Nasib Tanah Ulayat: Antara Warisan Leluhur dan Ancaman Kapitalisme Modern

OLEH: KHAIRUL A. EL MALIKY

Senin, 16 Juni 2025, 16:34 WIB
Nasib Tanah Ulayat: Antara Warisan Leluhur dan Ancaman Kapitalisme Modern
Ilustrasi Tanah Ulayat/Net
TANAH ulayat adalah tanah adat yang dimiliki secara komunal oleh suatu komunitas adat atau suku tertentu di Indonesia. Tanah ini bukan milik perorangan, melainkan milik bersama yang diwariskan turun-temurun. Di dalamnya terkandung bukan hanya nilai ekonomi, tetapi juga nilai spiritual, sosial, dan identitas budaya. 

Namun, seiring dengan derasnya arus investasi, pembangunan infrastruktur, dan pengaruh kapitalisme modern, nasib tanah ulayat kini berada di persimpangan jalan: bertahan sebagai simbol kearifan lokal atau lenyap ditelan eksploitasi?

Apa Itu Tanah Ulayat?

Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), tanah ulayat adalah bagian dari hak ulayat masyarakat hukum adat, yaitu hak yang memberi wewenang kepada masyarakat adat untuk mengatur dan memanfaatkan tanah dan sumber daya di dalamnya. Hak ini bersifat komunal, artinya tidak dapat diperjualbelikan secara bebas dan bukan milik individu.

Kajian dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan bahwa setidaknya ada 20 juta hektare wilayah adat yang telah dipetakan di Indonesia, namun sebagian besar belum diakui secara formal oleh negara. Inilah sumber masalah yang menjadi akar konflik agraria antara masyarakat adat dan pihak luar, termasuk pemerintah dan korporasi. 

Ancaman Terbesar: Investasi Skala Besar dan Perampasan Tanah 

Salah satu masalah utama yang dihadapi tanah ulayat adalah konversi paksa menjadi lahan sawit, tambang, atau proyek infrastruktur atas nama pembangunan. Pemerintah seringkali memberikan izin konsesi kepada perusahaan besar tanpa melalui konsultasi yang bermakna dengan masyarakat adat.

Akibatnya, banyak komunitas kehilangan tanah ulayat mereka, sumber penghidupan rusak, dan struktur sosial tradisional ikut hancur.

Contoh paling mencolok terjadi di Papua, di mana ribuan hektare hutan adat dikonversi menjadi lahan sawit.

Studi dari Pusaka Bentala Rakyat mencatat bahwa 85 persen tanah adat di Papua sudah diberikan izin kepada perusahaan perkebunan dan tambang, sebagian besar tanpa persetujuan masyarakat adat. Ini bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga bentuk perampasan hak kolektif atas tanah yang diwariskan secara turun-temurun. 

Bukti Ilmiah: Studi, Hukum, dan Dampaknya

Secara ilmiah, banyak penelitian yang membuktikan bahwa pengelolaan tanah ulayat oleh masyarakat adat justru lebih berkelanjutan dibandingkan model kapitalistik modern. Misalnya, studi oleh CIFOR (Center for International Forestry Research) menunjukkan bahwa hutan yang dikelola oleh masyarakat adat memiliki tingkat deforestasi yang jauh lebih rendah dibandingkan hutan yang dikelola oleh perusahaan atau pemerintah. 

Lebih lanjut, keberadaan tanah ulayat berkorelasi langsung dengan kesejahteraan sosial masyarakat adat. Tanah ini menjadi sumber pangan, obat-obatan tradisional, dan tempat upacara adat. Ketika tanah ini hilang, terjadi disintegrasi budaya dan meningkatnya angka kemiskinan di komunitas adat.

Sayangnya, meskipun sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara, implementasinya di lapangan masih lemah. Banyak pemerintah daerah belum memiliki mekanisme legal untuk mengakui dan melindungi hak ulayat secara nyata.

Analisis: Lemahnya Perlindungan Hukum dan Keserakahan Ekonomi

Masalah utama dari nasib tanah ulayat adalah lemahnya perlindungan hukum. Meski UUPA dan keputusan MK memberikan dasar hukum, pelaksanaannya terganjal oleh ego sektoral, ketidaksinkronan regulasi, dan korupsi di tingkat lokal.

Di sisi lain, pendekatan pembangunan nasional kita masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan keberlanjutan dan keadilan sosial. Masyarakat adat seringkali diberi label sebagai penghambat pembangunan, padahal mereka adalah penjaga ekosistem yang sebenarnya.

Hal yang ironis adalah tanah ulayat seringkali baru dihargai ketika sudah dikuasai investor. Ketika masih dikelola oleh masyarakat adat, tanah itu dianggap tidak produktif. Padahal, dari perspektif ekologi dan ekonomi berkelanjutan, tanah ulayat justru menyimpan nilai strategis jangka panjang: ketahanan pangan, pelestarian lingkungan, dan keberlangsungan budaya.

Jalan Keluar: Rekognisi, Perlindungan, dan Partisipasi

Untuk menyelamatkan nasib tanah ulayat, ada tiga langkah yang harus dilakukan:

1. Rekognisi Legal: Negara harus segera mengakui wilayah adat melalui peraturan daerah dan pemetaan partisipatif. Wilayah yang sudah dipetakan oleh masyarakat adat harus diakui secara hukum.

2. Perlindungan Substantif: Harus ada regulasi yang melarang pemberian izin investasi di atas tanah ulayat tanpa persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (Free, Prior, Informed Consent - FPIC).

3. Partisipasi Aktif: Libatkan masyarakat adat dalam setiap proses pengambilan keputusan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tanpa partisipasi, pembangunan hanya akan menjadi bentuk kolonialisme baru.

Penutup: Menjaga Warisan, Menjaga Masa Depan

Tanah ulayat bukan sekadar tanah. Ia adalah ingatan kolektif, rumah budaya, dan penjaga harmoni dengan alam. Kehilangannya bukan hanya kerugian bagi komunitas adat, tetapi juga bagi bangsa ini secara keseluruhan. Jika kita tidak segera menyelamatkan tanah ulayat, maka yang kita wariskan bukan lagi kekayaan budaya, melainkan luka sejarah yang tak sembuh.

Maka, mari kita tegakkan keadilan agraria. Karena menjaga tanah ulayat, sama artinya menjaga identitas bangsa.  rmol news logo article

Penulis adalah pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis. 
EDITOR: AGUS DWI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA