Banyak pengamat ekonomi yang menilai hal tersebut sebagai target pertumbuhan ekonomi yang sangat ambisius, sebagai penghalusan kata kalau target ekonomi tersebut tidaklah realistis.
Hal ini bisa dipahami, karena para ekonom yang menimba ilmu ekonomi di negara-negara Barat, yang kebanyakan juga menganut sistem demokrasi pemilihan langsung, sangat jarang memiliki pertumbuhan yang tinggi.
Logisnya begini, karena menganut sistem demokrasi pemilihan langsung, agar bisa memenangkan pemilihan umum sehingga tetap berada pada tampuk pimpinan kekuasaan, maka seorang pemimpin haruslah mendapat dukungan dari seluruh daerah secara merata, konsekuensi hal ini adalah pembangunan harus merata.
Hal berbeda dengan negara-negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka akan ada daerah-daerah tertentu yang diberi fasilitas lebih dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain, agar bisa menjadi lokomotif pembangunan bagi daerah-daerah sekitarnya.
Strategi pembangunan inilah yang menjadi pilihan Orde Baru, sehingga konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah pembangunan menjadi tidak merata.
Tekad Presiden Prabowo yang mencanangkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, adalah tantangan yang harus direalisasikan oleh para menteri Kabinet Merah Putih, dengan kejelian untuk memaksimalkan potensi-potensi ekonomi yang selama ini terpendam.
Para menteri Kabinet Merah Putih tidak boleh lagi terjebak dalam fenomena birokrasi masa lalu, yaitu sekadar mengubah tantangan menjadi tentengan semata.
Berkah Iklim Tropis IndonesiaIndonesia yang terletak di sabuk khatulistiwa, diberkahi 12 bulan penuh sinar matahari yang diperlukan oleh tanaman untuk melakukan fotosintesis. Selain itu Indonesia juga diberkahi hanya memiliki 2 musim saja, yaitu musim kering (kemarau) dan musim basah (penghujan).
Sayangnya selama ini jika musim kemarau lahan pertanian kita kekeringan sampai tanahnya retak-retak, sebaliknya jika musim penghujan malah kebanjiran.
Air hujan sebagai sumber utama air tawar, idealnya ditahan selama mungkin di daratan. Maka selain membangun embung, waduk, dan bendungan, jauh lebih mendesak lagi saat ini untuk dibuat pintu-pintu air di sepanjang sungai, sehingga mampu mengurangi laju muka air sungai agar air tawar tidak segera terbuang ke laut.
Fenomena ini menunjukkan jika
water management yang kita jalankan selama ini belum komprehensif, tidak pernah menempatkan
rain management sebagai faktor yang terutama.
Padahal dengan menggunakan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) potensi curah hujan dapat dimaksimalkan pada musim kemarau melalui hujan buatan. Sebaliknya, pada musim penghujan potensi curah hujan yang terlalu tinggi sehingga dapat menyebabkan banjir, dapat diminimalkan dengan teknik
cloud buster.
Strategi Kementerian Pertanian dalam menggenjot produktivitas pertanian melalui bantuan benih, pupuk, dan alsintan, selalu tidak maksimal karena kendala pasokan air untuk pertanian di musim kemarau.
Dari catatan secara nasional, 7,4 juta hektare luas baku sawah di Indonesia, ada sekitar 36 persen merupakan sawah tadah hujan.
Solusi jangka pendek masalah pasokan air bagi pertanian adalah dengan bantuan pompa untuk meningkatkan ketersediaan air melalui program pompanisasi.
Dalam jangka panjang, sebenarnya penyediaan air bagi pertanian dan perkebunan lebih murah diguyurkan dengan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) melalui program hujan buatan.
Berbeda dengan pompanisasi, jika melalui program bantuan pompanisasi maka biaya pengadaan air pada akhirnya menjadi beban petani, sedangkan melalui TMC maka beban pengadaan air bisa ditanggung oleh negara, ataupun oleh perusahaan perkebunan besar baik secara mandiri, maupun melalui program CSR mereka.
Biaya TMC untuk hujan buatan saat ini sudah jauh lebih murah dan efisien. Hal ini disebabkan karena adanya penemuan terbaru dari ilmuwan asli Indonesia dan teknologi ini sudah dipatenkan oleh Prof. Heri Budi Wibowo (Kepala Program Studi Persenjataan Unhan) dan Raden Djoko Goenawan MSi, Phd (c) yaitu:
1. Flare untuk Bahan Semai Hujan Buatan (Terdaftar, 2024)
2. Modifikasi Cuaca Berbasis Drone dengan Sistem Fogging (Terdaftar, 2023)
Jika dulu teknologi konvensional yang kita kenal untuk membuat hujan buatan adalah dengan menggunakan pesawat yang terbang di atas awan-awan potensial untuk dilakukan penyemaian (
seeding) dengan menggunakan bahan semai garam, maka dengan teknologi karya bangsa Indonesia sendiri, tidak lagi menggunakan pesawat terbang yang ongkos operasionalnya sangat mahal. Cukup dengan menggunakan drone dan menggunakan bahan nanopartikel hygroscopic yang dibakar dalam kemasan tabung flare.
Pembentukan awan yang dihasilkan oleh setiap 1 kg bahan semai dalam bentuk flare nano partikel higroskopis, setara dengan pembentukan awan yang dilakukan penyemaian dengan 1 ton garam semai.
Komitmen Presiden Prabowo untuk memakai produk-produk karya asli bangsa Indonesia melalui mobil kepresidenan Maung Garuda, memberikan harapan baru agar TMC dengan teknologi flare dan drone karya asli bangsa Indonesia, yang lebih efektif dan biaya yang lebih terjangkau dibandingkan dengan teknologi konvensional yang menggunakan garam semai yang diangkut moda pesawat terbang, harapan kami dapat digunakan secara masif sebagai pilihan utama dalam
rain management di Indonesia.
Dalam rangka mempercepat realisasi pertumbuhan ekonomi 8 persen tersebut, salah satu alternatif adalah meningkatkan produktivitas sektor pertanian, perkebunan, dan pertambangan melalui Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).
Tenaga kerja pertanian (dalam arti sempit) merupakan tenaga kerja terbesar dengan jumlahnya mencapai 36,46 juta orang pada Agustus 2023.
Jumlah ini merupakan 26,07 persen dari jumlah tenaga kerja Indonesia seluruhnya yaitu 139.85 juta orang, di mana sekitar sepertiganya berada di sektor perkebunan, yang memiliki kontribusi sekitar 12,98 persen terhadap perekonomian nasional. Sayangnya pada setiap musim kemarau selalu mengalami penurunan produktivitas karena berkurangnya pasokan air.
Sedangkan di sektor pertambangan, meski hanya menyerap sekitar 1,2 persen tenaga kerja tetapi kontribusinya kepada pertumbuhan nasional 2022 adalah sebesar 12,22 persen. Sayangnya pada setiap musim penghujan juga mengalami penurunan produktivitas karena alat-alat berat menjadi berbahaya dioperasikan pada saat turun hujan.
Dengan mengoptimalkan Teknologi Modifikasi Cuaca untuk hujan buatan pada musim kemarau, diharapkan perkebunan dan pertanian akan mendapatkan pasokan air yang cukup. Sebaliknya pada musim penghujan, maka intensitas hujan di lokasi-lokasi pertambangan bisa diminimalkan secara signifikan.
Potensi Terpendam Industri Sawit NasionalMarilah kita ambil contoh dari realitas yang ada pada sektor perkebunan sawit, dengan menggunakan data-data sekunder dan asumsi-asumsi yang konservatif.
Luas perkebunan sawit di Indonesia sekitar 17 juta hektare, usia produktif kelapa sawit adalah 8 tahun sampai 25 tahun.
Dengan demikian kita asumsikan jika terdapat tanaman sawit yang berumur di bawah 8 tahun sebesar 5 juta hektare dari 17 juta hektare, sehingga yang produktif hanyalah 12 juta hektare.
Produktivitas kelapa sawit berusia di atas 8 tahun adalah 2 ton per hektare, namun di masa kemarau produktivitas itu bisa turun menjadi 50 persen (bahkan di beberapa tempat bisa jauh lebih rendah lagi) menjadi sekitar 1 ton/hektare selama 4 bulan kemarau, keadaan ini dikenal dengan istilah musim trek buah sawit.
Musim trek adalah siklus yang pasti dialami tanaman kelapa sawit setiap tahun. Saat terjadi trek buah, produksi buah jauh berkurang. Akibatnya pendapatan petani juga berkurang.
Jika diasumsikan rata-rata produksi TBS adalah 2 ton/hektare/bulan, maka dalam 12 bulan akan menghasilkan TBS:
12 bulan × 2 ton = 24 ton/tahun. Karena terdapat penurunan produksi sebanyak 50 persen atau sekitar 1 ton/hektare selama 4 bulan musim kemarau, maka produksi TBS turun hanya menjadi 20 ton/tahun, dengan kata lain terjadi penurunan produktivitas sebesar 20 persen.
Jika harga Tandan Buah Segar (TBS) Rp2.500/kg akibat faktor kekurangan air di musim kemarau, maka terjadi hilangnya pendapatan dari hasil menjual Tandan Buah Segar (TBS) adalah sebesar:
4 bulan × 12 juta hektare × 1.000 kg × Rp2.500/kg = Rp120 triliun/tahun.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat produksi crude palm oil (CPO) tahun 2023 mencapai 50,07 juta ton atau naik sebesar 7,15 persen dari 2022 sebesar 46,73 juta ton.
Artinya jika faktor trek buah pada industri sawit dapat diminimalkan, maka seharusnya pada 2023 produksi CPO akan menjadi: 50 juta ton × 120 persen = 60 juta ton CPO.
Terdapat potensi 10 juta ton CPO yang hilang dan sebenarnya dapat ditingkatkan hanya dengan mengatasi masalah trek buah pada industri sawit nasional dengan hujan buatan melalui TMC.
Pendapatan PPN dari penjualan CPO di atas jika diasumsikan harga CPO adalah Rp14.000/kg adalah:
10 juta ton CPO × PPN 11 persen × Rp14.000/kg = Rp 15,4 triliun.
Pendapatan PPN ini belum ditambah dengan PPH Badan dan PPH orang pribadi.
Dengan adanya tambahan produksi CPO secara nasional sebesar 10 juta ton, maka rencana pemerintah yang akan memangkas 5,3 juta ton ekspor CPO untuk program B50 pada tahun depan, tidak perlu terjadi.
BMKG dan TMC adalah Kunci Realisasi Pertumbuhan 8 PersenBerkali-kali Presiden Prabowo dalam berbagai pidatonya selalu menyatakan jika luas wilayah NKRI setara dengan benua Eropa.
Demikian luasnya wilayah Indonesia, sehingga perlu berbagai strategi dalam melakukan
water management termasuk
rain management.
Salah satunya adalah membagi wilayah-wilayah kerja tersebut berdasarkan cluster-cluster area yang memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda.
Tidak bisa lagi dijalankan dengan pola yang ada seperti saat ini, yang sebagian besar -jika enggan untuk menyatakan seluruh- kegiatannya terpusat di Jakarta.
Sebagai contoh adalah banjir di kawasan PT IMIP Morowali yang diakibatkan oleh curah hujan yang sangat tinggi, seharusnya dengan menggunakan TMC melalui teknologi
cloud buster bencana banjir dapat dicegah, setidaknya intensitas hujan dapat diminimalkan. Karena konsentrasi awan hujan yang dapat mencurahkan hujan selama berhari-hari, tidak terakumulasi secara seketika, tetapi awan tersebut terakumulasi sedikit demi sedikit.
Sayangnya, karena keterbatasan sumber daya manusia dan juga anggaran yang dialokasikan terutama untuk TMC, menyebabkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tampak kurang maksimal.
Satu contoh, terkadang BMKG memberikan prakiraan datangnya musim kemarau, prakiraan tersebut disebarluaskan melalui berbagai media massa, tetapi setelah berita datangnya musim kemarau tersebut diketahui publik, BMKG tidak bisa melakukan apa-apa.
BMKG karena keterbatasan anggaran, tidak mampu memberikan solusi bagaimana menggerakkan hujan buatan melalui TMC, sehingga BMKG malah tampak seperti sebuah badan yang menimbulkan ketakutan yang meluas kepada para petani dengan berita datangnya musim kemarau tersebut.
Sebagai sebuah perbandingan, antara 2012 sampai 2017 saja, China menghabiskan anggaran sebesar 1,34 miliar dolar AS atau setara Rp20,1 triliun (kurs 1 dolar AS Rp15.000) untuk Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Dan rencananya sampai dengan 2035 China akan melakukan TMC dengan luas areal 5,5 juta km², suatu kawasan yang lebih luas dari daratan negara India 3,287 juta km².
Mengeluarkan anggaran di depan untuk mencegah banjir melalui
cloud buster atau menanggulangi bencana kekeringan melalui hujan buatan, secara ekonomi jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana banjir ataupun gagal panen akibat kelangkaan pasokan air di musim kemarau.
Keberadaan BMKG yang berkualitas tinggi, akan menentukan berhasil atau gagalnya ketahanan dan swasembada pangan.
Sekali lagi mengingatkan pidato Presiden Prabowo, jika negara kita ini: "...luasnya sama dengan Eropa Barat...", Jika Eropa Barat "diurus" oleh 27 negara, maka Indonesia perlu berapa "Kanwil" BMKG agar mampu melayani seluruh pelosok negeri?
*Penulis adalah Ketua Gerakan Masyarakat Pembacaan Baku Pancasila.
BERITA TERKAIT: