Prabowo datang dari barisan merah putih, seorang Komandan Kopassus yang mengabdi pada republik dengan disiplin dan rasa cinta tanah air yang nyaris mistik. Mualem lahir dari rahim perlawanan Aceh, mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka yang mengangkat senjata demi harkat rakyat dan martabat tanah kelahirannya. Dua dunia yang dahulu bertubrukan kini berpaut di bawah satu langit, membangun bangsa yang adil di atas kekayaan alamnya sendiri.
Dari Konflik ke Keadilan Alam
Pertemuan sejarah ini bukan kebetulan. Setelah dua dekade damai Helsinki, Aceh dan Indonesia memasuki babak baru, bukan lagi perang fisik, tetapi perang kebijakan. Musuhnya bukan lagi peluru, melainkan ketimpangan, ketamakan, dan eksploitasi.
Indonesia adalah negeri kaya yang masih miskin. Bank Dunia (2024) mencatat kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB nasional hanya sekitar 5,2 persen, sementara hampir 60 persen ekspor masih berbasis bahan mentah. Di sisi lain, ketimpangan ekonomi di daerah tambang tetap tinggi. Di Aceh, Badan Pusat Statistik pada Maret 2025 menunjukkan tingkat kemiskinan 12,33 persen, jauh di atas rata-rata nasional 8,47 persen. Di balik gemerlap emas dan batubara, rakyat di sekitar tambang masih bergulat dengan kemiskinan dan jalan rusak.
Presiden Prabowo membaca fakta ini sebagai tanda bahwa sistem lama telah gagal. Karena itu, ia menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025, regulasi yang mengubah wajah pengelolaan tambang di Indonesia. PP ini memerintahkan agar izin pertambangan tidak lagi dimonopoli oleh korporasi besar, tetapi diberikan prioritas kepada koperasi, BUMN/BUMD, organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi, dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Secara filosofis, PP ini merupakan tafsir hidup dari Pasal 33 UUD 1945, bahwa “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Prabowo mencoba mengembalikan makna konstitusi itu dari teks menjadi tindakan.
Namun, sebagaimana setiap kebijakan revolusioner, ujian terbesarnya bukan di kalimat hukum, melainkan di keberanian moral untuk melawan kepentingan lama.
Aceh menjadi cermin paling tajam dari perjuangan itu. Daerah ini memegang kekhususan hukum melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006, yang memberi wewenang besar dalam pengelolaan sumber daya alam. Di atas dasar hukum ini, Gubernur Aceh, Mualem, mulai mengambil langkah serupa: menghentikan tambang ilegal, menertibkan pengelolaan mineral dan logam, dan memerintahkan penyusunan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) serta penataan ulang Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017.
Kebijakan ini bukan sekadar administratif, tetapi memiliki makna historis dan filosofis yang dalam. Ia menjadi perwujudan dari amanat MoU Helsinki, bahwa setelah peluru berhenti, kesejahteraan harus dimulai. Bahwa Aceh berhak mengelola tanahnya sendiri untuk kemakmuran rakyatnya, bukan untuk segelintir kapitalis yang datang dan pergi.
Langkah Mualem ini sekaligus menjawab tantangan masa depan, bagaimana kekhususan Aceh tidak hanya menjadi simbol otonomi politik, tetapi juga alat untuk mewujudkan keadilan ekonomi dan ekologis.
Namun, agar tekad itu tak berhenti di tataran wacana, Aceh perlu segera menurunkan semangat nasional dan ruh lokal itu ke dalam Qanun WPR dan Qanun WIUP BUMD. Kedua regulasi daerah ini menjadi kunci untuk menegakkan sistem pengelolaan tambang yang berpihak pada rakyat, mengutamakan BUMD, dan mengunci kebocoran izin yang selama ini menjadi sumber masalah.
Lebih jauh lagi, Aceh harus berani melakukan moratorium IUP baru dan evaluasi menyeluruh terhadap izin yang ada, sebagaimana mandat Qanun Nomor 15 Tahun 2017. Tanpa keberanian politik untuk membersihkan akar masalah, keadilan sumber daya alam akan kembali menjadi slogan tanpa ruh.
Prabowo dan Mualem, dengan latar belakang dan jalan hidup yang keras, memahami bahwa keadilan tidak lahir dari kompromi, melainkan dari keberanian. Sebab korupsi sumber daya alam bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap rakyat dan masa depan bangsa.
Kini, tantangan keduanya bukan hanya menghentikan tambang ilegal, tetapi menata masa depan tambang yang berkeadilan. Itu berarti mendorong hilirisasi, menghadirkan investasi lokal, dan memastikan bahwa dari hulu hingga hilir, rakyat mendapatkan nilai tambah, bukan sekadar debu tambang yang tertinggal di rumah mereka.
John Rawls pernah menulis bahwa “keadilan adalah kebajikan pertama dari institusi sosial.” Dalam konteks Indonesia hari ini, keadilan berarti rakyat yang selama ini menggali tanah, menjaga sungai, dan hidup di sekitar tambang harus menjadi pihak pertama yang menikmati hasil bumi.
Dari Persahabatan ke Perjuangan Baru
Ada sesuatu yang simbolik dari persahabatan dua panglima ini. Prabowo dan Mualem tidak hanya mewakili dua tokoh, tetapi dua wajah bangsa yang pernah terpisah dan kini menyatu dalam cita-cita keadilan.
Dalam pidatonya di forum internasional, Prabowo pernah menyebut Mualem sebagai “teman seperjuangan yang patut dibanggakan.” Di Aceh, Mualem juga kerap menegaskan rasa hormatnya kepada Prabowo sebagai pemimpin yang konsisten pada nilai-nilai kejujuran dan nasionalisme. Persahabatan ini melampaui politik elektoral, ia adalah simbol rekonsiliasi sejati antara pusat dan daerah, antara republik dan rakyatnya.
Namun, sejarah tidak akan menilai mereka dari kata-kata, melainkan dari jejak kebijakan yang mereka tinggalkan. Bila Prabowo mampu mengubah paradigma pengelolaan tambang secara nasional, dan Mualem berhasil menerjemahkannya ke dalam sistem yang berpihak kepada rakyat Aceh, maka babak baru Indonesia akan lahir sebuah negeri yang benar-benar berdaulat atas sumber dayanya sendiri.
Perjuangan dua sahabat ini sejatinya bukan tentang emas, batu bara, atau izin tambang. Ini tentang hak rakyat untuk hidup sejahtera dari tanahnya sendiri. Ini tentang janji kemerdekaan yang belum selesai.
Dari medan perang mereka berangkat, ke meja kebijakan mereka kembali. Kini, peluru telah diganti dengan pena, dan kekuasaan berubah menjadi pengabdian. Bila keduanya konsisten menegakkan keadilan sumber daya alam, sejarah akan mengenang: dua panglima yang dulu bertempur di medan berbeda, akhirnya memenangkan perang paling mulia, perang melawan ketidakadilan di tanah yang kaya.
Delky Nofrizal Qutni
Ketua DPC Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Kabupaten Aceh Selatan/Wakil Ketua DPW APRI Provinsi Aceh
BERITA TERKAIT: