Namun peluncuran capaian tersebut terlihat kontradiktif, karena kita sedang berada diambang krisis ekonomi. Kekhawatiran itu terlihat nampak pada sehari sebelum peluncuran capaian 130 hari Pemerintah, tepatnya pada Selasa 18 Maret 2025 yang membuat situasi makin mengkhawatirkan. Ketika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada sesi satu perdagangan mengalami anjlokan yang sangat signifikan menyentuh angka hampir 7 persen ke level 6.076.
Dimana terakhir IHSG kita jatuh terjadi pada 9 Maret 2020 waktu pandemi Covid-19 pertama kali diumumkan di Indonesia. Bahkan efek dari anjloknya IHSG kemarin, BEI harus menghentikan semantara perdagangan saham.
Bila kita cermati bersama berbagai peristiwa anjloknya IHSG dari waktu ke waktu nampaknya pemerintah tak belajar dari sejarah di masa lalu, sudah jelas bahwa IHSG ini sangat sensitif sekali terhadap situasi baik ekonomi, politik, dan keamanan. Baik yang terjadi di luar negeri maupun dalam negeri.
Kejatuhan IHSG yang drastis kerap dipicu oleh beberapa faktor seperti gangguan keamanan nasional, krisis ekonomi global, arus modal keluar, hingga kebijakan ekonomi yang kurang stabil.
Memang kita tak bisa menampikan bahwa anjloknya IHSG itu disebabkan oleh dinamika global yang tak pasti apalagi semenjak Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang melakukan kebijakan perang tarif membuat investor menjadi kalang kabut, imbasnya banyak pemodal kakap menarik dananya dari pasar saham, termasuk di Indonesia.
Namun bukan malah mengantisipasi gejolak global agar dampaknya tak membuat kita mengalami distraksi ekonomi. Pemerintah malah membuat pasar semakin khawatir, dengan berbagai macam kebijakannya.
Bahkan yang paling miris adalah ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengumumkan bahwa realisasi APBN hingga akhir Februari 2025 mengalami defisit sekitar Rp31,2 Triliun atau 0.13 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga pendapatan negara pada akhir Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2024, penerimaan negara anjlok 20,85 persen.
Tentu kondisi ini semakin harus bisa di mitigasi dengan baik oleh Presiden Prabowo yang merupakan militer sejati pasti punya jalan keluar ditengah himpitan seperti ini. Apalagi melihat bahwa adanya trust issue dari investor, bila meminjam istilah Gen-Z sekarang . Bahwasanya dalam menciptakan iklim investasi yang sehat diperlukan keadaan sosial , politik, hukum yang stabil agar investor percaya bahwa uang yang mereka keluarkan akan bisa berdampak.
Kalau melihat keadaan sekarang kan, investor menjadi ragu karena tidak adanya kepastian hukum yang jelas, dengan melihat maraknya kasus mega korupsi. Sehingga kekhawatiran risiko fiskal yang terus meningkat ini membuat investor beralih kepada investasi lain yang jauh lebih aman dan memberikan kepastian.
Dari peristiwa ini juga kita juga bisa menilai bahwa ada yang tak beres dalam tubuh kabinet Pemerintahan Prabowo Gibran khususnya para menteri yang bertanggungjawab di sektor perekonomian.
Bila merujuk peraturan Presiden Nomor 139 tahun 2024 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Indonesia Merah Putih Periode Tahun 2024-2029, adapun kementerian yang mengurusi masalah perekonomian di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian adalah Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian ESDM, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pariwisata.
Kementerian tersebut terlihat belum mampu melaksanakan asta cita Presiden Prabowo karena tak bisa membuat perekonomian stabil bahkan kerap ada yang bikin gaduh.
Bila meminjam istilahnya Esther Tri Astuti Direktur Eksekutif INDEF yang mengatakan bahwa “Political announcement influences economic conditions” yang artinya setiap kebijakan politik berpengaruh kepada kondisi ekonomi.
Terdapat catatan mendasar kepada para menteri yang mengurusi bidang ekonomi tersebut yang tak mampu melaksanakan Asta Citanya Presiden Prabowo Subianto bahkan malah membuat kisruh.
Seperti contoh kebijakan gas 3 kg yang sempat membuat heboh, hampir saja membuat ekonomi tak stabil akibat ulah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang terlihat serampangan dalam membuat kebijakan.
Lalu ada Menteri Investasi, Rosan Roslani yang masih rangkap jabatan, sebagai menteri maupun kepala danantara. Tentu akan membuat investor akan kehilangan trust, dan cenderung bingung.
Selain itu juga ada Erick Thohir Menteri BUMN yang dianggap tak bisa menjaga tata kelola migas dengan baik, ketika ada kasus besar yang melibatkan Pertamina dengan kasus BBM oplosan, hingga Menteri Perdagangan Budi Santoso, yang gagal menjaga stabilitas harga minyak subsidi "MinyaKita". Produk yang sejatinya menjadi tumpuan masyarakat miskin, justru mengalami kelangkaan dan kenaikan harga. Ironisnya, penyimpangan ini ditemukan bukan oleh Kementerian Perdagangan, melainkan oleh lembaga lain.
Catatan tersebut bukan berarti tak menghormati kinerja para menteri tersebut. namun sebagai bahan kritikan agar Presiden Prabowo Subianto sudah selayaknya mengganti beliau-beliau tersebut. kabarnya bila memang Awal April nanti akan terjadi Makro Reshuffle seperti kabar yang terus berhembus saat ini. Tentu mereka sangat layak untuk diganti kepada sosok yang lebih pantas dan amanah serta tentunya memiliki pengalaman yang mumpuni.
Salah satunya sosok yang layak dipertimbangkan oleh Presiden adalah Harvick Hasnul Qolbi, Wakil Menteri Pertanian di Era Presiden Jokowi yang bahkan pernah mendapatkan Bintang Jasa Pratama oleh Presiden Jokowi kala itu atas pengabdiannya.
Reshuffle kabinet memang bukan satu-satunya cara untuk mengembalikan kepercayaan pasar maupun publik. Tapi Reshuffle Kabinet bisa menjadi harapan baru untuk bisa merubah situasi agar kembali stabil. Agar cita-cita Presiden dalam mewujudkan Indonesia yang Sejahtera bisa terwujud, tentunya dengan kinerja menterinya yang harus maksimal, dan tidak mengulangi kesalahan kembali yang bisa membuat publik maupun pasar menjadi kehilangan kepercayaan.
*Penulis adalah Co Founder Forum Intelektual Muda
BERITA TERKAIT: