Kesadaran pentingnya konstitusi terus bergulir, ditandai masuk dalam sidang gabungan MPR-DPR-DPD tanggal 16/8/2023. Ketua DPD RI mengungkap adanya ketidakadilan dan kemiskinan struktural akibat konstitusi hasil amandemen, dan menawarkan 5 (lima) proposal.
Proposal ketiga, tentang komposisi utusan daerah mengacu kepada kesejarahan wilayah yang berbasis negara-negara lama dan bangsa-bangsa lama, yaitu raja dan sultan nusantara serta suku dan penduduk asli nusantara.
Rumusan MasalahMengingat proposal Ketua DPD RI disampaikan dalam acara kenegaraan, terdokumentasikan, dan didengar jutaan rakyat, maka isi proposal ketiga menjadi permasalahan yang perlu didiskusikan untuk mendapatkan kebenaran dan kepastian.
Artikel ini sebagai diskursus lain atas proposal ketiga tersebut, dengan rumusan masalah: “Mengapa dan tepatkah raja, sultan, suku dan penduduk asli nusantara sebagai utusan daerah, dan apa hanya itu hak mereka?”
Kerangka Teori1. Jellinek: “
Die Normatieve Kraft des Faktischen.” Kekuasaan dari kaum pemberontak yang mendapat dukungan rakyat, jika pemerintahan stabil dan efektif, maka secara perlahan akan mendapat pengakuan sementara dari negara-negara lain, yang disebut de facto. Apabila kondisi bertambah maju, maka pengakuan de facto dengan sendirinya menjadi de jure. (Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, hlm.82-83).
2. Prof. Dr. Amiduddin Ilmar: “Otonomi daerah adalah pelimpahan sebagian besar urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurusnya berdasarkan kemampuan daerah. Dengan konsep tersebut terjadi pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten dan kota.” (Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, hlm.2-3).
Analisa dan Diskusi1. Tawaran proposal kenegaraan DPD RI ketiga, tanggal 16 Agustus 2023, antara lain: “Komposisi utusan daerah yang mengacu kepada kesejarahan wilayah yang berbasis kepada negara-negara lama dan bangsa-bangsa lama yang ada di nusantara, yaitu raja dan sultan nusantara, serta suku dan penduduk asli nusantara.”
2. Tuntutan raja dan sultan nusantara, disampaikan kepada Ketua DPD RI, pada 23 Juni 2023 antara lain: “Menyampaikan anggota utusan daerah di MPR, dengan basis sejarah kewilayahan dan pemegang hak asal-usul sebagai penduduk nusantara, yang menjadi fakta kunci lahirnya Republik Indonesia, oleh dua entitas sejarah yakni; kelompok
Zelfbestureende Land Scappen, atau daerah-daerah berpemerintahan sendiri, yaitu kerajaan dan kesultanan nusantara, dan kelompok
Volks Gemeen Scappen, atau penduduk asli Nusantara, yaitu masyarakat adat yang menghuni hutan atau wilayah berbasis suku, Marga atau Nagari.”
3. Raja Samu Samu VI, Sekjen Siatnas Raja Sultan Nusantara Indonesia, Narsum dalam FGD Peringatan Hari Sumpah Pemuda, di Gandy Steak Hayam Wuruk Jakpus, pada 29 Oktober 2022, menyampaikan: “Pada tanggal 16 September 1946, Bung Karno bertemu dengan 54 Raja, Sultan, Datu dan Penglingsir di Desa Tampak Siring, Gianyar-Bali. Bung Karno menerima penyerahan kedaulatan dari para Raja dan Sultan, konsekuensinya Bung Karno akan menempatkan beberapa Raja dan Sultan sebagai anggota DPA dan Utusan Golongan.”
4. Pasal 18 UUD 1945: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”
Dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945: “……. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat autonom (
steek locale rechtsgermeenschapppen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan akan ditetapkan dengan undang-undang.”
Nusantara dan Penjajahan BelandaNusantara sebelum bernama Indonesia, terdiri bangsa-bangsa dari Kerajaan dan Kesultanan. Dari prasasti, dan peninggalan lainnya, tercatat Kerajaan Tarumanegara pada abad ke-4 sampai abad ke-7. Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 dan kerajaan Hindu-Budha di Jawa pada tahun 1042-1527 Masehi, disambung kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan luar Jawa.
Kerajaan dan Kesultanan di kala itu sudah melakukan perdagangan antar negara di Nusantara ataupun dengan negara-negara dari Eropa, India, Tiongkok, Timur Tengah. Tahun 1602 berdiri VOC, perusahaan dagang Hindia Timur Belanda datang ke Batavia, sewa tanah milik Pangeran Jayakarta, dijadikan Benteng dan menyerang Pangeran Jayakarta pada tahun 1621. Inilah awal VOC menyerang berbagai kerajaan, yang berlanjut diambil alih oleh pemerintahan Belanda, menjajah Nusantara.
Pertempuran antara Belanda dengan kerajaan dan kesultanan di seluruh Nusantara terjadi. Beberapa peperangan kerajaan dan kesultanan melawan Belanda antara lain: Perang Batavia tahun 1628-1629, perang Maluku tahun 1635-1646, perang dengan Kesultanan Gowa tahun 1666-1669, perang Imam Bonjol tahun 1803-1838, perang Diponegoro tahun 1825-1830, perang di Bali dengan Kerajaan Bulengleng, Klungkung dan Karangasem tahun 1846, perang Banjar dipimpin Pangeran Antasari tahun 1859-1863. Sejarah mencatat, penjajahan oleh kongsi dagang VOC dilanjutkan oleh pemerintahan Belanda melalui peperangan dengan kerajaan dan kesultanan di Nusantara sejak abad 16 sampai abad 18.
Tiga Kesepakatan Pergerakan KemerdekaanMasuk abad 19, lahirlah kesadaran rakyat, sekali lagi kesadaran rakyat, yang berarti makna kedaulatan rakyat mulai lahir, bahwa kemerdekaan yang dicita-citakan perlu persatuan. Perjuangan bercorak kedaerahan mulai ditinggalkan, beralih perjuangan bersama. Rasa senasib sepenanggungan para pejuang pergerakan kemerdekaan, melahirkan kesepakatan untuk bersatu. Bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa yang satu, Indonesia !!! Kesepakatan dalam ke-Indonesia-an ini kita kenal dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Tanggal 8 Maret 1942, Jepang menguasai Indonesia ketika Panglima Tertinggi Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Bandung. Pemerintahan di Indonesia berganti dari kolonial Belanda ke kolonial Jepang.
Akibat kekalahan Jepang dari tentara Sekutu, Jepang merayu pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia agar memberikan dukungan. Jepang membuatkan BPUPKI, dan diterima Bung Karno dkk, dengan pertimbangan daripada perjuangan dilakukan sembunyi-sembunyi.
Dalam BPUPKI inilah lahir kesepakatan kedua, yaitu tekad bangsa Indonesia dalam bernegara untuk memperjuangkan hak asasi manusia, menyusun konsep dasar negara dan konstitusi negara Indonesia merdeka, dan apa yang menjadi cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia mendirikan negara Indonesia merdeka, yang kesemuanya dituangkan sebagai pernyataan politik bangsa Indonesia, yang kini dikenal dengan Pembukaan UUD 1945.
Kesepakatan ketiga, adalah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945 dan konsep bernegara atau rancangan konstitusi yang disusun dalam sidang BPUPKI, disahkan oleh sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, yang kita kenal dengan UUD 1945, bersifat final, politis, dan legal.
Berdirilah Negara Indonesia yang merdeka berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sebagai cita-cita founding fathers and mothers yang seharusnya dipegang teguh generasi penerus dalam mengisi kemerdekaan guna terwujudnya cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia.
Posisi Raja, Sultan, Suku dan Penduduk Asli NusantaraRaja, Sultan, suku dan penduduk asli Nusantara merupakan bagian dari bangsa Indonesia, sebagaimana kesepakatan pertama, hidup sarwa ke-Indonesia-an, disebut pula dengan pribumi Indonesia. Pribumi bukan rasis, pribumi berarti penduduk asli.
Penjajah Belanda telah membagi status sosial: (1) European / Eropa, orang-orang Eropa, (2) Vreemde oosterlingen / Timur asing, orang China, Arab, India, (3) inlander / Pribumi. Plakat-plakat di tempat umum bertuliskan “Verboden Voor Honden en Inlander” (dilarang untuk anjing dan pribumi), sungguh menyakitkan hati kaum pribumi atau penduduk asli.
Padahal, berdasarkan hasil riset Dr. M.D. Laode, dalam bukunya ‘’Trilogi Pribumisme, Resolusi Konflik Pribumi dengan Non Pribumi di Berbagai Belahan Dunia” menunjukan pribumi adalah pendiri negara, pemilik negara dan penguasa negara. Oleh karena itu, menjadi relevan jika dikaitkan pemikiran founding fathers and mothers yang dituangkan pada Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 bahwa : Presiden ialah orang Indonesia asli .
.
Dengan demikian, Raja, Sultan, suku, dan penduduk asli Nusantara bukan hanya berhak duduk sebagai Utusan Daerah saja, tetapi lebih dari kedudukan tersebut. Secara individu mereka berhak untuk duduk di semua kekuasaan negara mana pun, bahkan sebagai Presiden pun adalah hak utama mereka, sesuai peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Dengan demikian, tidaklah tepat isi dan narasi proposal ketiga dari DPD RI, yang memiliki konotasi seolah-olah mereka hanya memiliki hak khusus sebagai Utusan Daerah di MPR, dengan dasar basis wilayah kerajaan di masa lalu.
Diskusi kita kerucutkan pada keturunan raja dan sultan, yang saat ini gelar raja dan sultan masih ada, dan terhimpun dalam beberapa organisasi. Mengapa penulis memakai kata gelar? Karena sesungguhnya ada dua makna, pertama bermakna gelar saja, dan kedua raja dan sultan, diikuti dengan kekuasaan terhadap rakyat dan wilayah kerajaan dan kesultanan.
Dari uraian sejarah di atas, cukup jelas, masuk abad 19, di Nusantara, kekuasaan tersebut sudah tidak ada. Masuk abad 19, sudah muncul arti kedaulatan rakyat. Rakyat sudah bertekad bersatu, begitu pula teritorialna, bersatu dalam ke-Indonesia-an, melawan kolonialisme. Apakah perubahan ini sah? Ditinjau dari teori pertumbuhan negara dalam Ilmu negara, adalah sah dan wajar.
Perubahan pemerintahan satu ke pemerintahan berikutnya di nusantara tampak jelas. Berawal dari berbagai negara yang berbentuk kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan, kemudian dijajah Belanda berubah menjadi pemerintahan kolonial Belanda dan beralih kolonial Jepang dan terakhir menjadi NKRI.
Mengacu teori Jellinek, pemerintahan hasil dari sebuah “pemberontakan” di mata pemerintahan yang sedang berlangsung, walau mungkin hal itu sebagai perjuangan rakyat terhadap pemerintahan yang zalim, lama-lama pemerintahan tersebut bisa sah dan diakui dunia.
Apalagi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, berkat perjuangan pergerakan kemerdekaan kaum pribumi melawan kolonialisme, maka dalam perspektif pertumbuhan negara, NKRI merupakan negara baru yang masuk dalam pertumbuhan sekunder.
Dengan berdirinya NKRI, maka pemerintahan dalam wujud kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan sudah tidak ada lagi. Pemerintahan sudah ditata dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam NKRI, yang mengacu pada Pasal 18 UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah.
Sistem pemerintahan menganut adanya urusan pemerintahan yang dibagi kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Wilayah Indonesia terbagi dalam provinsi, daerah istimewa, kabupaten, kota, kecamatan dan kelurahan atau desa.
Dengan demikian, secara rasional dan proporsional, yang dimaksud dengan ‘’Utusan Daerah’’ yang akan duduk di MPR, adalah para pejabat yang mengelola dan melayani masyarakat di wilayah pemerintahan daerah, yang saat ini membentuk Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) yang terdiri dari gubernur, ketua DPRD, pangdam, kapolda, kajati dan kapengti, dll.
Para pejabat tersebut yang pantas sebagai utusan rakyat di daerah, untuk memperjuangkan hak-hak rakyat dan pembangunan di daerah. Ketentuan lebih lanjut diatur atau ditetapkan dalam undang-undang, sesuai amanat Pasal 2 ayat (1) UUD 1945.
PenutupDengan demikian, proposal ketiga DPD RI yang menempatkan keturunan raja, sultan, suku dan penduduk asli nusantara di dalam utusan daerah di MPR, dengan orientasi basis kewilayahan kerajaan dan kesultanan masa lalu, tidaklah tepat dan terlalu sempit. Sebagai penghargaan dan hak asal-usul, serta memenuhi apa yang disampaikan Bung Karno kepada raja dan sultan, di Tampaksiring pada 16 September 1946, para keturunan raja dan sultan, dapat diberikan hak khusus sebagai utusan golongan di MPR, yang pengaturannya ditetapkan dengan undang-undang.
Sedangkan yang duduk sebagai utusan daerah di MPR, atau dengan kata lain sebagai utusannya rakyat dari daerah di MPR adalah para pejabat yang memiliki tugas dan wewenang mengelola dan melayani masyarakat di daerah, yang saat ini membentuk wadah Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Pengaturan utusan daerah ditetapkan dengan undang-undang.
Persoalan utusan daerah dan utusan golongan dalam MPR, memang perlu segera disiapkan kajian dan rancangannya, sebagai bahan ketika bangsa Indonesia sadar untuk kembali ke UUD 1945 yang selanjutnya disempurnakan dengan adendum. Insya Allah, aamiin.
Penulis adalah Aster KSAD 2006 hingga 2007, yang juga Wagub DKI Jakarta 2007 hingga 2012 dan Inisiator Gerakan Kebangkitan Indonesia
BERITA TERKAIT: