Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Merefleksi Pelabuhan Patimban

Oleh: Siswanto Rusdi*

Kamis, 04 Januari 2024, 15:52 WIB
Merefleksi Pelabuhan Patimban
Pelabuhan Patimban/Net
PELABUHAN Patimban itu sesungguhnya sebuah fasilitas yang cukup bagus. Spesifikasinya  mencakup dermaga terminal kendaraan sepanjang 300 meter dan terminal peti kemas dengan dimensi 420x35 meter. Lalu dibangun juga breakwater, seawall, revetment, backup area, jalan akses dan jembatan penghubung ke terminal. Namun, menjelang akhir 2023 saya tidak melihat ada pemberitaan terkait kinerjanya selama setahun berlalu dan bagaimana proyeksinya di 2024 ini. Bisa jadi saya luput.

Sudah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat mana pun, pada akhir dan awal tahun dilakukan refleksi seputar apa yang sudah dan belum dicapai dalam setahun perjalanan. Dan di awal tahun lazimnya dipetakan perjalanan setahun di hadapan dengan harapan hasilnya akan lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Menutup tahun 2023 dan membuka tahun 2024, bisnis kepelabuhan nasional tentu saja melakukan refleksi akhir tahun dan proyeksi masa depan. Pelabuhan Patimban sepi dari rutinitas itu.

Padahal, diniatkan untuk menyaingi Tanjung Priok, kalau perlu mengalahkan pelabuhan di Jakarta ini. Idealnya, pengelola Pelabuhan Patimban, yaitu Pelabuhan Patimban Internasional atau PPI, speak up perihal kinerjanya soalnya firma ini banyak dikucuri kemudahan oleh pemerintah.
 
Pelabuhan Patimban dibangun, untuk sebagian besar jika tidak hendak dikatakan seluruhnya, dengan menggunakan pinjaman dari pemerintah Jepang melalui banknya, Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Sekadar pengingat. Untuk membangun pelabuhan yang berlokasi di Subang, Jawa Barat itu diperlukan biaya Rp17,2 triliun yang Rp14,2 triliun di antaranya merupakan pinjaman dari Negeri Sakura.

PPI lantas diberi hak (baca: konsesi) oleh Kementerian Perhubungan untuk mengelola semua fasilitas tadi. Di sini mengucur kembali kemudahan untuk perusahaan tersebut. Mereka tidak keluar investasi sama sekali; negara yang membangunnya dengan utang. Dalam pemberian konsesi ini ada hal menarik yang patut dicermati.

Lazimnya konsesi di Indonesia, penerimanya menanggung semua biaya yang telah dikeluarkan oleh negara ketika membangun sebuah pelabuhan. Atau, biaya atas pemanfaatan aset negara untuk kepentingan usaha. Namun hal ini tidak berlaku buat PPI. Perusahaan ini tidak membayar konsesi sama sekali. Menariknya lagi, konsesi ini selanjutnya dilimpahkan kembali oleh perusahaan ini kepada pihak ketiga.
 
Over konsesi dilakukan oleh PPI di terminal kendaraan Pelabuhan Patimban. Fasilitas ini dioperasikan oleh sebuah entitas usaha bentukan perusahaan logistik Jepang, Toyota Tsusho. Toyota Tsusho sendiri merupakan anak usaha pabrik mobil Toyota. Entitas bentukannya diberi nama Patimban International Car Terminal (PICT). Ini perusahaan sepenuhnya berisi kepentingan Jepang.

Perusahaan ini mendapat hak mengelola terminal kendaraan dari PPI. Tidak jelas berapa setoran yang harus bayarkan oleh PICT untuk memperoleh hak itu. Dengan melakukan pendelegasian pengelolaan terminal yang mereka kuasai, PPI sudah menjadi landlord. Diperkirakan model bisnis seperti ini akan diulang kembali penerapannya untuk pengelolaan terminal peti kemas dan terminal/dermaga lain yang ada dalam area pelabuhan Patimban.
 
Sejauh ini penulis belum mendengar kabar perihal bakal calon operator terminal peti kemas itu. Menhub sudah ke sana-ke mari mencari operatornya. Konon kabarnya pelayaran peti kemas kelas dunia berminat atas tawaran itu. Selain tidak meminta pembayaran konsesi dari PPI, Kementerian Perhubungan juga sangat aktif sebagai pemasar Pelabuhan Patimban yang seharusnya menjadi tugas manajemen perusahaan. Hingga kini Menhub masih bertugas sebagai marketing PPI.

Kita tunggu saja hasil akhirnya. Intervensi atau cawe-cawe Kemenhub dalam bisnis PPI tidak hanya sampai di situ. Instansi ini juga mengeluarkan sejumlah kebijakan/regulasi yang mendukung perusahaan dimaksud berikut mitranya, dalam hal ini PICT.
 
Karenanya, bisnis terminal kendaraan di Indonesia berjalan tidak sesuai dengan mekanisme pasar. Maksudnya begini. Di samping PICT, ada pengelola terminal kendaraan lain, yaitu PT Indonesia Kendaraan Terminal atau IKT. Ambil contoh, tidak lama setelah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Desember 2020, Ditjen Hubla mulai meminta dengan halus kepada perusahaan otomotif yang selama ini mengirimkan produknya – ekspor maupun antarpulau – melalui terminal kendaraan Pelabuhan Tanjung Priok agar mengalihkan pengapalannya dari dan ke Pelabuhan Patimban. Yang terkena oleh kebijakan itu adalah operator pelayaran kendaraan (car carrier) yang melayani pabrikan otomotif yang sebagian besar merupakan perusahaan pelayaran Jepang maupun afiliasinya.
 
Perusahaan pelayaran domestik seperti ASDP dan Pelni juga dihimbau agar mengalihkan rutenya. Tanpa berpanjang lebar, kedua perusahaan sudah mengalihkan kapal-kapal mereka ke Pelabuhan Patimban dan melayari beberapa rute tertentu seperti Panjang dan Pontianak. Sementara car carrier Jepang masih belum memperlihatkan tanda-tanda akan mengikuti himbauan Ditjen Hubla agar memindahkan operasi kapalnya ke Pelabuhan Patimban. Itu dulu. Sekarang sudah berubah.

Dengan hadirnya PICT di terminal kendaraan mereka sepertinya siap hengkang dari terminal IKT di Tanjung Priok. Plus, Kemenhub terus memberlakukan regulasi yang “menggergaji angin” cucu usaha Pelindo tersebut.  Hal ini membuat persaingan IKT dengan Patimban menjadi tidak fair.
 
Padahal, biaya logistik yang ditawarkan oleh IKT sangat kompetitif. Jika sentra mobil yang ada di Sunter dan Karawang hendak mengirim barang ke Pelabuhan Patimban, ongkosnya Rp450 ribu/unit. Sementara bila dikirim dari Karawang ke Tanjung Priok biayanya Rp250 ribu/unit. Untuk alat berat yang saat ini terkonsentrasi di area Cakung-Cilincing dan Kalideres, biaya angkut ke Pelabuhan Patimban sekitar Rp5 juta hingga Rp8 juta/unit. Selayaknya Pengguna jasa diberikan kesempatan untuk memilih mana layanan yang terbaik dan biaya yang lebih efisien.

Hal ini sangat penting dalam rangka mendorong ekspor mobil yang dicanangkan oleh Pemerintah dengan ambisi 1 juta unit pertahun supaya bisa terwujud, mengejar ketertinggalan dengan Thailand yang ekspornya mencapai sekitar 1,2juta unit/tahun. Saat ini ekspor mobil Indonesia masih di sekitaran angka 500ribu unit/tahun.
 
Sebagian besar kegiatan bongkar-muat dilakukan oleh perusahaan bongkar-muat (PBM) yang bekerja sama dengan perusahaan pelayaran/car carrier. PBM mengenakan biaya berdasarkan tarif resmi dari IKT ditambahkan margin tertentu, hal ini juga menambah logistics cost. IKT menerima revenue dari pelayanan jasa cargo handling, penumpukan, dermaga dan kebersihan. Biaya cargo handling dan penumpukan sekitar Rp805 ribu/kendaraan/7 hari.

Tidak ada kewajiban bagi operator kapal pengangkut kendaraan untuk memakai jasa bongkar-muat IKT. Gergaji angin itu perlu dibenahi. Agar terjadi keadilan di mana pihak yang mengeluarkan lebih banyak investasi mendapat bagian yang lebih signifikan dibanding mereka yang investasinya kecil. rmol news logo article
 
*Penulis adalah Direktur The National Maritime Institute (Namarin), pengamat maritim Indonesia.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA