Sudah masuki pekan ketiga Qatar, negara muslim mungil di jazirah Arab, menjadi kiblat bagi milyaran penggemar bola di muka bumi. Jarak dan waktu tak lagi jadi masalah. Mereka fokus ke Qatar. Berdoa untuk kemenangan timnas favorit.
Dalam dua pekan pertama, kegundahan penggemar bola dari benua tersisih (Asia, Afrika, dan Australia) menggelegak. Terlampiaskan. Apa yang mereka harapkan terjadi.
Qatar adalah katarsis. Pelepasan emosi, keluh kesah yang tersimpan di dalam batin puluhan tahun. Superioritas sepakbola yang selama ini jadi legenda Eropa dan Amerika Latin dihempaskan badai gurun. Terkubur di padang pasir. Kini tumbuh kesetaraan kekuatan di jagat sepakbola.
Kita mencatat pada putaran pertama, dalam laga 32 finalis, zona AFS (Asia-Australia) meloloskan 3 wakil (Jepang, Korea Selatan dan Australia) dari 6 peserta. Ketiganya lolos ke sesi 16 Besar setelah melibas negara-negara legenda sepakbola.
Jepang nenggelamkan harapan Jerman, kolektor 4 Piala Dunia dengan skor 2-1. Spanyol, legenda sepakbola Eropa lainnya, Juara Dunia 2010, dihantam dengan skor serupa (2-1). Dengan poin 6, Maya Yoshida mimpin Grup E, setingkat di atas Spanyol.
Korea Selatan, yang secara kultural bersaing keras dengan Jepang, memamerkan kekuatannya pada dunia tak kalah dari Negeri Matahari Terbit. Uruguay, legenda Amerika Latin Juara Dunia dua kali, ditahan imbang tanpa gol (0-0).
Portugal, jagoan Eropa yang dikapteni pemain terbaik dunia Cristiano Ronaldo disikat 2-1. Maka di Grup H itu Korea Selatan menjadi runner-up, lolos ke babak 16 besar meninggalkan Uruguay dan Ghana.
Sepakterjang Australia dari AFC meski DNA-nya Eropa, tak kalah mengejutkan. Meski disikat Perancis (4-1), tapi berkat menang atas Tunisia (1-0) dan Denmark (1-0), The Socceroos bisa nemani Perancis lolos ke babak 16 besar.
Dengan hasil ini, ditambah kejutan Arab Saudi yang berhasil menciptakan fatamorgana persepakbolaan di kawasan gurun karena sukses menghajar Argentina, legenda Amerika Latin lainnya yang bertabur bintang (Lionel Messi dkk) dengan skor 2-1, Qatar kian memastikan peta kesetaraan kekuatan sepakbola di muka bumi.
Itu sebabnya dalam babak penyisihan, tak ada lagi istilah “grup nerakaâ€. Tapi pada saat yang bersamaan tak ada juga “surga†karena semua kekuatan sama, sama-sama bisa saling melibas!
Rahmatan lil UmattanBenar, pada mulanya memang kontroversi. Bagaimana mungkin negeri gurem di tengah padang pasir seperti Qatar bisa menyelenggarakan pesta sepakbola terbesar di dunia.
Bahkan beberapa pekan menjelang kick off, Joseph "Sepp" Blatter, bekas ketum FIFA yang notabene orang yang mengumumkan hal itu,
ngaku menyesal
netapkan Qatar sebagai tuan rumah. Qatar terlalu kecil, Piala Dunia terlalu besar bagi mereka.
Memang untuk memenuhi kebutuhan minimal jadi tuan rumah harus ada 5 sampai 8 stadion standar internasional dengan transportasi saling
nyambung. Sementara infrastruktur sepakbola di Qatar, ketika dinyatakan FIFA (2010) resmi jadi tuan rumah PD 2022, masih compang-camping.
Tapi dengan uangnya yang banyak berkat cerdas
ngelola hasil bumi gas yang cadangannya terbesar ke-3 di dunia, dalam tempo lumayan singkat segala kebutuhan Piala Dunia berhasil digenapi Qatar.
Tapi kini semua orang terkagum-kagum. Ternyata pesta sepakbola paling akbar di muka bumi bisa digelar di padang pasir, di negara Muslim. Dengan tetap menjaga kaidah Islam secara nyata.
Dan umat manusia pecinta bola dari antero dunia, dari latar belakang budaya dan agama berbeda, yang datang ke Qatar, menghormati kehendak tuan rumah. Termasuk berperilaku baik, menjauhkan diri dari minuman beralkohol yang menjadi tradisi penonton sepakbola Eropa dan Amerika Latin ketika merayakan kemenangan timnasnya.
Maka di Qatar itu sepakbola mencapai puncak peradabannya yang paripurna. Dan Qatar sukses menggenapi sepakbola sebagai “agama baru†yang
rahmatan lil umattan (rahmat bagi semua umat).
Adalah Sheikh Tamim bin Hamad bin Khalifa al-Tsani, Emir (pemimpin) Qatar flamboyan yang umurnya belum genap 50 tahun, orang yang menjungkirbalikkan pandangan dunia terhadap Qatar, negara yang sebelum ini paling miskin di Timur Tengah, dan mustahil sanggup menggelar Piala Dunia.
Tapi yang merintis jalannya adalah PM Qatar Sheikh Hamad bin Jassim al-Thani, ayahnya, yang pada suatu hari di bulan November 2010 bertamu ke Palais de l'Élysée, Istana Kepresidenan di Paris yang ketika itu ditempati Nicolas Sarközy.
Hari itu, dalam acara makan siang Istnapa Presiden Perancis, Sheikh Hamad bin Jassim ditemani putranya, Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani, 30 tahun, yang menjabat semacam Menpora dan beberapa tahun lagi (2013) akan menggantikan ayahnya sebagai penguasa absolut Qatar.
Sedangkan Presiden Perancis Nicolas Sarközy ditemani Michel Platini, legenda sepakbola Perancis kala itu menjabat Waketum FIFA.
Nah, dalam percakapan di tengah makan siang itulah penguasa Qatar melontarkan keinginannya jadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Tak lama kemudian FIFA (Sepp Blatter) meresmikan keinginan Emir Qatar yang super kaya itu.
Sejak itu muncul kontroversi. FIFA diisukan disuap uang sangat besar oleh Qatar. Indonesia dan dan Australia yang sudah disebut-sebut kandidat tuan rumah PD 2022 tiba-tiba juga mundur.
Banyak yang menduga dua negara ini juga dikasih “uang atret†lumayan besar oleh Qatar.
Akan tetapi semua isu negatif itu sirna dengan sendirinya setelah Qatar membuktikan kemampuannya menggelar Piala Dunia. Semua senang. Semua nyaman.
Kini di Qatar tinggal menyisakan 8 timnas yang akan menjalani takdirnya, jadi Juara Dunia atau sekadar dicatat sejarah sebagai bagian dari timnas yang menggenapi sepakbola sebagai “agama baruâ€.
Ada 4 partai yang harus dilewati oleh 8 timnas yang tersisa itu. (1) Kroasia vs Brazil, (2) Belanda vs Argentina, (3) Maroko vs Portugal, dan (4) Inggris vs Perancis.
Sebagaimana partai-partai terdahulu, semua pertandingan dijamin seru.
Selamat nonton partai-partai terbaik dunia.
Penulis adalah Jurubicara Presiden keempat RI Gus Dur, yang juga pecinta sepakbola