Marsinah: Korban Kelamnya Orde Baru

OLEH: KHAIRUL A. EL MALIKY

Minggu, 22 Juni 2025, 06:00 WIB
Marsinah: Korban Kelamnya Orde Baru
Ilustrasi Marsinah/Net
MARSINAH bukan sekadar nama. Ia adalah simbol. Ia adalah potret buruh perempuan yang menyala dalam sejarah Indonesia yang dibungkam oleh ketakutan dan represi. Ketika kita menyebut Marsinah, kita sedang membuka lembaran paling gelap dari era Orde Baru. Masa ketika kekuasaan begitu pongah, dan hak asasi manusia hanyalah jargon kosong di atas mimbar-mimbar palsu penguasa.

Buruh Perempuan yang Menuntut Keadilan

Marsinah adalah pekerja PT Catur Putra Surya (CPS) di Sidoarjo, Jawa Timur. Pada 3 Mei 1993, ia turut memperjuangkan hak buruh: kenaikan upah minimum regional yang seharusnya ditetapkan sesuai ketentuan pemerintah. Tapi perusahaan, seperti lazimnya perusahaan di masa itu yang dipelihara oleh para jenderal dan pejabat, menolak mengikuti aturan. Buruh mogok. Tuntutan disuarakan. Marsinah tak diam.

Keberanian Marsinah saat itu bukan hanya soal upah. Ia menolak ketidakadilan yang dilakukan oleh pemilik modal dan aparat negara yang begitu kompak membungkam buruh. Tapi di Indonesia era Orde Baru, keberanian seperti itu dibayar mahal. Dan nyawa Marsinah adalah bukti yang paling getir.

Disiksa, Dibunuh, dan Dilupakan Negara

Pada 8 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan di sebuah gubuk tua di hutan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Tubuhnya penuh luka. Dianiaya. Disiksa. Diperkosa. Kematiannya mengoyak nurani bangsa, kecuali nurani para pemilik kekuasaan.

Hingga kini, pelaku pembunuhan Marsinah tak pernah benar-benar diadili. Ada pengalihan isu, ada tersangka palsu, ada upaya menutupi jejak, bahkan mengkambinghitamkan rekan-rekannya. Ini bukan hanya soal hukum yang cacat, tapi sistem yang rusak dari akar. Sebab bagaimana mungkin negara bisa mengadili dirinya sendiri ketika ia sendiri yang menciptakan kekerasan?

Orde Baru: Kekuasaan yang Anti-Rakyat

Kematian Marsinah bukan peristiwa tunggal. Ia bagian dari pola sistematis represi Orde Baru terhadap siapapun yang berani berbeda, terutama mereka yang menuntut hak buruh, keadilan sosial, atau sekadar menyuarakan kebenaran.

Di masa itu, militer bukan pelindung rakyat, tapi pelindung pemodal. Intel bukan penjaga negara, tapi mata dan telinga penguasa yang antikritik. Mahasiswa dibungkam, aktivis diculik, buruh dibantai, wartawan diintimidasi. Semua demi stabilitas semu yang hanya menguntungkan elite dan kroni mereka.

Simbol Perlawanan dan Ingatan Kolektif

Marsinah tak sempat menulis memoar. Tapi tubuh lebamnya telah menulis sejarah. Ia menulis dengan darah. Dengan luka. Dengan keteguhan perempuan muda yang tak takut melawan sistem.

Sayangnya, negara mencoba membuat kita lupa. Sekolah tak mengajarkan tentang Marsinah. Buku sejarah negara menghindari nama itu. Tak ada monumen negara untuknya. Tak ada hari nasional memperingati perjuangannya. Yang ada hanya diam. Hening. Pengkhianatan terhadap ingatan.

Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang berani mengakui dosanya sendiri. Dan salah satu dosa terbesar Orde Baru adalah membunuh Marsinah. Dan membiarkannya terkubur tanpa keadilan.

Demokrasi yang Masih Cacat

Reformasi telah berjalan lebih dari dua dekade. Tapi apakah keadilan untuk Marsinah sudah ditegakkan? Belum. Apakah hukum sudah tajam ke atas? Belum. Apakah buruh sudah sepenuhnya dilindungi? Jauh dari itu.

Setiap 8 Mei, kita mengingat Marsinah. Tapi hanya sebagian kecil yang sungguh-sungguh peduli. Negara masih gagap, bahkan enggan menyentuh kembali kasus ini. Bahkan para pemimpin yang dulu berdiri atas nama rakyat, kini asyik bersalaman dengan pemilik modal dan investor. Buruh masih jadi sapi perah. Hak mereka masih diabaikan atas nama pertumbuhan ekonomi.

Marsinah mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak datang dari pidato dan pemilu. Demokrasi datang dari darah. Dari keberanian untuk melawan ketidakadilan. Dan dari tekad untuk terus menuntut keadilan, meski negara pura-pura tuli.

Jangan Biarkan Marsinah Mati Dua Kali

Kematian fisik Marsinah sudah cukup menyakitkan. Tapi kematian yang lebih parah adalah jika kita melupakannya. Jika namanya hanya dikenang oleh segelintir aktivis. Jika perjuangannya tak pernah diajarkan di sekolah-sekolah. Jika generasi muda lebih hafal nama seleb TikTok ketimbang perempuan yang memperjuangkan hak-hak mereka di tempat kerja.

Marsinah harus hidup dalam ingatan kolektif bangsa. Ia harus diabadikan dalam kurikulum. Dikenang dalam monumen. Diperjuangkan lewat hukum. Dan dijadikan simbol bahwa bangsa ini pernah punya perempuan buruh yang lebih gagah dari jenderal.

Penutup: Keadilan yang Ditunda adalah Pengkhianatan

Keadilan yang tidak datang bukan sekadar kelalaian. Ia adalah pengkhianatan. Pengkhianatan terhadap konstitusi. Terhadap kemanusiaan. Terhadap sejarah.

Marsinah tidak meminta kita menangisi kematiannya. Ia meminta kita meneruskan perjuangannya. Untuk buruh. Untuk perempuan. Untuk rakyat kecil yang selalu jadi korban kolusi kekuasaan dan modal.

Sampai keadilan datang, biarlah nama Marsinah terus kita gaungkan. Sebab di dalam nama itu, ada perlawanan. Ada harapan. Dan ada luka yang belum sembuh.

“Jika aku mati karena memperjuangkan hak buruh, jangan biarkan kematianku sia-sia,” suara yang tak tertulis dari Marsinah, perempuan yang berani melawan Orde Baru. rmol news logo article

Penulis adalah pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, dan esais
EDITOR: AGUS DWI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA