Perahu Rahim benar-benar karam! Kini dia dan belasan pencari ikan lainnya terkatung-katung di tengah samudra. Si Salim pemilik perahu juga sudah tak kelihatan lagi. Semua hilang, hanya dalam sekali sapuan gelombang. Sekarang tak ada lagi mimpi. Semuanya gelap. Rahim sekarat sendirian.
Sebuah perahu kecil menghampirinya. Memang tidak sebesar dan sekokoh perahu Si Salim, juragannya. Perahu kecil itu kian mendekati Rahim. Dia terperangah. Sadar dari sekarat berkepanjangan. Samudera ini ternyata masih begitu sempit.
“Kau, naiklah,!†ujar Rahman sambil mengulurkan tangan. Seorang pembantunya ikut menarik tubuh Rahim ke atas perahu.
“Antar aku ke darat,†bisik Rahim lesu.
Sekarang Perahu Rahman bergerak meninggalkan puing-puing perahu milik Si Salim, juragan Rahim. Menjauh dan semakin berlayar ke tengah samudera, mencari lautan yang lebih tenang.
***
Rahim masih terduduk lesu, ketika Rahman datang membawakannya makanan dan segelas kopi hitam. “Bagaimana pelayaranmu?†tanya Rahman kepada adik lelaki satu-satunya itu.
Rahim melengos. Membuang pandangannya ke seluruh ruangan. Perahu milik Rahman memang tak sekokoh dan semewah Si Salim. Namun cukup hangat untuk menenangkan jiwanya yang sedang terguncang.
“Apa rencanamu sekarang?†tanya Rahman lagi.
Rahim masih diam. Belum ada sebaris kata pun yang keluar dari mulutnya. Tangannya begetar memegang cangkir kopi pemberian Rahman.
“Bodoh betul aku,†Rahim membathin. Dia teringat kejadian malam itu. Ketika angin dengan kencang mendera perahu tempat dia bekerja. Dia juga masih ingat, ketika gelombang naik setinggi pohon kelapa dan menggulung perahu besar milik si Salim.
“Seharusnya aku bisa mengendalikan perahu itu. Ketika Si Juang sudah melompat ke laut, akulah yang mengambil alih!†katanya pada diri sendiri. “Sial! Kenapa aku cuma bisa menangkap ikan saja, kenapa aku tak pernah belajar menguasai perahu tempat aku bernaung?†kutuknya pada diri sendiri.
“Hei, aku tanya kau, sekarang,†tegur Rahman. Rahim tersentak. Perutnya terasa mual. Dia mabuk laut. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia merasa mabuk laut. Untuk pertama kali dalam sejarah melautnya, dia merasa mau muntah. Rahim bangkit dan segera melompat ke geladak.
***
Rahim terkapar sendirian di geladak. Angin cerah berhembus meniup basah cuping hidungnya. Ini pagi yang lain, di perahu yang lain. Semalaman dia habiskan waktu untuk mengeluarkan semua isi perutnya sambil menangisi perahu Si Salim yang sekarang tinggal lantakan serpihan papan.
Suara orang tertawa, membuat Rahim bangkit dari tidurnya. Disekanya sisa embun yang menempel di wajahnya.
“Angkat jalanya, putar sedikit,†perintah Rahman kepada empat anak buahnya.
Dan suara tawa semakin membuncah ketika jala diangkat dari dasar samudra.
“Ikan, ikan, ikan!†sorak mereka serempak. Rahman turun dari ruang nahkoda. Lantas bergabung dengan anak buanya yang tengah gembira merayakan hasil tangkapannya.
“Sediakan peti dan tambahkan es-nya lagi,†perintah Rahman kepada Si Marto yang bertugas penuh mengawasi ikan-ikan hasil tangkapan.
Rahim mendekat, kepalanya masih berat. Namun dia paksakan diri untuk ikut mengangkat jaring yang dipenuhi ikan. “Kita tak perlu lagi melaut lebih ke tengah,†kata Si Marto menghampiri temannya yang lain.
“Kita harus,†bantah Rahman. Semua orang larut dalam gembira. Kecuali Rahim. Kecuali Rahim
***
“Aku mau ke darat,†kata Rahim kepada kakaknya. Mereka berdua di anjungan.
“Kita masih harus berlayar,†jawab Rahman sambil terus meneropong dan sesekali membaca kompas.
Hari mulai gelap, mualim perahu yang lain sudah berada di dalam kabin, setelah lelah seharian memunguti jalan yang terisi ikan, kini mereka siap menikmati santap makan malam.
“Aku mau belajar lagi,â€
“Kau mau jadi apa?†tanya Rahman. Dia berhenti membaca kompas dan memandang ke arah adik lelaki yang hampir saja tak dilihatnya lagi.
“Pelaut,†Jawab Rahim singkat.
“Jadi pelaut ya di laut, bukan di darat.†Balas Rahman.
“Berapa lama lagi kita menepi?†tanya Rahim lagi.
“Nanti, setelah kerja selesai,â€
Rahman beranjak dari anjungan. “Ayo, ini waktunya makan,†sapanya.
Sekarang Rahim sendirian, memandang lepas ke lautan yang sudah menghitam.
***
Sudah dua hari Rahim berlayar dengan perahu milik kakaknya. Sampai sejauh ini dia berusaha keras untuk menjadi pelaut. Dipikirannya sekarang, bayang-bayang perahu milik Si Salim perlahan menghilang. Hanya saja sekarang yang ada di pikirannya adalah, dia merasa tak bisa hidup bersama kakaknya. Hidup dalam perahu yang sama.
“Di sini kau belajar. Belajar menjala ikan, belajar menarik dan menggulung layar. Yang paling penting adalah belajar membaca arah angin. Sebab kita berada di tempat yang tak kita kuasai,†papar Rahman dua hari yang lalu.
Rahim, masih menggulung layar, ketika Si Marto, pembantu Rahman terlihat berlari-lari di antara mesin pendingin ikan. Dia turun dari tiang layar dan mengikuti gerak Si Marto yang mencurigakan. Betul, gelagat Si Marto semakin meyakinkan kecurigaan Rahim.
Diam-diam Si Marto, yang bertugas menjaga kotak pendingin, memakai pengawet untuk ikan-ikan yang didinginkan.
“Tidak mungkin! Rahman tak mungkin memakai pengawet di ikan-ikannya,†desis Rahim. Diikutinya terus langkah Si Marto. Dan ketika sampai di sebuah sudut yang lain di perahu Rahman, dilihatnya Si Marto tengah mengambil es-es yang ada di mesin pendingin dan memindahkannya ke ember, lantas dibawa pergi.
Rahim terhenyak. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia tak percaya pada kakaknya.
***
Malam harinya, Rahim semakin gelisah. Dia masih tak habis pikir dengan kelakuan Si Marto. Sehingga pada akhirnya putuskan untuk langsung bertanya pada Rahman.
“Kau pakai pengawet ya?†tanya Rahim kepada Rahman.
“Maksudmu?â€
“Ikan-ikanmu. Kau pakai pengawet dalam ikan-ikanmu?†kata Rahim.
“Kenapa kau masih minta pulang?†balas Rahman.
“Ya, hanya bertanya saja,†balasnya. “Soalnya ini sudah hari keempat pelayaran,†tambah Rahim.â€
“Betul, ini hari keempat. Tapi kita tak menjual ikan busuk,†jawab Rahman menjelaskan.
“Lagian kenapa? Kau sudah tak bisa berlayar lagi? Tenang aja, besok pagi kita sudah sampai di darat.†Sambar Rahman lagi dengan ketus.
“Aku kira kau pakai pengawet.â€
“Haha, pengawet diharamkan masuk ke perahuku,†sergah Rahman sambil tertawa. Dimasukkannya tangannya ke saku dan mengambil kompas.
“Kenapa kau yakin, ikanmu masih segar?†tanya Rahim lagi.
“Tentu saja, karena aku punya banyak es untuk mengawetkannya. Dan lagi pula, ikan yang dijual tentulah ikan yang masih segar,†kata Rahman lagi. “Tenang aja, Si Marto itu ahlinya mengurus tangkapan,â€
Rahim diam. Kepalanya berputar ketika Rahman menyebutkan nama Si Marto. Teringat di kepalanya, bagaimana cerita mualim yang lain tentang cara kerja Si Marto yang melakukan apa saja demi menjual habis ikan-ikan buruannya. Apalagi kejadian siang tadi sudah cukup membuktikan, bahwa Si Marto memang bekerja demi kepentingan diri sendiri.
“Si Marto selalu mengambil ikan yang segar untuk dijual sendiri. Sementara ikan setengah busuk dijual.†kata salah seorang mualim kepada Rahim. Dia semakin gelisah. Karena siang tadi, hamper semua mualim yang dia tanya menjawab, bahwa Si Marto kerap melakukan hal curang.
“Bahkan Si Marto juga pernah tak menambahkan es ke dalam peti ikan,†sambung mualim itu.
“Kau yakin tak mau berlayar denganku?†tanya Rahman. Rahim kaget. Lamunannya buyar. Dia berdehem. Tak bereaksi.
***
Rahim tak bisa tidur malam itu. Dia tak habis pikir dengan kata-kata Rahman beberapa saat tadi.
“Aku tahu kelakuannya, aku tahu dia mencampurkan pengawet ke ikan-ikan,†kata Rahman. Rahim masih tak percaya dengan kata-kata Rahman. Apalagi alasan Rahman tidak masuk di akal Rahim.
“Si Marto punya anak-istri. Dan kau tahu hidupnya?†ujar Rahman, “Dia melarat, dan terus melarat,†kata Rahman menjelaskan.
“Aku tak perduli dengan hidupnya. Aku tak perduli dengan anak dan istrinya,†sergah Rahim. “Yang jelas di mataku, perbuatan ini sungguh-sungguh curang. Dan ini tak bisa dibenarkan.â€
“Selalu ada alasan untuk semua tindakan,†kata Rahman berdalih. “Dan Si Marto melakukan itu semua dengan alasan,â€
“Tapi kenapa harus menipumu? Dan menipu semua mualim yang ada di sini? Parahnya lagi dia menipu semua orang di daratan,†kata Rahim lantang.
“Aku cuma membantu orang,†jawab Rahman. “Dan yang harus kau ingat, aku hanya mengambil hakku.â€
“Ah, omong kosong, kau sudah ditipu, tapi tak mau bertindak,†kesal Rahim. Dia tak menyangka Rahman yang cerdas itu begitu lembek dalam menentukan nasib si Marto.
“Aku punya alasan. Kau tahu apa?†potong Rahman dengan emosi. Rahim diam. Baginya Rahman lebih membela Si Marto daripada penjelasan Rahim.
“Si Marto itu mengenal baik perbintangan dan membaca mata angin.†Sampai di situ Rahman diam, menantikan reaksi adiknya.
“Lagi pula, orang-orang yang ada di perahuku adalah orang-orang yang punya kehidupan. Mereka mengandalkan perahuku, mengandalkan jenis ikan yang akan dijual. Mengandalkan arah yang ditujukan si Marto.â€
“Itu tak bisa dijadikan pembenaran, Rahman,†ketus Rahim.
“Betul, itu tak bisa dijadikan pembenaran, tapi dengan berlayarnya perahu ini, aku bisa membantu orang, seperti Si Marto. Dan bukan hanya dia, tapi juga anak dan istrinya juga.â€
“Iya, Si Marto yang curang dan suka korupsi itu!†tandas Rahim.
“Iya, termasuk orang seperti Si Marto itu,†sambung Rahman.
***
Rahim belum juga bisa tidur. Debur ombak dan desing angin laut menemaninya dinihari itu. Bayangannya tentang sebuah perahu yang diimpikannya tiba-tiba muncul di tengah kegelapan malam.
Rahim bangkit, dan beranjak ke geladak. Ditatapnya kekosongan malam yang membawa angin semilir. Bintang menjadi saksi pada setiap pelayarannya.
“Kenapa kau berlayar?†tanya Si Salim, bekas bosnya yang hilang ditelan lautan. Entah kenapa malam itu, bayangan Si Salim muncul dari tengah-tengah lautan yang gelap.
“Karena aku mau memiliki sebuah perahu,†jawab Rahim.
“Kenapa kau mau sebuah perahu?†tanya bayangan Si Salim lagi.
“Dengan perahu itu, aku akan menolong semua orang yang hilang di lautan,†jawab Rahman.
“Tapi lautan ini luas, dan seberapa besar perahu yang ingin kau miliki?"
“Benar, lautan ini luas. Tak terhitung luasnya. Dan perahu itu, tak perlu besar. Yang penting aku bisa menolong orang yang tersesat di lautan,â€
“Tak akan cukup!â€
“Cukup, aku yakin cukup,†kata Rahim.
“Ada banyak orang yang menghilang di lautan, kau takkan bisa. Kau pun tak bisa menemukan jasadku,†kata bayangan Si Salim. Rahim diam sejenak. Angin dinihari semakin santer menusuk kulit.
“Memang aku tak bisa menemukanmu, juga mualim yang lain,†timpal Rahim. “Tapi aku yakin, dengan perahu kecil itu aku pasti bisa menemukan seseorang yang hilang di lautan,†sambungnya lagi.
“Haha, Bagaimana caranya? Sedang sekarang Kau bahkan tak punya perahu.†ledek bayangan si Salim.
“Kau betul Salim, sekarang aku belum punya perahu. Karena aku belum perlu perahu. Sebab untuk memiliki perahu, aku memerlukan alasan.â€
“Tapi kau sudah sebutkan alasannya,â€
“Bukan Salim, itu bukan alasan, itu cita-citaku,â€
“Bah!â€
“Terserah kau meledekku,†kata Rahim.
“Kau orang yang rumit, dengan alasan hidup yang rumit.†Kata bayangan Si Salim.
Suar-suar azan subuh menyusup masuk ke telinga Rahim. Perahu impiannya menghilang di telan semburat mentari yang perlahan menembus dari cakrawala. Bayangan Si Salim sudah tak ada lagi di depan mata pemuda itu. Sekarang hanya ada hamparan lautan yang menjadi jarak antara perahu dan daratan.
***
“Angkat layar, siap turunkan jangkar,†perintah Rahman. Seluruh mualim dengan cekatan melaksanakan perintahnya. Sekarang perahu benar-benar bersandar di darat.
Pagi itu orang-orang sudah ramai di dermaga. Perahu nelayan lain sudah lebih dulu merapat dan menurunkan ikan-ikan hasil perburuan di lautan. Rahman naik ke darat sambil membawa hasil tangkapannya. Bersamanya turun pula mualim lain mengangkut beberapa peti pendingin ikan, hasil melayar empat hari. Tak terkecuali Si Marto yang tergopoh-gopoh menjinjing ember besar tempat ikan bagiannya. Semuanya kemudian bergerak ke tempat penampungan ikan.
***
Rahim masih di perahu. Kini, untuk pertama kali dalam hidupnya dia menemukan alasan untuk memiliki perahu. “Rahman betul, belajar berlayar pastilah di laut.†Bisiknya pada diri sendiri. Dia berlalu. Pemuda itu adalah orang terakhir yang meninggalkan perahu.
Palmerah, 060207
BERITA TERKAIT: