Di Indonesia, kata ekonom senior Rizal Ramli, desentralisasi, yang bermula pada masa pemerintahan BJ Habibie, diberikan langsung kepada kabupaten dengan melewati tingkat provinsi. Hal ini disebabkan, sebut Rizal, pada saat itu BJ Habibie kuatir bila otonomi diberikan kepada provinsi akan memerdekakan diri.
"Tapi saat itu, Habibie kuatir kalau kekuasaan dibagi ke provinsi, jangan-jangan provinsi minta merdeka. Akhinya dibagi ke tingkat kabupaten," ujar Rizal Ramli dalam diskusi
Menguarai Distribusi Dana Bagi Hasil SDA? di gedung DPD, Jakarta (Jumat, 15/10).
Padahal di negara-negara maju, jelas Rizal, desentralisasi biasanya dilakukan bertahap dari tingkat nasional, provinsi, kemudian baru kabupaten. Bahkan, di Belgia dan Perancis, desentralisasi sampai ke level kecamatan. Namun, Rizal mengapresiasi terobosan Presiden RI ketiga itu.
"Itu eksperimen yang sangat berani dari Habibie. Karena kekuasaan dibagi ke 420 kabupaten dan kotamadya. Dari segi organisasi pengendaliannya sangat sulit. Karena kekuasaan gubenur di
by pass," terang mantan Menteri Ekonomi ini.
Dan yang menarik, sambung Rizal, pada saat Habibie belum ada bentuk baku peraturan perundangan-undangan mengenai otonomi daerah. Baru pada saat Abdurrahman Wahid memimpin negeri ini, UU Otonomi Daerah dibentuk. Dalam UU tersebut pun dibahas soal pembagian sumber daya alam.
Namun, Rizal Ramli mengaku menyesal karena pada era Gus Dur, pembagian SDA hanya berfokus pada bidang minyak bumi dan gas. Padahal, mestinya pembagian SDA bidang lain selain Migas juga dibahas.
"Di Maluku tidak ada Migas. Tapi banyak ikan. Tapi tidak ada aturan soal SDA pembagian perikanan. Lain di Balikpapan yang minyaknya banyak dan kotanya maju sekali," jelasnya sambil mengatakan hal itu tidak sempat diatur karena masa pemerintahan Gus Dur sangat singkat.
[zul]
BERITA TERKAIT: