Greenpeace Jangan Asbun!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-1'>TEGUH SANTOSA</a>
LAPORAN: TEGUH SANTOSA
  • Selasa, 16 November 2010, 12:10 WIB
Greenpeace Jangan Asbun<i>!</i>
RMOL. Berbagai kalangan menyorot tajam kehadiran LSM asing Greenpeace di Indonesia karena dinilai terlalu mencampuri urusan dalam negeri. Padahal, sebagai LSM asing, Greenpeace tidak berwenang mengobok-obok kedaulatan negara. Karena itu, pemerintah didesak segera menindak tegas Greenpeace .

“Greenpeace itu persis seperti Belanda waktu menjajah Indonesia dulu. Mereka ingin menguasai seluruhnya dengan berbagai cara, termasuk melakukan penekanan terhadap pemerintah untuk melaksanakan Moratorium Oslo,” tegas Ketua Komisi IV DPR RI, Achmad Muqowam, kepada wartawan di sela-sela acara "Minyak Sawit Indonesia untuk Dunia: Tantangan dan Peluang 2011" di Jakarta, kemarin (Senin, 15/11).

Moratorium, menurut, Achmad sangat berpotensi mengacaukan bangsa khususnya dalam pemilihan presiden 2014 nanti. Alasannya, dana yang digelontorkan Norwegia untuk pelestarian hutan belum dikelola dengan baik.

“Saya yakin, moratorium ini akan menjadi liar dan meluas. Siapa yang bisa menjamin, moratorium nantinya akan dimanfaatkan oleh kalangan tertentu sebagai ATM dalam pilpres 2014. Saya berkali-kali telah mengingatkan hal ini. Lagipula,  tuduhan Indonesia sebagai penghasil emisi sangat menyesatkan. Pemerintah seharusnya mencari kepastian terlebih dulu kondisi hutan kita,” ujarnya.

Pada bagian lain, Achmad juga mengecam pernyataan Bustar Maitar, Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara yang menuding hasil penelitian tentang deforestasi oleh dua profesor IPB tidak valid. Dia menegaskan, penelitian yang dilakukan IPB itu sahih.

“IPB memiliki otoritas penelitian yang resmi. Jadi, apapun penelitian yang dilakukan IPB pasti memakai metodologi yang berlaku. Sementara penelitian Greenpeace tidak bisa diterima, karena belum ada kesepakatan antara pemerintah dengan Greenpeace,"

“Karena itu, Greenpeace tidak boleh menuding peneliti IPB melakukan kesalahan. Itu melanggar etika,” tandasnya. Untuk itu, Achmad mendesak agar pemerintah tidak tinggal diam saja, mengombang-ambingkan kepentingan seluruh bangsa. “Pemerintah harus membela kepentingan bangsa,” katanya.

Di tempat yang sama, Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Tien R Muchtadi menantang Greenpeace menggelar debat terbuka. Menurut dia, debat terbuka merupakan cara yang tepat untuk menyesuaikan persepsi di antara Greenpeace dan pemerintah Indonesia.   

Sementara itu, pengamat perkelapa-sawitan Achmad Manggabarani mengungkapkan, pemerintah hingga saat ini belum memiliki paradigma yang jelas terkait kehutanan Indonesia. Sehingga, pihak asing seperti Greenpeace menjadi leluasa mengacak-acak kepentingan nasional.

“Sinergi dan kordinasi semua pihak sangat dibutuhkan untuk memberikan pemahaman positif kepada dunia,” katanya.

Ia juga tidak menampik adanya kepentingan asing di balik kampanye hitam Greenpeace.

“Saat ini negara kita penghasil CPO terbesar di dunia. Tidak tertutup kemungkinan, ada pihak yang bermain di sini,” urainya.

Untuk itu, ia meminta pemerintah segera mengambil tindakan tegas. “Jangan karena setitik nila, rusak susu sebelanga. Jangan karena ada Greenpeace, lalu kepentingan bangsa diabaikan,” timpalnya.

Kecaman keras juga diungkapkan pengamat perkelapa-sawitan Maruli Gultom.

“RSPO dan moratorium jelas-jelas merupakan cara negara Eropa  untuk menghentikan produksi sawit nasional. Asing takut kalau Indonesia menjadi negara maju. Lalu, dipakailah Greenpeace untuk merecoki kehutanan kita. Padahal, apa yang dituduhkan mereka sama sekali tidak berdasar,” katanya.[ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA