Bisakah Timur Pradopo Menjelaskan Setumpuk Persoalan Ini

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-1'>TEGUH SANTOSA</a>
LAPORAN: TEGUH SANTOSA
  • Selasa, 05 Oktober 2010, 15:00 WIB
Bisakah Timur Pradopo Menjelaskan Setumpuk Persoalan Ini
RMOL. Semua kalangan sudah mafhum manuver Presiden SBY menunjuk Komjen Timur Pradopo sebagai calon tunggal Kapolri cukup mengagetkan. Ada kesan kuat pencalonan itu dipaksakan demi kepentingan politik tertentu.

Di sisi lain, Timur Pradopo juga harus mampu menjelaskan setumpuk persoalan yang mengiringi perjalanan kariernya. Mulai dari peristiwa pembunuhan lima mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, di tahun 1998 yang berujung pada kerusuhan massal di Jakarta dan pengunduran diri Presiden Soeharto, sampai kerusuhan yang terjadi baru-baru ini di wilayah hukum yang dipimpinnya.

Anggota DPR, sebut Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Center (SMC) Syahganda Nainggolan, patut mempertanyakan hal itu semua kepada Timur agar penunjukan dirinya sebagai Kapolri tidak tampak cacat, dan sebaliknya “memiliki alasan moral yang kuat sekaligus kepantasan di mata publik.”

Menurut hemat Syahganda, DPR dapat mengritisi pencalonan Kapolri bila dipandang mengandung unsur keganjilan, juga dapat menyatakan keberatan walaupun penetapan calon Kapolri merupakan hak prerogatif Presiden. Hal ini harus dilakukan agar kepemimpinan Polri berikutnya tidak memiliki sesuatu yang buram ataupun meragukan.

Selain kasus Trisakti 1998, Syahganda juga menyoroti kerusuhan dua kelompok massa di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, di Jalan Ampera, pekan lalu (28/9). Kerusuhan ini memperlihatkan betapa lemah antisipasi pihak polisi.

“Timur Pradopo sebagai Kapolda Metro Jakarta tidak mengambil cara-cara yang tegas dan berani dalam mengatasi kasus tersebut,” sebut Syahganda.

Hal serupa juga tampak dalam kerusuhan dua kelompok pemuda di Menteng, hanya sehari setelah kerusuhan Ampera.

“Padahal dua peristiwa itu merupakan rangkaian yang dapat membahayakan masyarakat di Jakarta, selain akibat premanisme yang dibiarkan, konflik itu seharusnya memberi makna bahwa penegakan hukum semakin kehilangan kewibawaannya,” kata Syahganda lagi.

Langkah polisi dalam menghadapi konflik antara jemaat Huria Batak Kristen Protestan (HKBP) dengan masyarakat Ciketing, Bekasi, Jawa Barat, juga perlu dijelaskan Timur.

“Masyarakat menghendaki Polri dipimpin sosok yang berani menegakkan keadilan hukum dan menjamin rasa aman masyarakat, selain pribadi dengan integritas moral yang luhur untuk membenahi internal Polri dari hal-hal buruk,” begitu kata Syahganda. [guh]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA