Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Nahdlatul Ulama Sang Primadona Politik

OLEH: M ARIEF HAKIM*

Rabu, 11 Oktober 2023, 09:40 WIB
Nahdlatul Ulama Sang Primadona Politik
Nahdlatul Ulama/Net
DALAM tradisi politik lima tahunan atau Pemilu, Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi primadona.

Pertama, NU adalah ormas Islam terbesar di dunia. Menyimak Kompas edisi 12 Februari 2023, anggota NU diperkirakan mencapai 150 juta orang. Bisa dibayangkan betapa "seksi"-nya ormas yang didirikan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari ini.

Sebegitu eksotisnya NU sehingga banyak pihak, terutama yang syahwat politiknya besar dan berkibar, mencoba memperebutkannya.

Yang bernafsu itu di antaranya juga para petualang politik yang mabuk (atau malah gila?) kuasa dan harta.

Kedua, Warga NU relatif lebih mudah dimobilisasi dengan cara merangkul dan "memegang" para panutannya yakni para kiai dan ulama, terutama yang levelnya sudah tinggi atau senior.

Sami'na Wa Atho'na

Warga NU khususnya di akar rumput sebagai golongan mayoritas selalu sami'na wa atho'na (mendengar dan taat/menurut) kepada para kiai dan ulama sebagai sosok panutan.

Relasi antara Warga NU dan para kiai/ulama adalah hubungan yang emosional ketimbang rasional.

Hal itu berbeda dengan Warga Muhammadiyah (ormas Islam terbesar kedua) yang relatif lebih independen dan rasional dalam menentukan afiliasi politik.

Antara tokoh-tokoh Muhammadiyah dan warga Muhammadiyah sangat mungkin punya afiliasi politik yang berbeda.

Maka, bisa dimaklumi, dalam kontestasi politik atau hal-hal yang beraroma politik terkait pilihan parpol serta capres/cawapres, NU lebih seksi dan eksotis ketimbang Muhammadiyah.

Namun, yang menjadi soal, dalam Pemilu khususnya Pilpres, pilihan Warga NU tak pernah tunggal dan seragam.

Para kiai dan ulama punya afiliasi dan pilihan politik yang beragam dan berbeda sehingga Warga NU pun demikian juga.
Mereka punya pilihan politik yang beragam dan berbeda pula.

Sementara, sebagai representasi utama Warga NU, PBNU tentu saja tak akan terjun dalam ranah politik praktis mengingat NU adalah ormas yang wilayahnya sosial-keagamaan dan kemasyarakatan.

Sikap politik beberapa tokoh NU sepenuhnya ranah pribadi yang kemungkinan besar akan diikuti oleh para umat dan pengikutnya.

Demikianlah, dalam soal capres 2024, ada beberapa tokoh NU yang mendukung Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto (urutan penyebutan nama berdasar abjad).

Itu artinya, suara warga NU akan menyebar ke tiga sosok Capres tersebut.
Siapa capres yang manuvernya paling jitu, itulah yang akan mendulang suara mayoritas Warga NU.

Anies Baswedan sudah mengunjungi beberapa tokoh NU dan pesantren.
Juga telah mengajak Muhaimin Iskandar (representasi Warga NU) sebagai cawapres.

Begitu juga Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Mereka telah menjalin komunikasi dengan beberapa tokoh NU dan mengunjungi pesantren.

Jika Anies sudah mantap menggandeng Muhaimin (disingkat AMIN) untuk mendulang suara warga NU, maka Ganjar dan Prabowo masih belum memilih sosok Cawapresnya apakah Warga NU atau tidak.

Nama dua tokoh NU yakni Mahfud MD dan Khofifah Indar Parawansa memang masuk dalam "bursa" dan wacana cawapres. Namun, masih belum bisa ditentukan ke depan apakah keduanya benar-benar jadi cawapres.

Seandainya Mahfud MD dan Khofifah Indar Parawansa tidak jadi cawapres dikarenakan kalkulasi tertentu, maka Ganjar dan Prabowo tampaknya hanya akan mengandalkan dukungan Warga NU lewat para tokoh NU, kiai, dan ulama berpengaruh.

Cak Imin, Gus Yahya, Gus Dur


Lalu, bagaimana dengan Anies dan Muhaimin?
PKB masih diperhitungkan sebagai parpol lima besar di parlemen.
Berdasarkan berbagai survei, PKB juga selalu masuk lima besar parpol peraih suara terbanyak.

Itu artinya pengaruh Muhaimin di NU masih cukup kuat.

Namun, di sisi lain ada ketidakharmonisan hubungan antara Muhaimin (Cak Imin) selaku ketua umum PKB dengan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebagai ketua umum PBNU.

Itu bisa dijelaskan dengan fakta bahwa Gus Yahya itu adalah sosok Gusdurian tulen.

Gus Yahya pernah menjadi juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bahkan, bisa dikatakan Gus Yahya adalah salah satu anak "ideologis" Gus Dur.

Sementara, pada sisi lain, di mata para pendukung Gus Dur, Cak Imin itu adalah anak "durhaka" karena mendongkel Gus Dur dari PKB.

Maka, mudah dianalisis, itulah yang menyebabkan ketidakharmonisan antara Gus Yahya dengan Cak Imin.

Bahkan, secara lugas bisa dikatakan bahwa salah satu "program" Gus Yahya selaku Ketua Umum PBNU adalah menggembosi PKB Cak Imin.

"Gerakan" Gus Yahya itu, langsung ataupun tidak tentu saja didukung oleh keluarga Gus Dur yang sampai sekarang masih merasa "terluka" akibat ulah Cak Imin kepada Gus Dur.

Faktor Gus Dur masih cukup kuat pengaruhnya di NU, dan itu tentu saja lumayan menggerus suara PKB di kalangan Warga NU.

Ke depan juga ada rivalitas atau rebutan pengaruh antara Gus Yahya dengan Cak Imin di kalangan Warga NU.

Siapa kira-kira lebih kuat pengaruhnya di kalangan Warga NU: Cak Imin apa Gus Yahya?

Gegeran jadi Ger-Geran


Meskipun secara organisatoris NU tidak terlibat politik praktis, dukung mendukung Parpol dan Capres, namun Warga NU diakui atau tidak sebenarnya punya gairah politik yang cukup kental.

Itu berbeda dengan Warga Muhammadiyah.

Jika politik antara lain diartikan sebagai upaya untuk merebut (ke)kuasa(an) di berbagai level, maka Muktamar NU acapkali menjadi ajang persaingan antar kandidat untuk merebut posisi paling berpengaruh di PBNU yakni Ketua Umum (Tanfidziyah) dan Rais Aam.

Persaingan itu sering berlangsung keras antar kandidat dan antar faksi, terutama untuk posisi Ketua Umum PBNU.

Kadang berakhir dengan damai. Gegeran jadi ger-geran (istilahnya Warga NU).

Namun, ada kalanya tetap terjadi faksi, friksi, bahkan ada yang menggugat hingga ke ranah hukum dan pengadilan selepas Muktamar.

Bahkan, ketidakakuran dan pertentangan antar beberapa kiai dan ulama NU itu (maaf) terbawa hingga akhir hayat mereka.

Antara NU dan Muhammadiyah


Muatan politik yang cukup kental pada Warga NU ditambah faktor jumlah umat yang sangat banyak dan merupakan populasi mayoritas warga Indonesia itulah yang menyebabkan NU selalu menjadi primadona dalam jagad politik Tanah Air.

Hal itu jelas berbeda dengan kondisi Ormas Islam terbesar lainnya: Muhammadiyah.

Muhammadiyah tak begitu kental watak politiknya.
Politik di sini juga dimaknai sebagai upaya merebut "kekuasaan" di suatu institusi atau organisasi.

Dalam Muktamar Muhammadiyah, misalnya tidak pernah terjadi persaingan keras yang menjurus ke faksi dan friksi.

Ketua Umum PP Muhammadiyah sebagai sosok nomor satu di organisasi Muhammadiyah dipilih secara sederhana, damai, dan sejuk.

Untuk suatu organisasi besar yang kiprahnya di negeri ini sangat luar biasa, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan, tradisi pemilihan ketua umum Muhammadiyah yang demokratis dan damai layak diapresiasi dan dipuji.

NU Struktural dan Kultural

Meskipun warga NU begitu kental nuansa politiknya, khususnya NU "Struktural", namun sangat menarik dicermati keberadaan NU lainnya yang benar-benar konsisten dengan gerakan sosial, budaya, dan kemanusiaan yakni NU "Kultural".

NU Kultural ini lumayan banyak juga di tubuh Warga Nahdliyin.
Mereka tidak terpengaruh dan tidak mau ikut-ikutan dengan politik praktis, dukung mendukung parpol dan capres, dan semacamnya.

NU kultural yang paling hebat, solid, dan anggotanya mencapai puluhan ribu di berbagai pelosok Tanah Air antara lain adalah komunitas "Gusdurian".

Yakni komunitas yang mewarisi dan meneruskan spirit Gus Dur yang baik dan luhur sebagai "Guru Bangsa".

Dikoordinasi oleh putri sulung Gus Dur yakni Alissa Wahid, jaringan Gusdurian yang sangat solid telah melakukan banyak hal yang baik, berguna, dan bermakna bagi masyarakat, bangsa, dan umat manusia.rmol news logo article

*Penulis adalah Pemerhati NU, Ketua Yayasan Hati Nurani Bangsa (YHNB)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA