Boediono Paling Berpeluang Gantikan SBY

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-1'>TEGUH SANTOSA</a>
LAPORAN: TEGUH SANTOSA
  • Senin, 11 Oktober 2010, 11:11 WIB
Boediono Paling Berpeluang Gantikan SBY
WAPRES BOEDIONO/ist
RMOL. Pemerintahan SBY-Boediono baru akan berusia satu tahun pada 20 Oktober mendatang. Tetapi patut diduga kekecewaan terhadap kinerja pemerintahan ini sudah sampai ke ubun-ubun sementara kalangan.

Kekecewaan tersebut dapat dilihat, antara lain, dari ramainya pembicaraan mengenai figur-figur yang pantas menjadi Presiden melalui jalur pemilihan presiden 2014 nanti. Sejumlah nama mulai disebutkan sebagai capres. Mulai dari ketua umum partai politik pendukung pemerintah seperti Aburizal Bakrie dari Partai Golkar dan Hatta Rajasa dari Partai Amanat Nasional (PAN), sampai mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan mantan calon wakil presiden Prabowo Subianto. Tokoh oposisi, seperti DR. Rizal Ramli, juga dinilai pantas.

Kekecewaan terhadap pemerintahan SBY itu juga dapat dilihat dari begitu ramainya tokoh-tokoh nasional menyampaikan kritik dan kecaman terbuka kepada Presiden SBY. Hari Jumat lalu (8/10), misalnya, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengundang, tidak tanggung-tanggung, 46 tokoh nasional ke kantornyad di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Hampir semua yang hadir dalam pertemuan itu menyampaikan kekecewaan mereka terhadap kepemimpinan SBY.

Ada yang bahkan mengajak untuk merebut kekuasaan dari tangan SBY.

Sehari kemudian (Sabtu, 10/10), di PB Nahdlatul Ulama, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, kelompok aktivis berkumpul untuk memulai Gerakan 101010. Adhie Massardi, salah seorang penggagas Gerakan 101010 ini, dengan tegas mengataan, untuk menghindari kerusakan negara dan bangsa yang lebih fatal, pemerintahan SBY yang disebutkan sebagai pemerintahan citra, harus sudah berakhir sebelum 2014.

Mengganti Presiden? Mungkinkah? Dan apa yang akan terjadi selanjutnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita melihat pada aturan yang diterakan Konsitusi kita. Dalam Pasal 8 UUD disebutkan bahwa ada tiga hal yang berkaitan pergantian presiden dan/atau wakil presiden.

Ayat (1) Pasal 8 UUD mengatakan:

“Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.”

Ayat (2) Pasal 8 mengatakan:

“Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.”

Dan terakhir, ayat (3) mengatakan:

“Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, samapi berakhir masa jabatannya.”

Dua ayat pertama merupakan hasil amandemen ketiga pada November 2001 dan ayat terakhir merupakan buah dari amandemen keempat pada Agustus 2002. Hanya ayat (1) dan ayat (3) yang menyinggung tentang pergantian presiden. Ayat (1) mengatur tentang pergantian presiden bila hanya presiden yang berhalangan tetap. Sementara ayat (3) mengatur tentang pemilihan presiden dan wakil presiden baru di MPR bila presiden dan wakil presiden yang berkuasa berhalangan tetap.

Dari kedua skenario di atas yang paling mungkin terjadi, sejauh ini, adalah skenario ayat (1), yakni dalam hal presiden berhalangan tetap. Sementara skenario ayat (3) terlihat begitu rumit karena menjatuhkan presiden saja sudah merupakan hal yang sulit, apalagi menjatuhkan presiden dan wakil presiden bersamaan.

Hal lain yang membuat skenario ini merepotkan karena pemilihan presiden dan wakil presiden di lantai MPR membawa konsekuensi pada terjadinya konstelasi politik baru yang sangat fundamental.

Sulit membayangkan partai politik akan dengan rela mengikuti skenario yang bisa jadi menghilangkan porsi kekuasaan yang sedang mereka genggam.

Skenario ayat (3) ini pun semakin sulit diwujudkan mana kala kita menyadari bahwa sampai kini masih tidak terlihat pemusatan dukungan pada hanya salah satu atau sedikit figur alternatif saja. Sejauh ini masih terlalu banyak figur “capres” sehingga tidak mudah mencapai kesepakatan politik baru di kalangan elit.

Bila skenario ayat (1) yang paling mungkin terjadi, maka adalah Wakil Presiden Boediono yang paling mungkin menggantikan Presiden SBY ketika lapangan sudah begitu becek dan kelompok elit sepakat untuk mengambil keputusan mengenai pergantian elit tanpa harus menelan biaya politik dan sosial yang begitu besar.

Bagaimana menurut Anda? [guh]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA