Medio Maret-April 2018, paslon Sudirman-Ida diserang fitnah, manipulasi informasi, psywar dan
â€mind-driven pollingâ€. Elektabilitasnya dikunci di angka 10 hingga 20 persen.
Tim Eyman menyebut serangan itu dengan istilah
â€A push poll†yaitu semacam tehnik interaktif
marketing.
Motif tehnik ini, mempengaruhi dan mengubah persepsi publik dengan topeng
â€survei-pollingâ€. Pabrik
polling berfungsi sebagai mesin pengarah opini.
Jurnal Ghanaian Chronicle menyebutnya sebagai
â€childish propaganda in the name of pollsâ€.
Target penggiringan opini ini adalah meruntuhkan moral donatur, menarik
undecided voters dan meyakinkan
the opportunist elements.
Dalam kasus Pilkada Jateng, pabrik
polling sukses besar. Donatur banyak yang mundur dan batal mengucurkan donasi.
Di Amerika, praktik pollster macam ini memicu kemarahan publik.
American Association for Public Opinion Research menyimpulkan masyarakat merasa industri polling
â€had seriously misled the country about who would winâ€.
Pada saat seorang politisi menguasai media dan punya duit memesan hasil
polling artinya dia memiliki
â€Lie Factoryâ€.
Di Indonesia, dalam praxisnya, pabrik
polling mengadopsi
guideline "pretending to be are voice of the peopleâ€.
Satu ciri utamanya adalah tidak terbuka mengenai siapa penyandang dana survei yang mereka lakukan.
Tanpa informasi ini, selamanya, integritas produksi
polling mereka jadi tidak valid.
Di hari pencoblosan, berbagai pabrik
polling merilis
exit polls dan
quick count.
Di Jabar, bedanya tipis. Ridwan Kamil
over pede langsung gelar
victory speech. Tidak etis. Sebaiknya dia dilantik saja oleh pabrik
polling itu. Jadi "gubernur
pollingâ€.
Paslon Sudirman-Ida dikasih jatah 40 persen suara, bahkan sebelum KPUD menghitung kertas suara.
Tampaknya, pabrik-pabrik survei masih berbaik hati dengan beri angka fantastik itu. Mulai dari 0,75 lalu 10 dan ditutup dengan angka 40 persen.
Great struggle Mr. Sudirman Said.
We are proud of you.

Penulis adalah aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak)