Nilai Strategis Reklame Jadi ATM Oknum Pemprov DKI

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Selasa, 29 Maret 2011, 18:54 WIB
RMOL. Nilai strategis reklame (NSR) di titik pasang sarana prasarana kota diduga menjadi lahan korupsi oknum pejabat Pemprov DKI Jakarta. Caranya dengan menunda-nunda lelang titik yang sudah habis izinnya tapi tetap tayang.

Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, Santoso, mengatakan, banyak sekali titik reklame di areal aset Pemda yang tidak dilelang atau sengaja dihilangkan dari pelelangan.

"Ini kerugian Pemda dari pemasukan NSR, karena bisa setor NSR di bawah meja lewat oknum dengan harga lebih murah. Dan bisa jadi ATM oknum," ujarnya melalui pernyataan pers yang diterima Selasa petang (Selasa, 29/3).

Hingga saat ini disinyalir ada puluhan miliar rupiah NSR tidak masuk kas daerah. Menurut catatannya, sedikitnya 313 titik reklame Agustus-September 2009 sudah habis izinnya tapi belum juga dilelang.

Dari perhitungannya, pendapatan NSR jauh lebih besar dibanding pajak reklame. Sesuai Perda No. 2 tahun 2004 tentang pajak reklame, tarif di jalan protokol A Rp 15.000, protokol B Rp 10.000. protokol C Rp 8.000. Ekonomi kelas I Rp 5.000, kelas II Rp 3.000, kelas III Rp 2.000 dan jalan lingkungan Rp 1.000 per meter persegi sehari.

"Kerugian Pemda dari tidak masuknya NSR di halte reguler dan busway saja sudah mencapai Rp 8,7 miliar. Ini belum NSR di 33 titik dan 11 titik JPO yang nilainya lebih besar lagi," ungkap politisi Partai Demokrat ini.

Ia mencontohkan, NSR titik Jalan Gatot Subroto-Mampang Rp 1.640.432.640 dan Jalan HR Rasuna Said - Jalan Casablanca Rp 820.216.320 per dua tahun.

"Itu baru dua titik sudah Rp 2,5 triliun lebih," katanya.

Dengan tidak dilelang dan reklame tetap tayang, disinyalir NSR disetor pada oknum dengan sistem bulanan selama titik itu belum dilelang.

"Ini yang merugikan Pemda. Kalau NSR 200 halte Rp 250 juta sebulan, bisa saja setor ke oknum Rp 100 juta sebulan. Berapa bulan tidak dilelang selama ini pula ada NSR damai yang tarifnya lebih murah," ucapnya.

"Kondisi yang menguntungkan oknum pejabat BPKD (Badan Pengelola Keuangan Daerah) ini. seperti dipelihara dan sengaja menunda-nunda lelang reklame." katanya lagi.

Asisten Pembangunan, menurut dia, ikut bertanggungjawab terhadap pembiaran ratusan titik reklame yang tak dilelang. Maka wajar kalau banyak pejabat Pemda diperiksa kejaksaan.

Sebelumnya, meski sudah ditetapkan menjadi tersangka pada kasus korupsi reklame yang merugikan keuangan negara hingga Rp 2,076 miliar, Kabiro Perlengkapan pada Setda Pemprov DKI Jakarta, Riyanto, masih bebas berkeliaran. Pasalnya, Pengadilan Negeri Jakarta telah merubah status Riyanto dari tahanan Rutan Salemba menjadi tahanan luar.

Terpisah, Ketua Serikat Pengusaha Reklame Jakarta, Didi Oerip Affandi berharap, majelis hakim yang saat ini sedang menggelar persidangan kasus Riyanto tidak memidanakan kebijakan. Menurutnya, kasus yang menimpa Riyanto bukanlah tindak pidana korupsi. Sebab dalam aturannya, selain lelang, Pemprov juga memiliki kewenangan untuk memberikan titik-titik reklame atas dasar kompensasi.

“Kalau memang pengusahanya nggak bayar pajak, ya ditagih beserta dendanya, bukan mempidanakan pejabatnya,” ujar Didi.[ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA