Selain itu, alasan mengapa Kaban
keukeuh mempertahankan proyek itu di saat menjadi orang nomor satu di kehutanan, dikarenakan perlunya konsistensi untuk menjaga kepercayaan kerja sama dengan negara lain.
"Kalau sudah mulai dan dilaksanakan, siapa pun presidennya harus menghormati. Dalam hal SKRT, itu sudah dibuat komitmennya sejak zaman Pak Harto dan diperbaharui di zaman Gus Dur," ujar Malam Sambat Kaban saat diwawancarai
Rakyat Merdeka Online di kantornya, Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kemarin (Jumat petang, 29/10).
Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini mengatakan, terlepas dari setuju atau tidak setuju mengenai isi perjanjian tersebut, tapi karena kebijakan sudah dilaksanakan maka harus diselesaikan.
"Kalau tidak negara merugi triliunan," ujar Kaban.
Dari sudut pandangnya, aturan dan pelaksanaan operasional proyek SKRT adalah normal.
"Aturan-aturan yang ada
oke. Proyek-proyek semacam itu juga ada di Kejaksaan Agung dan Polri di zaman Dai Bachtiar," jelasnya.
Ia juga akui, dalam pengadaan SKRT memang ada penunjukan langsung. Tapi, itu sudah sesuai dengan Keppres 80 pada tahun 2003.
"Bagi saya, yang penting tidak terjadi gratifikasi, tidak fiktif dan tidak manipulatif. Selama semua hal itu tidak ada, ya
go. Kalau ada kesalahan, ya hukum pada kesalahannya. Jangan SKRT- nya disalahkan. Karena itu kebijakan. Saya sendiri sudah baca isi perjanjian dan itu harus diselesaikan. Kalau tidak negara merugi, ini kerja sama antara Amerika Serikat dan Indonesia dan memakai pinjaman luar negeri," katanya.
Kaban juga menceritakan, sepengetahuannya proyek SKRT pada tahun 2010 dilelang secara terbuka. Tetapi pada akhirnya yang mendapatkan proyek itu adalah PT Masaro lagi. Karena apa? Menurutnya, sebab PT Masaro memiliki posisi tawar yang kuat. Salah satu kelebihannya adalah frequensi alat radio yang dimiliki PT Masaro Radiokom tidak bisa dibajak, tidak bisa dicuri.
Proyek SKRT ini bermula pada Januari 2007 saat Departemen Kehutanan mengajukan usulan rancangan program revitalisasi rehabilitasi hutan dengan mengajukan anggaran Rp 180 miliar. Padahal, proyek ini sudah dihentikan pada 2004 pada masa Menteri Kehutanan, M Prakoso.
Anggoro diduga telah mempengaruhi anggota Komisi Kehutanan DPR untuk melanjutkan proyek tersebut. Ketua Komisi IV saat itu, Yusuf Erwin Faishal diduga telah dipengaruhi oleh Komisaris PT Masaro Radiocom, Anggoro Wijoyo, sebagai rekanan pengadaan alat komunikasi.
Kemudian, Komisi IV mengeluarkan surat rekomendasi pada 12 Februari 2007 yang isinya meminta Departemen Kehutanan meneruskan proyek SKRT. Disebutkan pula bahwa untuk pengadaan itu sebaiknya menggunakan alat yang disediakan PT Masaro. Pada 16 Juni 2007 anggaran disetujui ditandatangani juga oleh Menteri Kehutanan MS Kaban.
Selain memberikan uang kepada Yusuf Erwin, Anggoro juga diduga telah membagikan uang kapada sejumlah anggota Komisi Kehutanan lainnya seperti Fahri Andi Leluasa senilai US $ 30 ribu, Azwar Chesputera US $ 30 ribu Hilman Indra US $ 140 ribu, Muctarrudin US $ 40 ribu dan Sujud Sirajuddin Rp 20 juta.
Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan Anggoro sebagai tersangka sejak 19 Juni 2009. Anggoro diduga melanggar ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, hinga kini Anggoro buron.
[ald]