Dalam pesannya saat memberi sambutan di acara Rakernas PDIP terkait kedaulatan pangan kepada penggantinya kelak mengandung era kegagalan secara implisit selama hampir 10 tahun kepemimpinannya. Kemudian kejutan yang coba dibangun atas pengakuan bahwa dirinya tidak sadar bila Indonesia telah dijajah secara ekonomi.
Dua sumbu kehidupan pertanda kesejahteraan suatu bangsa paling mendasar yakni swasembada pangan dan kemandirian ekonomi secara implisit dan eksplisit telah diakui oleh Presiden Jokowi di forum terbuka dan tentunya merupakan 'buah pahit' bagi rakyat kebanyakan.
Tentu saja 'kebodohan' sebuah pemerintahan tak melulu harus ditanggung sang pemimpin seorang diri, namun tanggung jawab dihadapan rakyat pun tak dapat disangkakan begitu saja pada pihak lain, seperti anggota kabinet apalagi kartel-kartel terkait.
Maka dengan kondisi semacam ini, evaluasi kepemimpinan oleh diri sendiri maupun tim secara keseluruhan diharapkan mampu merujuk suatu tindakan kebijakan yang tajam dan fundamental. Mencabut UU Omnibuslaw yang buruk secara kepentingan besar rakyat harus segera dilakukan, dibatalkan dan dinyatakan untuk tidak lagi ditampilkan oleh pemerintahan selanjutnya.
Hanya dengan hal tersebut, maka keseriusan atas tersadarnya kedua masalah inti itu sebagai peluang untuk mengembalikan 'basa basi' keadaan terpuruk yang tengah berlangsung ini menjadi sebuah keniscayaan kesungguhan atas kesadaran yang diungkapkan berupa aksi nyata kepada rakyat. Cabut UU yang menghambat itu.
Presiden Jokowi jangan sampai hasil kinerjanya menjadi bias dan kelam gegara dua fakta yang diungkapkannya itu sendiri memang nyaris menjadi kenyataan saat ini.
Sehingga akan menjadi sebuah era kepemimpinan yang penuh kontradiktif dimana istilah "no heaven" bagi rakyat kebanyakan di negeri yang besar 'gemah ripah loh jinawi' ini menjadi mimpi belaka mengiringi kepedihan hidup rakyat banyak dihantar oleh kegagalan pangan dan ekonomi yang terjajah.
*Penulis adalah pemerhati sosial politik
BERITA TERKAIT: