Penolakan tersebut dikarenakan sang pemilik kapal ingin membawa keponakannya yang berusia 4 tahun yang sedang demam tinggi untuk diperiksakan ke RSUD Klungkung. Latar belakang penolakan warga yaitu adanya stigma bahwa, si balita dikhawatirkan membawa virus corona.
Masih segar dalam ingatan kita juga, saat ada peristiwa pengusiran paramedis yang hendak memakamkan jenazah korban meninggal akibat infeksi Covid-19 di Gowa, Sulawesi Selatan (2/4). Ada lagi kejadian pelemparan batu ke paramedis yang akan memakamkan jenazah korban virus serupa di Banyumas, Jawa Tengah (3/4).
Akhir bulan lalu, ada pula sejumlah tukang penggali kubur dan sopir ambulans di Sidoarjo, Jawa Timur menolak untuk menggali makam maupun mengantarkan jenazah korban meninggal karena kasus yang sama (29/3). Latar belakangnya jelas, adanya stigma negatif dan ketakutan tertular virus tersebut.
Stigmatisasi yang tak kalah memilukan, jenazah seorang perawat di Semarang juga mendapatkan penolakan dari warga saat hendak dimakamkan (9/4). Gugurnya perawat tersebut menambah daftar panjang paramedis yang meninggal di garda terdepan dalam penanganan wabah ini.
Bagaimana stigmatisasi semacam ini muncul?
Penolakan tersebut berakar dari paranoid atau ketakutan masyarakat yang berbasis logika dan pemahaman parsial tentang Covid-19 ini yang kemudian memicu stigma negatif. Masyarakat mengira bahwa, virus tersebut akan menular dari jenazah yang dimakamkan.
Faktanya, sebelum dilakukan prosesi pemakaman, paramedis telah terlebih dahulu menanganinya sesuai dengan protokol keamanan standar dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk mencegah transmisi virus dari tubuh jenazah.
Sebagai contoh, jenazah akan dibungkus dengan tiga lapis material, yaitu ditutup dengan kain katun linen putih pada lapis pertama, lalu dimasukkan ke dalam kantung mayat (body bag) pada lapis kedua, dan dimasukkan lagi ke kantung body bag berikutnya pada lapis ketiga.
Selanjutnya, permukaan body bag terluar akan didesinfektan dengan menggunakan larutan 0,5 persen natrium hipoklorit. Selain itu, masih banyak protokol standar lain yang dilakukan oleh paramedis. Masyarakat harus tau bahwa, semuanya tentu saja aman.
Apakah benar virus masih ada di permukaan benda mati?
Menurut WHO, virus SARS-CoV-2 ini memang masih dimungkinkan hidup pada paru-paru maupun organ lain dari seseorang yang telah meninggal. Bahkan, dalam
The New England Journal of Medicine dilaporkan bahwa, virus ini masih dapat bertahan pada beberapa permukaan benda yang berbeda-beda antara 4 hingga 72 jam.
Informasi terbaru dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) melaporkan bahwa, jejak asam ribonukleat (RNA) yang membawa informasi genetik dari virus ini masih dapat dideteksi di dalam kabin kapal pesiar Diamond Princess setelah 17 hari ditinggalkan penumpangnya.
Yang penting untuk diketahui lagi, risiko infeksi virus yang menempel pada benda-benda mati tersebut akan menurun seiring waktu. Jika semisal terkena sepotong RNA virus pun, tidak berarti akan langsung mengakibatkan infeksi.
Virus ini membutuhkan komponen lain dan genom yang lengkap untuk memungkinkan infeksi terhadap tubuh seseorang. Masyarakat Indonesia perlu lebih diedukasi tentang hal-hal ini.
Fenomena Stigmatisasi GlobalWabah Covid-19 ini membuat pikiran dan perasaan masyarakat dunia bercampur aduk. Bercampur antara paranoid jika tertular, ketidakpastian ekonomi, kerenggangan sosial, hingga stigmatisasi bahkan rasisme yang berlebihan terhadap kelompok masyarakat tertentu.
Jika di Indonesia ada stigma negatif terhadap jenazah korban Covid-19, di luar negeri ada bentuk stigma-stigma lainya. Sebelum wabah ini meluas di Indonesia, telah muncul stigmatisasi xenophobia terhadap orang-orang China atau orang yang berwajah Asia. Mereka dianggap sebagai agen penyebar virus.
Di AS, Canada, Australia, Eropa, hingga di beberapa negara-negara Afrika, orang China dipandang dengan sangat rasis. Komisi Hak Asasi Manusia di Australia menginformasikan, satu dari empat laporan tindakan rasisme berkaitan dengan virus corona ini.
Tidak cukup di situ, aksi stigmatisasi dan saling tuduh juga menjadi semakin marak di dunia. Media Turki menyebut virus corona ini ada hubungannya dengan gerakan zionisme Israel. Iran menuduh Israel sebagai pihak yang telah mengembangbiakkan virus ini. Alhasil, muncul lagi rasisme anti-semit untuk bangsa Israel.
Virus SARS-CoV-2 ini rupanya tidak hanya menyebabkan penyakit saluran pernapasan, tetapi juga stigmatisasi terhadap suatu ras bangsa atau juga kelompok masyarakat lain. Kemarin,
Fox News baru saja memberitakan, Jerman terlibat perang kata-kata di media dengan China yang menuntut China bertanggung jawab atas pandemi ini (20/4).
Bulan Maret yang lalu, perang tweet antara AS dan China pun berlangsung dengan sengit. Presiden AS Donald Trump beberapa kali mengeluarkan framing dan stigma virus corona sebagai "Virus China". Menteri Luar Negeri US juga menyebutnya dengan "Virus Wuhan". Amerika juga sedang bersemangat untuk segera melakukan investigasi ke lab virologi di Wuhan.
Rupanya tak mau kalah, China juga membalas dengan menyebut virus ini disebabkan oleh program militer AS. WHO sebenarnya telah mengubah nama penyakit ini dari Wuhan Corona Virus menjadi Covid-19 untuk menghindari penyudutan pihak tertentu.
Di China sendiri, beberapa waktu yang lalu, polisi aktif melakukan pengecekkan ke tempat tinggal orang-orang asing. Khususnya di Kunming, provinsi Yunnan kota dimana Penulis tinggal sekarang ini. Mereka mengecek surat izin tinggal serta berbagai travelling and contact history.
Akhir-akhir ini memang dilaporkan banyak kasus baru di China yang berasal dari impor. Hal ini memicu kekhawatiran akan munculnya gelombang kedua serangan virus ini.
Setelah meningkatnya kasus transmisi baru dari luar negeri, muncul stigma negatif dan kecurigaan terhadap orang-orang asing sebagai pembawa virus. Tidak sedikit orang-orang asing menjadi korban rasisme oleh orang China sendiri.
Jangan Lagi Ada Stigma Di Antara KitaDunia sampai hari ini belum dapat tenang setelah wabah ini meluas dengan sangat cepat. Para pemimpin negara belum berhenti untuk saling melempar stigma dan kecurigaan, masyarakat dunia juga masih menunjukkan sikap paranoid berlebihan.
Setiap orang memang berpotensi untuk dianggap sebagai ancaman, terutama saat adanya temuan baru mengenai asymptomatic carrier atau kasus tanpa gejala. Tetapi, wabah ini meluas bukan karena dipengaruhi oleh suatu ras atau kelompok masyarakat tertentu. Setidaknya belum ada bukti ilmiah yang meyakinkan tentang hal tersebut.
Stigma dan paranoid berlebihan yang dibumbui perpektif keliru harus dikikis. Krisis kepercayaan antar umat manusia yang diwarnai intrik politik maupun diskriminasi ini akan memperumit penanganan wabah.
Dunia seharusnya lebih fokus pada pencegahan dan flattening the curve dari total kasus transmisi yang ada. Mengesampingkan egosentris dan tidak saling menyalahkan pihak lain. Kita berjuang melawan virus, bukan bertarung antar sesama umat manusia.
Adhita Sri PrabakusumaMahasiswa doktoral di Yunnan Agricultural University, China; dosen Universitas Ahmad Dahlan.