Satu orang atau insan atau individu atau kelompok yang tidak boleh dibiarkan sepi ialah difabilitas. Biar bagaimanapun, mereka tetaplah manusia yang -- melampaui segala keterbatasan fisik dan psikis yang mereka memiliki -- tetap adalah manusia yang bermartabat luhur, setara dan dimanusiakan.
Kesadaran akan perlakuan yang wajar terhadap kaum difabel ini memang sudah tumbuh dan sedang diupayakan dalam kehidupan bersama di masyarakat, misalnya dengan disediakannya jalur-jalur khusus difabel di tempat-tempat umum.
Namun demikian, praktik yang sungguh ideal dan sama-setara dalam kenyataan dan konsep berpikir masih belum tertanam di kehidupan bersama, khususnya di Indonesia.
Kaum difabel masih dinomorduakan, dianggap tidak layak, kurang mumpuni, beban masyarakat, tidak kompeten, terbatas, dipandang sebelah mata, sepi, tidak masalah jika ditelantarkan, tidak perlu diangkat harkat dan martabatnya.
Padahal jika dilihat lebih dalam lagi, mereka berjuang melewati hal-hal sulit dalam hidup mereka -- dan memang bisa bahkan lebih kuat, berdaya juang dan mampu bersaing -- mengatasi aneka keterbatasan yang diperparah oleh struktur masyarakat yang kiranya sudah tersusun bukan untuk menjadi ranah yang ramah difabilitas.
Maka pertama-tama, kesadaran bahwa struktur-struktur dalam masyarakat masih belum sungguh-sungguh mengakomodasi kaum difabel memang disadari dan perlu untuk diperhatikan untuk diperbaiki sehingga tercipta pengkondisian yang lebih manusiawi dan inklusif di ranah publik.
Jakarta Ramah Difabel Kedua, upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah memang patut diapresiasi terkait perlakuan dan akomodasi atas kaum difabel.
DKI Jakarta dalam komando Heru Budi Hartono senantiasa mempertimbangkan aksesibilitas bagi kaum difabel ini setiap kali melaksanakan pembangunan fasilitas umum, sebut saja halte TransJakarta.
Dari segi pendidikan di skala nasional misalnya, sudah ada di laman beasiswa LPDP kolom khusus yang memang teruntuk bagi kaum difabel untuk beroleh kesempatan studi dengan pembiayaan dari pemerintah, berikut ruang, peluang dan kuotanya.
Hal yang menggembirakan juga misalnya bahwa di instansi-instansi pemerintahan, sudah terbuka pintu yang lebar bagi peran kaum difabel untuk menjadi ASN alias pegawai negeri sipil.
Dalam hal ini jelas, bahwa pemerintah tidak menutup mata pada kehadiran kaum difabel, bahkan berupaya untuk mendukung dan mengembangkan mereka.
Mereka yang berpotensi dan memiliki kemampuan sudah sedikit demi sedikit diberi ruang dan peluang, kendati jujur dalam praktek riilnya apresiasi masyarakat -- yang berakar dari konsep berpikir dikotomis-subordinatif?"perlu dibina lebih dalam lagi sehingga tertanam apresiasi yang benar-benar tulus dan merangkul kaum difabel.
Jika kemampuan menatap kaum difabel sudah sama dengan menatap manusia pada umumnya, itu kiranya merupakan prasyarat yang baik untuk inklusivitas dan penghargaan martabat manusia.
Antara Mengangkat dan Membiarkan Ketiga, pun ketika sudah diupayakan jalan-jalan akomodatif atas hidup kaum difabel, perlu dicatat dan direnungkan serta dicarilah jalan atas fakta-fakta berikut.
Bahwa sudah bagus manakala kaum difabel memperoleh peluang setara dalam masyarakat. Sudah baik pula ketika konsep inklusivitas semakin tertanam dalam kesadaran masyarakat.
Namun itu kiranya belum cukup. Konsep yang bertujuan untuk menyetarakan kaum difabel dengan manusia pada umumnya tidak lantas menormalisasi perlakuan yang memang harus mereka terima secara khusus.
Dengan lain perkataan, tidak bisa kiranya?"karena alasan setara semartabat -- muncul sikap pembiaran begitu saja seolah-olah mereka seperti orang pada umumnya.
Irisan antara di satu sisi apresiasi dan perlakuan semartabat atas mereka dengan penormalisasian yang cenderung membiarkan mereka begitu saja di sisi lain memang merupakan zona abu-abu yang untuk melihatnya diperlukan daya kritis dan pengalaman yang luas.
Konkretnya, dalam kenyataan hidup kaum difabel melakukan kegiatan dengan dibantu oleh asisten karena faktanya memang demikian, misalnya karena mereka tidak sanggup secara faktual empiris menggerakkan tangan atau kaki mereka. Maka untuk berjalan contohnya, mereka tetap memerlukan bantuan orang lain.
Tentang Asisten Difabel Hal ini dipikirkan pula oleh Heru Budi Hartono dan Jakarta secara umum. Fakta bahwa mereka memerlukan orang lain ini mendesak adanya konsekuensi lanjutan. Ini juga kiranya perlu menjadi perhatian pemerintah.
Asisten yang mendampingi difabel tentu mencurahkan hidup mereka untuk membantu yang bersangkutan, bahkan mungkin full-time mengingat keterbatasan fisik yang tidak bisa dilampaui dan tak mampu diatasi sendiri oleh kaum difabel tersebut.
Dari mana biaya untuk asisten ini? Siapa yang memberi dia gaji selain si difabel itu sendiri? Hal ini tentu menjadi hal lain lagi bagi difabel tersebut. Maka di sini peran pemerintah menjadi penting misalnya ada kebijakan khusus?"yang memang sungguh-sungguh khusus, ekstraoordinari -- terkait asisten kaum difabel. Diperlukan kebijakan untuk mengalokasikan anggaran misalnya, untuk asisten disabilitas guna mengakomodir ketersediaan akomodasi yang layak dan sesuai dengan kondisi disabilitas dalam bentuk asisten atau pendamping.
Hal ini kiranya sangat esensial. Mengingat bahwa biaya hidup disabilitas memang dua atau bahkan tiga-empat kali lebih besar dari yang non-disabilitas, sangat diperlukan biaya ekstra dalam kehidupannya.
Pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan khusus untuk kaum difabel ini guna sungguh memanusiakan mereka dan mengangkat berbagai keterbatasan yang mereka miliki.
Kebijakan yang dimaksud diharapkan untuk diberikan atas dasar hak (rights), bukan rasa kasihan (charity based), karena kaum difabel pada kenyataannya memang membutuhkan ekstra cost yang sungguh perlu dipertimbangkan dan dikompensasi. Halnya bukan hanya biaya hidup dan apresiasi yang khusus, tetapi juga biaya dan tunjangan bagi asisten yang mendampingi. Hal lain seperti fasilitas yang aksesibel perlu digalakkan lebih lagi di ranah publik.
Apapun itu, kebijakan bisa diambil secara rasional sebagai upaya negara untuk mengkompensasi biaya lebih yang dibutuhkan oleh kaum difabel, bukan hanya sekedar bantuan sosial.
Hal ini tentu akan mendatangkan harapan yang lebih baik untuk kaum difabel ke depannya. Jakarta punya andil untuk terdepan dalam menjalankan hal ini dan pasti bisa, istimewanya di kepemimpinan Heru Budi Hartono.
Penulis adalah Peneliti GMT Institute Jakarta
BERITA TERKAIT: