"Jadi jangan hanya monolitis, gubernur dipilih. Harus ada unsur kultural yang diakomodir," ujar pengamat politik yang juga staf ahli Badan Pengawas Pemilu Pramono Ubaid Thantowi kepada
Rakyat Merdeka Online (Minggu, 28/11).
Karena itu Pram sepakat dengan delapan fraksi yang ada di Komisi II DPR, selain Partai Demokrat, bahwa Sultan Jogja langsung ditetapkan sebagai gubernur yang saat ini sedang digodok dalam RUU Keistimewaan Jogjakarta.
Pram menjelaskan, keberadaan Keraton Jogjakarta berbeda dengan kerajaan-kerjaan lain yang ada di Indonesia. Dalam sejarah, jelasnya, hanya Sultan Jogja yang memiliki kekuasaan pada saat pemerintah Belanda meninggalkan Indonesia. Sementara raja-raja lain tinggal simbolik.
"Jadi faktor sejarah ini perlu diingat. Kalau sejarah dilupakan, ya repot. Makanya, raja-raja di daerah lain tidak bisa langsung diangkat, seperti Sultan Jogja," imbuhnya.
Terkait keinginan Partai Demokrat, gubernur Jojga harus dipilih, menurut Pram, hal itu hanya karena ada persoalan pribadi Susilo Bambang Yudhoyono dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Pada Pemilu 2009 lalu, Sultan dinilai menggalang kekuatan untuk menandingi SBY. Apalagi, lanjutnya, Sultan termasuk figur yang sering mengritik pemerintahan SBY-Boediono.
[zul]