Catatan Akhir Tahun, Menanti DPR Gunakan Hak Pengawasan

Oleh: Ahmad Hanafi*

Kamis, 30 Desember 2021, 20:58 WIB
Catatan Akhir Tahun, Menanti DPR Gunakan Hak Pengawasan
Direktur Indonesian Parliamentary Center, Ahmad Hanafi/RMOL
PENGAWASAN parlemen dalam negara demokrasi berfungsi untuk memeriksa (check) dan membangun keseimbangan (balances) antara cabang kekuasan. Dalam model pemisahan kekuasaan John Locke, cabang kekuasaan legislatif (parlemen) berfungsi untuk menetapkan kebijakan. Sementara cabang kekuasaan eksekutif berfungsi untuk eksekusi kebijakan.

Menurut Thomas Caygill (2019), pengawasan terbagi dalam dua kategori, yaitu oversight dan overview jika mengacu pada tujuan dari pelaksanaan fungsi pengawasan. Jika pengawasan bertujuan untuk penyelidikan dan meminta pertanggungjawaban secara mendalam dari pejabat publik  atau lembaga negara, maka dikategorikan sebagai oversight.

Jika tujuan pengawasan untuk meminta pemerintah untuk menyampaikan perkembangan pelaksanaan undang-undang dan kebijakan, maka itu dikategorikan sebagai overview.

Pengawasan melekat pada setiap Anggota Parlemen dan kelembagaan secara kolektif sebagai sebuah fungsi dan hak. Berfungsi atau tidaknya parlemen dapat dilihat dari seberapa sering penggunaan hak pengawasan parlemen kepada pemerintah (Jimly Asshiddiqy: 2021).

Penggunaan hak pengawasan parlemen dipengaruhi oleh keseimbangan konfigurasi politik di parlemen. Koalisi partai-partai pendukung pemerintah yang dominan di parlemen akan berupaya untuk mempersempit ruang pelaksanaan hak pengawasan. Demikian sebaliknya.

Sepanjang 2020 hingga akhir 2021, dalam melaksanakan fungsi pengawasan, Komisi-Komisi di DPR membentuk 45 Panitia Kerja Pengawasan berbasis tema-tema spesifik. Begitu juga Pimpinan DPR membentuk 6 Tim Pengawasan DPR untuk tujuan spesifik.

DPR juga melaksanakan fit and proper test (FPT) untuk menyeleksi calon pejabat publik 10 lembaga kuasi negara/ lembaga negara. Pemberian persetujuan/pertimbangan terhadap 33 duta besar RI dan 27 duta besar negara sahabat.

Namun demikian, pengawasan DPR belum efektif untuk membangun check and balances. Sejatinya,  DPR dapat bekerja sendiri dalam menginisiasi  pengawasan secara independen.

Ini berbeda dengan fungsi legislasi, DPR harus bersama dengan pemerintah dalam membahas dan mengesahkan RUU menjadi UU. Demikian fungsi penganggaran, DPR memberikan persetujuan terhadap RUU APBN yang diusulkan oleh pemerintah. Proses pembahasan RUU APBN berlaku prinsip yang sama pada proses legislasi.

Dalam kerangka hukum yang demikian, fungsi pengawasan adalah satu-satunya fungsi yang DPR dapat mengambil inisiatif tanpa harus persetujuan pemerintah dalam prosesnya. Bekerjanya check and balances dalam pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, salah satunya dicirikan dengan kuatnya fungsi pengawasan parlemen.

Berdasarkan pengawasan kategorisasi overview dan oversight, pengawasan DPR masih didominasi pengawasan kategori overview. Artinya, pengawasan yang dilakukan DPR masih bersifat reguler untuk mengecek implementasi undang-undang dan APBN, namun belum menyentuh pada aspek permintaan pertanggungjawaban yang lebih mendalam.

Sebagai contoh, pada 2020 FPKS mengusulkan pembentukan Pansus Interpelasi Jiwasraya dan BPJS. Jika Pansus tersebut terbentuk, DPR berhak mengajukan pertanyaan atau meminta keterangan kepada pemerintah untuk persoalan yang berdampak besar kepada publik terkait Jiwasraya dan BPJS.

Pada akhirnya, usulan tersebut tidak disetujui. DPR membentuk tiga Panitia Kerja Pengawasan di bawah tiga komisi untuk pengawasan kasus Jiwasraya. Efektifitas tiga panja pengawasan terhadap peran check and balances parlemen tentu lebih lemah dibandingan jika DPR membentuk Pansus Interpelasi.

Belum efektifnya fungsi pengawasan DPR untuk membangun check and balances dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, dominannya koalisi partai-partai pendukung pemerintah di parlemen. Selain menguasai  mayoritas jumlah kursi anggota DPR, koalisi juga menguasai mayoritas kursi Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan.

Situasi ini menimbulkan ketidakberimbangan kekuatan koalisi-oposisi di internal parlemen itu sendiri. Di sisi lain, partai-partai oposisi juga belum mampu mengelola sumberdaya untuk membangun keberimbangan oposisi-koalisi di internal parlemen.

Kedua, lemahnya perlindungan bagi Anggota DPR dari recall partai politik. Anggota DPR dapat dengan mudah di-recall oleh partai kapanpun. Hal ini memicu lemahnya inisiatif Anggota DPR untuk menggunakan hak pengawasan dan hak mengajukan pertanyaan.

Pengawasan DPR dalam pemantauan pelaksanaan undang-undang juga belum efektif dalam mendorong terwujudnya tujuan pembentukan hukum. DPR bertanggung jawab untuk memantau implementasi undang-undang yang telah disahkan bersama pemerintah.

DPR perlu memastikan bahwa undang-undang itu dilaksanakan sesuai dengan kehendak pembentuk undang-undang, di samping untuk menilai efektifitas dan efisiensi implementasinya di lapangan.

Pada sejumlah undang-undang yang disahkan pada 2020, komisi-komisi di DPR tidak sepenuhnya mengikuti perkembangan penyusunan peraturan turunannya, misalnya UU Minerba yang belum keluar Peraturan Pemerintahnya.

Sementara undang-undang disusun sebagai respons terhadap satu  situasi agar berubah menjadi lebih baik. Artinya, tanpa ada pengawasan yang efektif, tujuan pembentukan hukum sebagai tools of social engineering tidak dapat tercapai.

Belum efektifnya pengawasan DPR dalam pemantauan pelaksanaan undang-undang disebabkan oleh faktor lemahnya kapasitas DPR dalam mengukur capaian implementasi undang-undang secara sistematis dan terdokumentasi. Faktor lain adalah belum terkonsolidasinya komisi dengan sistem pendukung DPR dalam hal pemantauan pelaksanaan undang-undang.

Pengawasan DPR belum efektif dalam merespon isu-isu publik yang berdampak luas sehingga memperkecil jarak antara kebijakan dan kebutuhan publik. Fungsi pengawasan dilekatkan kepada DPR sebagai representasi rakyat diharapkan mampu untuk menjembatani gap antara pelaksanaan kebijakan dan kebutuhan publik.

Artinya, pengawasan DPR harus dekat dengan kenyataan yang dihadapi masyarakat. Tapi tampaknya hal itu masih sulit diwujudkan.

Sebagai contoh, dalam penanganan Covid-19, DPR secara kelembagaan membentuk Tim Pengawasan DPR terhadap Pelaksanaan Penanganan Bencana Covid-19.

Bagaimana pembagian peran antara Tim Pengawasan ini dengan komisi juga tidak terjelaskan kepada publik. Termasuk kaitannya dengan Satuan Tugas Covid-19 yang juga dibentuk oleh Pimpinan DPR.

Bagaimana peran Tim Pengawasan dalam menjawab masalah vaksinasi, penanganan APD dan permasalah lainnya tidak begitu tampak. Jika isu itu direspon oleh DPR dengan menggunakan hak pengawasan, publik akan memperoleh penjelasan dari pemerintah secara lebih rinci.

Sepanjang 2021, media melaporkan berbagai isu-isu strategis dan berdampak luas kepada publik. Isu strategis seperti mismanajemen Garuda Indonesia, dugaan korupsi bantuan sosial, dan perubahan tarif BPJS seharusnya dapat direspons oleh DPR melalui fungsi pengawasan.

Persoalan lain, pengawasan DPR belum dilaksanakan secara transparan, partisipatif dan akuntabel. Sejumlah Panitia Kerja Pengawasan, baik yang dibentuk oleh Pimpinan DPR maupun Komisi, seharusnya dapat melaporkan kegiatannya kepada publik.

Baik jadwal kegiatan, penerimaan masukan masyarakat, serta informasi lainnya sesuai amanat UU KIP dan UU MD3. Masih bercampurnya berbagai informasi di website DPR menyulitkan publik untuk mengidentifikasi dan mengakses informasi pengawasan DPR.

Lemahnya transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam fungsi pengawasan diantaranya disebabkan oleh mekanisme fungsi pengawasan yang belum tertata sebagaimana fungsi legislasi. Dalam legislasi terdapat perencanaan, penjaringan aspirasi masyarakat serta pengesahan. DPR menghasilkan output berupa undang-undang.

Sementara mekanisme fungsi pengawasan DPR masih bersifat umum dan menyebar dalam sejumlah pasal. Mekanisme  perencanaan, penjaringan aspirasi publik dan produk hukum pengawasan belum tertata dengan baik. Hal ini yang menyebabkan fungsi pengawasan kurang menjadi perhatian publik, kecuali untuk isu-isu tertentu.

Terakhir, Pengawasan DPR dalam bidang FPT dan memberikan persetujuan terhadap duta besar perlu dievaluasi karena mengurangi waktu DPR untuk melaksanakan agenda pengawasan yang lebih substantif.

Proses rapat FPT memang dalam hitungan hari. Tapi lobi-lobi politik antar partai, calon dan pemerintah cukup menyita waktu DPR. Terlebih komisi negara yang political interest-nya tinggi.

Di tengah kondisi parlemen yang demikian, rakyat masih menunggu gebrakan dari DPR untuk membuktikan diri sebagai lembaga yang mampu melaksanakan fungsi pengawasan yang yang lebih efektif dan mampu mendorong check and balances dalam negara demokrasi.rmol news logo article

*Penulis adalah Direktur Indonesian Parliamentary Center


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA