Terlebih lagi, karena Indonesia tidak memiliki sejarah konflik antar-etnik dan umat beragama. Kalau ada konflik, seperti di Ciketing dan di tempat-tempat lain sebelumnya, itu terjadi karena didisain oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengacaukan suasana dengan berbagai alasan dan kepentingan.
“Kita harus abaikan wacana konflik antar-etnik dan antar-umat beragama. Memang ada pihak yang ingin agar kita berpikir bahwa kita punya persoalan yang belum selesai satu sama lain,” ujar aktivis antikorupsi dan gerakan pluralisme, Adhie Massardi, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (21/9).
“Jadi tidak perlu ada dialog antar-umat beragama, karena masalah kita bukan disitu,” sambung santri Gus Dur ini.
Menurut Adhie persoalan yang terjadi saat ini berkaitan dengan ketidaktegasan pemerintah dalam menegakkan hukum. Anehnya, pemerintah seolah-olah melemparkan tanggung jawab dan memberi isyarat kuat bahwa ini adalah masalah di kalangan masyarakat.
“Jangan pemerintah melemparkan bola. Karena tidak dapt tegas, lantas menyerahkannya kepada masyaraat. Padahal ini tanggung jawab pemerintah 100 persen,” ujarnya lagi.
Untuk menyelesaikan persoalan warga Ciketing dan jemaat HKBP yang harus dilakukan pertama kali adalah menegakkan hukum. Setelah itu baru bisa bicara tentang aspek budaya.
Adhie mencontohkan penegakan hukum tegas yang dilakukan mantan Kapolda Sulawesi Tengah, Irjen Oegroseno, dalam menghadapi konflik di Poso. Setelah penegakan hukum berjalan dengan semestinya, barulah dialog lintas budaya yang digalang Jusuf Kalla dilakukan. Oegroseno kini adalah Kapolda Sumatera Utara. Segelintir orang, termasuk Adhie Massardi, berandai-andai ialah yang terpilih sebagai Kapolri baru menggantikan Jenderal BHD. [guh]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: