Di tengah kekacauan itu, seorang pegawai honorer bernama Sarinawati, 26 tahun, terjebak di dalam ruangan. Ia bukan aktivis. Ia juga bukan pejabat.
Ia hanya seorang perempuan muda yang tiap bulan membawa pulang gaji untuk membantu orangtuanya di kampung di Gowa.
Malam itu, asap menutup napasnya. Namanya kini tinggal kenangan yang diselipkan di baliho-baliho duka di sudut kota. Ia wafat bersama dua orang lainnya.
Tragedi seperti ini menyentak kita: protes yang semula lahir dari aspirasi rakyat, berubah menjadi amuk yang merenggut nyawa orang tak berdosa.
Dari sinilah kita perlu memilah: mana protes yang bagian dari denyut civil society, dan mana yang sekadar menjadi panggung bagi kaum perusuh, yang memiliki agenda berbeda.
Apa Itu Civil Society?Ada kekuatan yang tak lahir dari bayonet tentara, undang-undang negara, atau modal pemilik kapital. Ia lahir dari rakyat biasa, dari masjid dan gereja, pasar dan kampus, serikat buruh dan komunitas daring.
Inilah civil society, masyarakat sipil. Ia adalah nafas ketiga demokrasi setelah negara dan pasar.
Sejak Adam Ferguson (1767) menulis Essay on the History of Civil Society, hingga Alexis de Tocqueville kagum melihat perkumpulan sukarela di Amerika abad ke-19, konsep ini menjadi tonggak bagi kebebasan politik.
Civil society adalah ruang di mana solidaritas tumbuh, kepentingan dinegosiasikan, dan warga belajar seni berdemokrasi.
Civil Society dalam Tiga Wajah1. Di negara demokratis
Ia menjadi watchdog, menggugat di pengadilan, menekan lewat opini publik, melobi parlemen.
2. Di negara transisi
Ia adalah “sekolah kewargaan,” mengajarkan rakyat menyampaikan aspirasi tanpa kekerasan.
Tetapi di sinilah juga muncul godaan: apakah ia tetap mandiri, atau tergoda jadi alat elite politik?
3. Di negara otoriter
Ia hanyalah api kecil yang berusaha bertahan dalam kegelapan.
Namun sering kali, justru dari celah sempit itu lahir percikan reformasi besar: Eropa Timur 1989, Indonesia 1998.
Protes Damai itu Bahasa Civil Society, Tapi Kekerasan itu Bahasa Kaum Perusuh.
Aksi protes adalah bahasa rakyat ketika pintu dialog ditutup. Dari gerakan Solidarnosc di Polandia, Civil Rights Movement di Amerika, hingga Reformasi 1998 di Indonesia, semuanya ditopang oleh civil society.
Namun garis moral tak boleh dilewati. Civil society boleh memobilisasi protes damai, tetapi tak boleh mensponsori kerusuhan.
• Secara etis: Kekerasan meniadakan martabat manusia, padahal civil society lahir untuk melindunginya.
• Secara strategis: Kekerasan justru memberi legitimasi pada negara untuk menindas lebih keras.
• Secara filosofis: Civil society adalah ruang dialog, bukan medan perang.
Vaclav Havel pernah berkata: “Kekuatan civil society adalah kekuatan kebenaran, bukan kekuatan senjata.”
Sejak 25 Agustus 2025, tercatat 107 aksi protes di 32 provinsi di Indonesia. Mereka was-was atas kesulitan ekonomi, susahnya mencari kerja, menurunnya daya beli.
Mereka juga marah atas hedonisme pejabat, kecewa dengan kenaikan pajak, dan tersentak oleh tragedi pengemudi ojek online yang terlindas (dilindas) kendaraan aparat.
Selama protes dilakukan dengan damai, ia bagian dari civil society yang sehat.
Tetapi ketika bom molotov dilemparkan, ketika gedung DPRD dibakar, rumah pejabat dijarah, dan rakyat kecil mati sia-sia, itu bukan lagi civil society. Itu adalah kerja kaum perusuh.
Presiden Prabowo sendiri menegaskan adanya pola keterlibatan pihak tertentu. Di sinilah tantangan kita: menjaga civil society agar tetap murni, tidak ditunggangi.
Sejarah juga menunjukkan, transisi protes damai menjadi kerusuhan kerap dipicu oleh kombinasi faktor.
Itu bisa karena represi aparat yang berlebihan, frustasi ekonomi yang menumpuk tanpa kanal kebijakan, lemahnya kepemimpinan lokal dalam merespons aspirasi.
Atau, ini yang lebih berbahaya, infiltrasi aktor politik, atau “pengusaha bermasalah,” atau “oknum aparat,” yang sengaja mendompleng. Tanpa manajemen konflik yang bijak, energi aspirasi mudah berubah menjadi ledakan amarah yang diarahkan untuk merusak.
Infiltrasi aktor eksternal sering memanfaatkan kerentanan emosional massa. Dengan menyusupkan provokator, menyebar hoaks tentang kekerasan aparat, atau merusak simbol publik secara strategis, mereka mengubah solidaritas menjadi amuk.
Ini menciptakan alasan bagi represi negara sekaligus mendelegitimasi tuntutan inti gerakan.
Di tengah risiko infiltrasi, gerakan sipil progresif seperti Black Lives Matter (2020) mencontohkan mekanisme accountability.
Mereka berdayakan penggunaan platform digital untuk verifikasi partisipan, pelatihan nonviolent
communication via webinar, dan kolaborasi dengan LSM independen untuk memantau aksi.
Kerangka "3P" (Prevention-Protection-Prosecution) ala PBB bisa diadopsi untuk memisahkan aspirasi murni dari agenda destruktif.
Aslinya aksi protes adalah sebuah sistem yang menjamin protes tetap menjadi suara nurani, bukan panggung kekacauan.
Prevention mencegah eskalasi. Protection melindungi warga sipil dan hak berekspresi. Sedangkan Prosecution menindak pelaku kekerasan.
Dengan 3P, aspirasi murni tetap terjaga tanpa tercampur agenda destruktif.
Civil society menjadi cermin nurani bangsa. Ia rapuh sekaligus perkasa. Ia bisa dibungkam, tetapi selalu menemukan jalannya kembali.
Seperti lilin kecil dalam kegelapan, ia tampak remeh. Namun dari lilin-lilin kecil itulah, sejarah besar peradaban sering dimulai.
Protes damai itu lagu nurani. Sedangkan kerusuhan menjadi jeritan amarah. Satu memberi kehidupan demokrasi, yang lain menodainya.
Maka marilah kita dukung tumbuhnya civil society yang non-kekerasan.
Ini aksi protes sejati, yang menolak ditunggangi, yang tak mau bercampur dengan kaum perusuh, yang teguh menjaga roh kemanusiaannya.***
Referensi1. Adam Ferguson, An Essay on the History of Civil Society. Cambridge University Press, 1995 (edisi ulang).
2. Alexis de Tocqueville, Democracy in America. University of Chicago Press, 2000 (edisi terjemahan modern).
Penulis adalah pendiri LSI Denny JA
BERITA TERKAIT: