Namun sejarah kita terlalu sering menunjukkan retorika antikorupsi lebih sering menjadi slogan, bukan aksi nyata. Pertanyaannya: apakah jargon tersebut benar-benar merupakan dasar hidup atau hanya sekadar kedok untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan golongan?
Integritas yang Rapuh
Korupsi di Indonesia bukan sekadar ulah oknum, melainkan penyakit sistemik. Transparency International 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara, dengan skor hanya 34 dari 100 dalam Indeks Persepsi Korupsi.
Integritas pejabat publik yang seharusnya menjadi dasar seringkali hancur di hadapan daya tarik uang, kemewahan dan fasilitas. Banyak pejabat yang sebelumnya menyatakan bersih, pada akhirnya terjerat kasus setelah memimpin. Integritas yang diperlihatkan di awal karir ternyata hanyalah topeng yang rapuh.
Kasus Chromebook dan Sertifikasi K3: Simbol Retorika yang Runtuh
Kasus terbaru yang menyeret Nadiem Makarim, mantan Menteri Pendidikan sekaligus pendiri Gojek, menjadi bukti nyata. Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi pengadaan Chromebook senilai triliunan rupiah.
Nadiem, yang semula dielu-elukan sebagai wajah segar birokrasi dan simbol reformasi digital, kini runtuh citranya. Pengadaan yang mestinya untuk pemerataan akses pendidikan justru berubah menjadi ajang penyalahgunaan wewenang. Retorika inovasi dan integritas berubah menjadi ironi.
Kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang menyeret nama Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer alias Noel menarik perhatian publik. Yang dimana diketahui bahwa pernyataan Immanuel ihwal hukuman mati bagi pejabat negara yang korupsi juga pernah disampaikannya ke publik.
Sementara OTT di daerah seperti Ogan Komering Ulu menambah daftar panjang pejabat yang tertangkap tangan. Semua ini menegaskan bahwa anti-korupsi terlalu sering dijadikan branding politik, bukan komitmen moral.
Di depan publik, pejabat terlihat sangat vokal menentang gratifikasi dan mendesak transparansi. Namun sebaliknya, ucapan atau janji itu menghilang. Isu anti-korupsi diperlakukan seperti aksesori dikenakan saat momen tertentu saja.
Sebenarnya esensinya bukan siapa yang paling keras bersuara, melainkan siapa yang betul-betul menjaga integritas secara konsisten saat di kehidupan sehari-hari dan saat berkuasa.
Korupsi sebagai Krisis Moral
Korupsi tidak sekadar mengambil uang rakyat. Itu adalah pengkhianatan terhadap norma etika. Setiap rupiah yang dikorupsi berakhir pada pendidikan yang tidak terwujud, pusat kesehatan yang tidak pernah hadir, jalan yang terus berlubang, dan generasi yang kehilangan harapan.
Yang paling berbahaya, korupsi merusak teladan pemimpin. Bagaimana masyarakat bisa memiliki kepercayaan kepada negara jika para pemimpinnya malah menjual amanah? Krisis teladan ini menghancurkan legitimasi kekuasaan dan membuat rakyat semakin skeptis terhadap dinamika kekuasaan dan politik.
Penanggulangan korupsi tidak hanya dapat dilakukan melalui operasi tangkap tangan atau putusan pengadilan. Tanpa pergeseran etika, lembaga pemasyarakatan akan terus sesak tanpa mengubah kultur.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu segera ditangani seperti pendidikan karakter sejak usia dini, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan integritas, harus menjadi dasar kurikulum. Pemilihan pejabat harus berdasarkan integritas, bukan transaksional atau berdasarkan nepotisme dan selanjutnya, budaya birokrasi tanpa toleransi menolak gratifikasi, menolak kemewahan, dan transparan dalam setiap penggunaan anggaran. Integritas yang sesungguhnya muncul bukan karena sorotan kamera, melainkan karena nilai-nilai yang dijaga meskipun dalam kesendirian.
Publik Tak Boleh Apatis
Korupsi akan terus subur jika publik diam. Di sinilah peran masyarakat sipil, media, dan akademisi menjadi vital sebagai watchdog yang terus menekan, mengawasi pejabat publik. Skeptisisme rakyat penting setiap kali pejabat berbicara tentang integritas, masyarakat berhak untuk curiga.
Sebab, integritas bukanlah kata-kata, melainkan bukti nyata yang konsisten. Tanpa tekanan publik, pejabat akan nyaman bersandiwara. Dengan tekanan publik, mereka dipaksa membuktikan integritasnya.
Antikorupsi tidak boleh menjadi retorika murahan. Ia harus menjadi prinsip hidup yang melekat dalam setiap pejabat publik. Namun kasus demi kasus membuktikan sebaliknya: integritas lebih sering diperdagangkan di pasar politik.
Kini, pertanyaan yang tersisa bagi kita semua adalah: apakah kita akan terus membiarkan sandiwara ini berlangsung, atau berani menuntut konsistensi nyata dari para pemimpin?Jika publik memilih diam, topeng integritas akan terus dipakai, dan bangsa ini akan kembali dirampas oleh tangan-tangan yang mengkhianati amanah.

*Penulis adalah Aparatur Sipil Negara
BERITA TERKAIT: