Diantara semua gagasan tersebut mungkin gagasan tentang amicus curiae adalah yang paling jarang menjadi perbincangan. Bukan karena tidak dipergunakan. Tetapi lebih kepada penggunaannya yang sampai hari ini belum terlalu efektif dan belum memiliki dasar hukum yang mengikat.
Perbincangan
amicus curiae yang paling terbaru adalah
amicus curiae yang diberikan terhadap kasus Bharada E. Amicus curiae tersebut diketahui dikirimkan oleh sekelompok masyarakat sipil yang terdiri dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), PILNET dan ELSAM. Tujuan
amicus curiae itu sendiri dilakukan sebagai bentuk upaya perlindungan terhadap Bharada E yang direkomendasikan sebagai
justice collaborator.
Amicus Curiae
Amicus curiae kurang lebih memiliki arti teman pengadilan (
friend of the court). Amicus curiae adalah pihak di luar perkara yakni bukan saksi, bukan terdakwa, bukan pula aparat penegak hukum. Alasan disebut sebagai "teman" pengadilan adalah karena kegiatan yang dilakukannya adalah memberikan nasehat dan argumentasi hukum yang berupaya membantu hakim untuk memutuskan suatu perkara yang rumit.
Relevansi Amicus Curiae di Indonesia Jika kita hendak jujur, sistem hukum di Indonesia sampai saat ini masih mengacu pada sistem hukum di era Belanda. Dimana ciri utama di dalam penegakan hukumnya adalah mengedepankan asas legalitas formal.
Oleh sebab itu tak ayal dikatakan bahwa posisi hakim di Indonesia hanya laksana sebatas "verifikator" atau "corongnya undang-undang". Asas tindakan hakim atas perkara yang dihadapinya menggunakan asas actio stricti juris. Asas yang berasal dari era Romawi ini menyebutkan bahwasanya hakim harus memutuskan perkara menurut aturan hukum yang ketat tanpa mengacu pada pertimbangan tentang keadilan.
Pada posisi demikian maka wajar saja kedudukan
amicus curiae di dalam Hukum Indonesia tidak dapat menjadi pertimbangan yang utama. Sebab, di dalam pembuktian, posisi amicus curiae bukan pihak yang wajib didengar keterangannya. Amicus curiae bukan saksi, bukan ahli dan bukan pula aparat penegak hukum.
Meskipun seringkali diungkapkan bahwa kedudukan
amicus curiae di dalam Hukum Indonesia bisa kita temukan pada Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman. Dimana di dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi faktanya pendapat dan komentar
amicus curiae terhadap sebuah kasus lebih sering diabaikan daripada dipergunakan sebagai dasar pertimbangan.
Hal ini terjadi pula pada amicus curiae yang dikirimkan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), PILNET dan ELSAM yang tak mempengaruhi sama sekali tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Bharada E.
Cara Memasukkan Amicus Curiae Sebenarnya ada dua cara untuk mempertegas posisi
amicus curiae di dalam Sistem Hukum Indonesia. Cara pertama adalah dengan memberikan keleluasaan pada hakim dalam memberikan pertimbangan. Kedua dengan melembagakan
amicus curiae.
Cara Pertama Untuk cara yang pertama, seorang hakim lebih dahulu dilekatkan pada dirinya asas
actio bonai fidei. Asas tentang kekuasaan besar kepada hakim untuk mempertimbangkan semua masalah dengan itikad baik, hati nurani, dan keadilan atas seluruh kasus.
Dengan keleluasaan tersebut maka
amicus curiae benar-benar dapat memperoleh tempat yang istimewa. Hakim pun tidak khawatir dikatakan melakukan tindakan di luar hukum atau tindakan keluar dari model pembuktian yang umum digunakan oleh Hukum Acara.
Hal ini mungkin sedikit sulit dilakukan. Sebab harus mengubah sistem hukum acara yang telah cukup lama digunakan. Setidaknya mengubah tentang metode musyawarah hakim dan menambah jumlah alat bukti.
Cara Kedua: Melembagakan Amicus CuriaeIde tentang pelembagaan ini sebenarnya muncul dari kritik Luigi Crema dalam artikelnya yang berjudul Tracking the Origins and Testing the Fairness of the Instruments of Fairness: Amici Curiae in International Litigation. Luigi Crema adalah ahli hukum internasional asal Italia yang turut melakukan penelitian terhadap model
amicus curiae yang saat ini berkembang di dunia barat.
Berdasarkan hasil penelitiannya dia menolak tesis tentang klaim yang menyebutkan bahwa amicus curiae yang saat digunakan di berbagai negara itu adalah hasil otentik dari sistem hukum di Era Romawi. Dia berpendapat bahwa, selain kesamaan terminologis, tidak ada kesamaan lain yang menyerupai praktik
amicus curiae kontemporer.
Di Roma, menurutnya, nasihat (
amicus curiae) itu diminta. Sementara saat ini amicus curiae dalam mengajukan argumen ke pengadilan atas inisiatifnya sendiri. Di Roma, nasihat kepada hakim itu bersifat rahasia, sementara dalam
amicus curiae yang dikenal saat ini bersifat terbuka. Perbedaan lainnya adalah bahwa
amicus curiae tidak mengajukan pendapatnya melalui surat tetapi menyampaikan laporannya atau membuat argumen secara lisan di depan sidang pengadilan.
Dari kritik tersebut dapat kita temukan satu fakta bahwa
amicus curiae ini, agar fungsinya bisa lebih jelas dan terukur, bisa dilembagakan sebagaimana kritik Luigi Crema. Dengan terlembaga maka setiap nasehat dan argumen dari
Amicus Curiae dapat lebih didengar dan menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutus suatu perkara.
Penutup Pelembagaan
amicus curiae ini laik untuk dipertimbangankan. Sebab setidaknya ada dua manfaat yang diperoleh. Manfaat pertama adalah dapat dimanfaatkan sebagai bagian daripada upaya menemukan keadilan yang lebih substantif di pengadilan.
Kedua, pelembagaan ini juga dapat menjadi ruang kontrol bersama bagi tindakan hakim dalam sistem peradilan di Indonesia, yakni kontrol mengenai bagaimana hakim mengambil pertimbangan atas suatu putusan.

*
Penulis Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta