Semanggi I, Pendekar Politik dan Harapan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Sabtu, 13 November 2010, 13:23 WIB
<i>Semanggi I, Pendekar Politik dan Harapan</i>
RMOL. Perjuangan terberat dalam melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa. Sastrawan Milan Kundera bahkan menganggap perjuangan melawan lupa sebagai tugas kemanusiaan.

Tentu saja itu benar. Apalagi, bila dikaitkan dengan sejarah kelam rezim militer Orde Baru yang pernah mencengkeram Indonesia selama kurang lebih 32 tahun. Mulai dari kasus pembantaian massal orang yang diduga bersimpati pada PKI pada era pertengahan tahun 1960-an, dan menurut salah seorang petinggi pasukan militer AD saat itu bisa mencapai 500 ribu nyawa yang dihilangkan.

Kasus kemanusiaan lain yang seakan raib dari ingatan elit dan rakyat jelata yang tak menjadi korban misalnya, kasus Tanjung Priok, pembangunan waduk Kedung Ombo, itu beberapa di era 1980-an. Lalu kalau kita tengok ke masa yang lebih singkat ke belakang, di era 1990-an, beberapa kasus menonjol yang hingga kini masih kabur penyelesaiannya seperti kasus 27 Juli 1996, rentetan penculikan aktivis 1997-1998, dan beberapa tragedi di Jakarta, semacam Tragedi Semanggi I 98, Tragedi Semanggi II 99, Tragedi Trisakti 98, dan kerusuhan disertai penjarahan massal 98.

Ironisnya, hampir kesemua perkara kemanusiaan itu diduga kuat mengandung keterlibatan para pendekar politik yang kini banyak berbicara tentang reformasi dan keadilan, para mantan Jenderal yang dengan bangga mencalonkan diri di Pilpres, atau barisan pejabat tinggi di lembaga Kementerian Pertahanan, Polri atau TNI. Dan lagi, pimpinan tertinggi negeri ini pun dianggap semantara kalangan eksponen 98 pernah punya andil dengan kadar yang sudah sewajarnya.

Kini, dalam konteks peringatan 12 tahun Tragedi Semanggi I, bisakah bangsa ini merenungkan sejenak betapa banyak kejahatan kemanusiaan yang kabur dari ingatan seakan tak penting lagi untuk diselesaikan, setidaknya untuk memberi kedamaian bagi arwah mereka para korban.

Tragedi Semanggi I terjadi tak lama setelah mantan Presiden Soeharto lengser oleh gerakan massa di bulan Mei 1998. Lalu, di November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan.

Melihat pemerintahan transisi itu dimpimpin oleh mantan Wapres-nya Soeharto, mahasiswa marah. Gerakan jalanan yang sempat reda selama beberapa waktu, bergolak kembali karena BJ. Habibie dianggap tidak memiliki legitimasi rakyat untuk memimpin jalannya pemrintahan transisi dan menyelenggarakan Pemilu demokratis yang dicurigai hanya sebagai topeng para kader Orba.

Sidang Istimewa 1998 ditolak. Demonstrasi di jalan-jalan Jakarta diikuti tiap harinya oleh ribuan rakyat jelata dan mahasiswa. Ketegangan antara barisan protes dengan kekuatan militer mendapat wadah yang pas di jalanan.

Rentetan bentrokan antara aparat dan mahasiswa serta rakyat mencapai puncak pada 11-13 November 1998. Para demonstran anti Dwi Fungsi ABRI terus melakukan protes anti militerisme dan kekerasan yang dilakukan aparat kepada rekan-rekan mereka yang tertangkap, dianiaya, dan tertembak.

Pada sore hari 13 November, bentrokan pecah di depan Universitas Atma Jaya, Semanggi, Jalan Sudirman, Jakarta. Ribuan mahasiswa dan masyarakat yang kebanyakan warga Bendungan Hilir sudah bergabung satu. Jalan Sudirman sudah diblokir aparat sejak malam hari sebelumnya.

Mahasiswa ditembaki dalam gelap malam. Mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI) dikabarkan tewas tertembak. Namanya, Teddy Wardhani Kusuma. Ia merupakan korban meninggal pertama di hari itu.

Evakuasi ribuan mahasiswa ke dalam kampus Universitas Atma Jaya berlangsung kacau. Salah seorang mahasiswa Atma Jaya, Bernardus Realino Norma Irmawan (Wawan), yang saat itu bertugas sebagai tim perawat medis, tertembak di dadanya. Ia tewas dan jadi korban nyawa kedua.

Peluru aparat terus menyasar mahasiswa dan rakyat jelata, hingga jumlah korban yang meninggal menurut data resmi mencapai 17 orang. Di antaranya, Sigit Prasetyo (YAI), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), belasan mahasiswa lain dan rakyat biasa.

Dokumentasi dalam bentuk video berhasil diselamatkan, dan kini film tragedi Semanggi I, II dan Trisakti, bisa didapatkan di toko-toko DVD mutakhir. Tapi, apakah itu penyelesaian terhadap kejahatan kemanusiaan sebuah sistem?

Sri Sumarsih, ibunda almarhum Wawan, dalam satu kesempatan berbincang di kompleks DPR beberapa waktu lalu, pernah mengatakan, ia takkan pernah berhenti berjuang sampai titik darah penghabisannya. Ia dan suami terus menaruh harapan pada secercah bayang keadilan yang sampai kini pun tak ia tahu kapan kan tiba disana.

Sumarsih pernah mengatakan, putra semata wayangnya, Wawan, pernah menjadi satu-satunya harapan dia. Kini setelah Wawan tiada karena dibunuh bangsanya sendiri, apalagi yang menjadi tugas seorang ibu penyayang selain mengharap keadilan?

Sri Sumarsih, bersama puluhan keluarga korban lain, masih tidak habis semangat mengingatkan utang pemerintah menyelesaikan kasus-kasus kemanusiaan di masa lalu. Setidaknya, pemerintah mau mengakui dosa-dosa sejarah negara di masa lalu, tak peduli siapa penguasa saat itu. Pengakuan dan niat baik untuk menegakkan keadilan, sesuatu yang sudah lama hilang di era yang dinamakan reformasi. Reformasi yang dibayar dengan darah para pendekar jalanan, bukan pendekar politik! [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA