pahit itu, kami pemuda dan mahasiswa menyerukan tujuh cita-cita perubahan," demikian isi keterangan pers yang diterima Rakyat Merdeka Online soal pertemuan itu.
Stefanus Gusma melanjutkan, tuntutan regenerasi kepemimpinan itu jadi salah satu poin karena mahasiswa melihat fakta bahwa situasi nasional saat ini sudah "matang". "Kenapa kami pikir situasi sudah matang? Ada konflik elit politik di tengah krisis energi dan kenaikan harga bahan pokok, membuat kami mendesakkan tuntutan tersebut" ujar Gusma.
Chozin Amirullah, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-MPO) menjelaskan, tujuh cita-cita perubahan adalah hasil konsolidasi sejak setahun lalu. Mahasiswa membahas persoalan-persoalan kebangsaan dan menemukan kesimpulan bahwa sumber utamanya itu ada di area kepemimpinan. Untuk itu percepatan regenerasi adalah salah satu poin agenda mereka. Dan proses perubahan itu harus dikawal oleh gerakan ekstra-parlementer.
Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Lamen Hendra Saputra, mengatakan, kaum pergerakan mahasiwa dan pemuda menilai ada sistem yang salah dalam konsep pembangunan di Indonesia.
“Perkumpulan kita kemarin ingin memberitahukan kepada rakyat bahwa Indonesia diselimuti gurita hitam, yang berlindung di dalam istana hitam Cikeas," ujar Lamen.
Kepemimpinan SBY-Boediono, menurut mahasiswa, selain menunjukkan kegagalan total menjalankan agenda karakyatan juga semakin melebarkan pintu bagi masuknya neo-kolonialisme. Selain penyakit utama itu, pemerintah menurut mereka sudah terlalu banyak melakukan kebohongan publik, seperti pernah diutarakan para tokoh agama.
"Pemuka agama mengingatkan, sumber utama dari kejahatan dunia ini adalah berani berbohong," tambah Chozin Amirullah.
Bukan main-main, kelompok mahasiswa bahkan mengaku sudah memiki kriteria calon pemimpin yang diharapkan mampu mengubah haluan perjalanan bangsa kembali ke cita-cita proklamasi dan UUD 1945.
"Mengenai tokoh yang kita persiapkan belum kita sebut sampai sekarang. Kalau kami sebut sekarang, masyarakat takkan percaya lagi. Yang pasti kami telah memiliki blue print Indonesia yang kami bahas sejak tahun lalu," ungkap Chozin lagi.
Mahasiswa mengingatkan lagi deretan kasus yang masih menghantui penegakan demokrasi dan hukum di Indonesia. Diantaranya, skandal bailout Bank Century, kasus manipulasi daftar pemilih tetap saat Pemilu, korupsi IT KPU pada Pemilu 2009, seringkali kedaulatan Indonesia dilanggar negara lain, serta deretan kasus penganiayaan hingga kematian TKI di luar negeri.
Semangat perubahan mahasiswa patut mendapat apresiasi masyarakat luas. Tidak bisa disangkal bahwa perubahan politik yang demokratis di seluruh negara di muka bumi ini, dari jaman ke jaman, selalu diawali suara kenabian yang didengungkan mahasiswa. Khususnya di Indonesia, gerakan mahasiswa menjadi pengawal setia pertumbuhan demokrasi. Beberapa momentum besar seperti tahun 1966, 1974, hingga 1998, aktor utamanya adalah masyarakat kampus.
Alangkah indahnya kalau aksi kritik kelompok mahasiswa dipandang pemerintah sebagai teguran dan masukan dari mereka yang muda. Karena, sudah kodrat anak muda harus kritis dan berpikir radikal. Beberapa elit politik yang sekarang duduk nyaman di kekuasaan pun tidak bisa membantah sejarah kelahiran mereka hingga akhirnya menjadi bagian dari elit pembuat kebijakan. Bahwa mereka pernah merasakan panas matahari, kasarnya aspal jalanan dan berdiri di mimbar melantunkan orasi politik berapi-api, kala mereka masih aktivis di kampus. Itu sudah pasti.
Tapi ingat, radikalisme mahasiswa bukan radikalisme ala teroris yang memandang bom bunuh diri sebagai alat perjuangan. Mereka tak punya hati yang tega melukai orang-orang tak berdosa demi menyampaikan pesannya.
Berkaitan dengan radikalisme, kemarin SBY mengumpulkan semua jajaran kabinet, kepala daerah dan pimpinan TNI-Polri untuk menanggapi aksi-aksi terorisme yang semakin menggila dan meresahkan masyarakat. Menurut SBY, apa yang bisa disaksikan hari-hari belakangan ini adalah pemerintah, TNI dan Polri telah diberikan peringatan berkaitan dengan situasi keamanan dan ketertiban publik.
"Mengapa saya katakan kita diberi peringatan? Karena beberapa kali terjadi kekerasan horisontal yang sebabkan korban dan kerusakan. Masih terjadi aksi-aksi terorisme dan juga nampak ada gejala terjadi radikalisasi," ujar SBY di Istana Bogor.
"Harus kita cegah, pencegahan jauh lebih baik dari menindak. Lakukan deradikalisasi. Itulah tujuan mengapa saya undang berkumpul di Bogor untuk sinergikan keamanan," ucap SBY.
Memang SBY dan jajarannya wajib membasmi mereka yang meresahkan masyarakat dengan teror bom dan pembunuhan. Pesan dari para teroris harus dijawab dengan pembasmian jaringan mereka sampai ke akar-akarnya.
Nah, kalau pesan mahasiswa? Senjata mahasiswa untuk menyampaikan pesan paling-paling hanya toa, spanduk dan panji-panji kampus. Tapi, bukan berarti seruan moral mereka dianggap bak tangisan anak bayi yang merengek minta susu.
Bukankah akan lebih baik jika semangat perubahan itu tidak terbentur keangkuhan birokrat dan pada akhirnya mendapat saluran "sah" di jalanan. Jika aspirasi mereka tidak mendapat respon positif dari pemerintah melalui jalan dialog dua arah yang hangat dan terbuka, sudah pasti kekecewaan menebal. Kalau sudah begitu, siapa yang bertanggungjawab? Jangan salahkan anak muda!
[ald]