Hal ini disampaikan Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Syahfan Badri Sampurno, dalam pernyataan pers yang diterima siang ini (Rabu, 30/3) menyikapi Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Intelijen Negara pada Rapat Kerja (Raker) antara Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dengan Kementerian Pertahanan (Kemhan), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), dan Kepala Badan Inteligen Negara (BIN).
Dalam pandangan legislator dari PKS ini, dalam DIM RUU Intelijen yang diajukan pemerintah masih ada hal-hal yang perlu dikritisi, antara lain wewenang penahanan 7x24 jam, hak intersepsi atau penyadapan, tidak adanya badan pengawas intelijen dan tidak adanya lembaga koordinasi intelijen di masing-masing kesatuan intelijen Polri, Kejaksaan, KPK, dan TNI.
“Kita ingin punya intelijen yang kuat dan mampu mendeteksi setiap potensi ancaman dan gangguan keutuhan negara, akan tetapi kita juga ingin itu semua dapat mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis, terbuka, dan taat pada hukum," ujarnya.
"Jangan sampai RUU intelijen ini membatasi hak-hak sipil, melanggar HAM dan
lain sebagainya†imbuh Syahfan.
Mengenai wewenang Badan Intelijen Negara (BIN), Anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Bengkulu ini berpendapat bahwa BIN tidak perlu mempunyai wewenang penahanan. Wewenang tersebut cukup ada di lembaga Kepolisian. Kemudian, BIN tidak perlu mempunyai hak penyadapan, karena setiap penyadapan harus melalui perizinan pengadilan. Di samping itu perlu keterbukaan rahasia intelijen, yaitu 20 tahun setelah kejadian dan berkaitan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik.
“BIN tidak perlu punya wewenang penahanan dan hak penyadapan. Selain itu kegiatan intelijen perlu diawasi sub Komisi di DPR agar lebih terkoordinasi," tutup Syahfan.
Kemarin, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengungkapkan, pemerintah berniat keras memperkuat kewenangan Badan Intelijen Negara. Tidak hanya untuk mencegah kegiatan terorisme, tapi juga pencegahan tindakan subversif.
"Saya ingin sampaikan sedikit gambaran. Sekarang ini kita sangat kesulitan. Terjadi bom meledak, misalnya, kita tidak bisa menangkap sebelum terjadi, karena tidak ada aturan atau dasar perundangan yang memberi kekuatan," ujar Purnomo Yusgiantoro, di Kantor Presiden, Jakarta (Selasa, 29/3).
[ald]
BERITA TERKAIT: