Pada masa itu, para pendiri gerakan nasional merasakan keresahan yang mendalam sebagai warga pribumi yang terjajah. Mereka tidak hanya menginginkan perbaikan kondisi hidup, tetapi juga mendambakan kebebasan dan kedaulatan penuh bagi bangsa Indonesia.
Semangat kebangkitan ini tercermin dalam upaya mereka untuk membangkitkan kesadaran kolektif dan memperkuat persatuan di kalangan rakyat, sebagai langkah awal menuju tercapainya kemerdekaan yang sejati.
Melalui peringatan Hari Kebangkitan Nasional, kita diingatkan akan pentingnya semangat perjuangan dan komitmen untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diperoleh dengan penuh pengorbanan.
Pergerakan kebangkitan nasional yang semakin menguat tidak luput dari perhatian pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial mencium gelagat perubahan ini dan mulai mengambil langkah untuk memantau serta mengendalikan potensi ancaman.
Salah satu tindakan yang mereka lakukan adalah mendata warga pribumi yang berpendidikan dan kelompok orang kaya, termasuk mereka yang pernah berangkat ibadah haji.
Untuk menandai mereka yang dianggap memiliki potensi melakukan tindakan kontra produktif terhadap kepentingan kolonial, Belanda mewajibkan penggunaan gelar "H" atau "Haji" bagi mereka yang telah menunaikan ibadah haji.
Kebijakan ini kemudian melekat dan berkembang menjadi budaya, terutama di Asia Tenggara. Gelar Haji bukan hanya menjadi tanda bagi mereka yang telah melaksanakan rukun Islam kelima, tetapi juga menjadi simbol status sosial di masyarakat.
Penggunaan gelar ini menunjukkan bagaimana praktik kolonial secara tidak langsung mempengaruhi budaya lokal, yang kemudian berlanjut dan mengakar kuat dalam kehidupan sosial hingga hari ini.
Cita-cita Kemerdekaan Bukan Jalan MudahPerjuangan untuk meraih cita-cita kemerdekaan bukanlah jalan yang mudah. Para pendiri gerakan kebangkitan nasional dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan.
Mereka harus menghadapi berbagai rintangan, mulai dari tekanan kolonial, perbedaan suku, agama, dan budaya, hingga kendala komunikasi di wilayah Nusantara yang luas. Butuh waktu sekitar 20 tahun untuk menyatukan semangat juang pemuda dari berbagai daerah.
Selama periode tersebut, para pejuang dengan gigih menyebarkan ide-ide nasionalisme dan kebebasan, berusaha membangkitkan kesadaran akan pentingnya persatuan dan kemandirian. Mereka mengadakan berbagai pertemuan, diskusi, dan organisasi untuk menyatukan visi dan misi.
Akhirnya, pada tahun 1928, upaya mereka mencapai salah satu puncaknya dengan lahirnya Sumpah Pemuda. Deklarasi ini merupakan titik balik penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dalam Sumpah Pemuda, para pemuda dengan lantang menyatakan persatuan bangsa, bahasa, dan tanah air Indonesia. Momen ini menegaskan komitmen kolektif untuk terus berjuang demi kemerdekaan, menginspirasi seluruh rakyat Indonesia dan menjadi fondasi kuat menuju tercapainya kemerdekaan yang diimpikan.
Ternyata perjuangan para pemuda Nusantara yang berperan sebagai motivator dan inspirator bagi seluruh rakyat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Meskipun Sumpah Pemuda pada tahun 1928 berhasil menyatukan semangat juang dan menegaskan persatuan bangsa, jalan menuju kemerdekaan masih panjang dan penuh tantangan.
Perjuangan ini masih memerlukan waktu 17 tahun lagi untuk mencapai kemerdekaan yang diidamkan. Selama periode tersebut, bangsa Indonesia harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk penindasan dan perlawanan dari pihak kolonial, serta tantangan internal dalam mempertahankan semangat persatuan dan tekad juang.
Namun, semangat yang telah ditanamkan oleh para pemuda pada tahun 1928 tetap membara dan menjadi pendorong utama dalam setiap langkah perjuangan.
Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya. Perjuangan panjang dan penuh pengorbanan ini membuktikan bahwa dengan tekad yang kuat dan persatuan, cita-cita kemerdekaan dapat diwujudkan.
Kesatuan dan Persatuan Jadi Kunci Raih KemerdekaanKeberhasilan dan kesuksesan dalam meraih sesuatu yang unggul terletak pada kesatuan dan persatuan. Kunci utama adalah kemampuan untuk tidak hanya mengejar ambisi kelompok sendiri, tetapi juga mewadahi dan merangkul semua pihak.
Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika berbagai elemen dalam masyarakat bersatu, bekerja sama, dan saling mendukung, tujuan besar dapat dicapai dengan lebih efektif. Perjuangan kemerdekaan Indonesia, misalnya, berhasil karena berbagai kelompok dan golongan masyarakat dapat bersatu di bawah satu visi yang sama, yaitu kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.
Kesuksesan sejati datang dari kebersamaan dan saling pengertian. Ini berarti mendengarkan aspirasi, menghargai perbedaan, dan mengintegrasikan beragam pandangan menjadi satu kekuatan yang solid. Dengan demikian, setiap langkah menuju tujuan bersama menjadi lebih kokoh dan terarah. Ketika persatuan menjadi fondasi, segala rintangan dapat diatasi, dan kesuksesan yang diimpikan pun dapat diraih dengan gemilang.
Saatnya Kita Kembali BersatuPerbedaan pandangan politik dan dukungan terhadap pasangan calon (paslon) yang berbeda adalah bagian alamiah dari sebuah proses demokrasi. Dalam setiap pemilihan umum, masyarakat memiliki hak untuk menyuarakan preferensi politik sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai demokrasi yang dianut.
Namun, setelah kompetisi politik berakhir, saatnya bagi kita untuk bersatu kembali sebagai bangsa. Perbedaan pendapat dalam politik adalah hal yang biasa, tetapi lebih penting lagi untuk menempatkan kepentingan bersama di atas segalanya. Saatnya kita bersatu kembali, kita menghormati hasil Pilpres 2024 dan bekerja bersama menuju kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Pasca Pilpres 2024, Indonesia dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, politik, hingga sosial. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) mencatat angka kemiskinan nasional masih 9,36 persen. Padahal, target angka kemiskinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 6,5-7,5 persen.
Belum lagi tantangan isu hoaks atau berita bohong yang dapat memicu disinformasi publik dan perpecahan masyarakat. Kementerian Kominfo (2024), menyatakan terdapat 203 isu hoaks dengan total sebaran di platform digital sebanyak 2.882 konten dan telah mengidentifikasi 1.325 konten di platform Facebook, 947 konten di platform X, 198 konten platform Instagram, 342 konten platform TikTok, 36 konten plattform Snack Video dan 34 konten platform Youtube.
Sehingga, dalam konteks ini, semangat kebangkitan nasional harus kembali menjadi inspirasi utama dalam upaya konsolidasi nasional. Konsolidasi nasional yang merupakan langkah fundamental untuk menyatukan berbagai elemen masyarakat yang mungkin terpecah selama proses pemilihan, guna menghadapi tantangan-tantangan dengan lebih kuat dan terkoordinasi.
Saat peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 20 Mei 1964, Presiden RI pertama, Soekarno menyinggung soal upaya adu domba dan pemecah-belah sebagai senjata yang paling ampuh untuk menguasai suatu bangsa.
Soekarno mengatakan bahwa "Tetapi kemudian imperialisme memecah belah kita, kita diadu domba satu sama lain. Orang Jawa dibikin benci kepada orang Sumatera. Orang Sumatera dibikin benci kepada orang Jawa. Orang Jawa dibikin benci kepada orang Sulawesi. Orang Sulawesi dibikin benci sama orang Jawa... Dan ini salah satu senjata yang immateriil," tutur Soekarno seperti dikutip dari kumpulan naskah pidato berjudul 'Bung Karno: Setialah Kepada Sumbermu'.
Pada pidato 20 Mei 1963 di Alun-alun Kota Bandung, Soekarno menegaskan bahwa persatuan dan kesatuan merupakan satu-satunya cara agar bangsa Indonesia lepas dari penghinaan serta penindasan oleh bangsa lain. Soekarno sebagai Tokoh Bangsa mengingatkan kepada kita sebagai sebuah bangsa agar bersatu dan jangan mau dicerai-beraikan karena hanya akan merugikan kita sendiri.
Semangat kebangkitan nasional dan semangat persatuan, yang pernah menyatukan bangsa dalam perjuangan melawan penjajahan, kini harus menjadi pendorong utama dalam upaya menyatukan kembali seluruh elemen bangsa pasca Pilpres 2024. Seluruh pihak, baik yang berada di dalam pemerintahan maupun di luar, harus menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan kelompok atau golongan.
Proses konsolidasi nasional memerlukan dialog terbuka dan inklusif di mana setiap suara, terutama yang berbeda, dapat didengar dan dipertimbangkan. Ini termasuk mengakomodasi aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat, merangkul perbedaan, dan membangun jembatan komunikasi yang efektif antar berbagai pihak. Rekonsiliasi dan kerja sama lintas sektoral menjadi kunci untuk memperkuat persatuan.
Dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks, seperti ketidakstabilan ekonomi global, perubahan iklim, serta isu-isu sosial dan keamanan, bangsa Indonesia perlu memperkuat fondasi kebersamaan.
Semangat kebangkitan nasional mengajarkan pentingnya persatuan, kerja keras, dan komitmen untuk masa depan bersama. Dengan demikian, seluruh elemen bangsa dapat bersatu dalam visi yang sama untuk membangun Indonesia yang lebih adil, makmur, dan berkelanjutan.
Kini, dengan merefleksikan semangat kebangkitan nasional, Bangsa Indonesia akan dapat lebih siap menghadapi berbagai tantangan yang ada, memastikan bahwa kemajuan dan kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat.
Kesuksesan konsolidasi nasional pasca Pilpres 2024 akan menjadi bukti bahwa semangat kebangkitan nasional masih hidup dan relevan dalam menghadapi tantangan bangsa yang semakin kompleks di era modern saat ini.
Penulis adalah Akademisi Universitas Islam ’45 (UNISMA) dan Anggota Pusat Wawasan Kebangsaan Provinsi Daerah Khusus Jakarta
BERITA TERKAIT: