Sobeknya Penutup Mata Dewi Keadilan

Senin, 04 Maret 2019, 20:52 WIB
Sobeknya Penutup Mata Dewi Keadilan
Ilustrasi/Net
MELIHAT Themis kini dapat melihat. Prasangka adalah cara bekerja baru bagi dewi keadilan saat ini. Simbol dewi Yunani, yang dikenal sebagai pembawa rasa adil itu, mewujud dalam bentuk wanita bertutup mata, sembari mengangkat timbangan atas perbuatan baik maupun buruk, dan membawa pedang yang tajam kedua sisinya.

Kini, kain penutup mata Themis telah tersingkap, robek tepat di bagian kedua bola matanya. Timbangan yang dibawanya pun telah dimodifikasi, persis para pedagang culas. Sementara itu, pedangnya juga tumpul satu sisi, tidak lagi tajam di kedua sisinya. Bisa jadi Themis kehilangan kemampuan penglihatan masa depan, lalu kini hadir dengan mentransaksikan keadilan. Suram sudah nampak dunia dibuatnya.

Filosofi dasar dari ketertutupan mata Themis adalah landasan bagi pijakan untuk membangun rasa kesetaraan, tanpa pandang bulu. Kini, mata Themis jauh lebih tajam dari pedang yang dimilikinya. Bila kemudian Themis memejamkan mata, sesungguhnya perilaku objektifnya hendak dipelihara. Blind justice, adalah modal awal bagi moralitas hukum serta peraturan.

Tapi Themis lupa, ada perangkat kekuasaan yang bekerja, untuk dapat membuka kain penutup matanya. Hal itu pula yang membuat mata pedangnya hanya tajam di satu sisi, untuk menyerang mereka yang berseberangan. Menarik bila kita mencoba mencari relevansi, pada soal penutup mata itu.

Eksperimen pemasaran secara riil membuktikan, bahwa dengan menggunakan uji mata tertutup, sebuah brand dengan value yang tinggi bisa dikalahkan oleh merek selain itu, dimana taste ditentukan oleh kombinasi panca indera lain saat mata tertutup. Tetapi dengan open eye test, maka brand dengan strong value perception menjadi mudah untuk dikenali serta dipilih, maknanya dimenangkan.

Kira-kira begitulah kerja Themis saat ini, kalkulasinya ditentukan oleh persepsinya, bukan disandarkan pada fakta yang objektif atas sebuah kebenaran. Dominasi kekuasaan merepresi kebenaran, menciptakan ruang ketidakseimbangan. Terlebih pada periode politik seperti ini, hukum serta peraturan yang seharusnya menjadi tata laku pelindung keadilan, menjadi rancu dan terhegemoni oleh kepentingan kekuasaan.

Menimbang Keadilan dalam Kontrak Sosial

Keadilan bukan hanya aspek keseimbangan, tetapi menyangkut pula hal prosedural. Pemaknaan keadilan meliputi aspek prosedural, sekaligus adil secara distributif, di mana terdapat kesamaan peluang dan kesetaraan kedudukan dalam seluruh dimensi kehidupan secara hakikat. Lantas apa yang menjadi substansi hakiki kehidupan? Soal kebebasan.

Hak asali manusia adalah bebas, tetapi dalam terminologi Erich Fromm manusia harus dapat mendefinisikan apa yang dimaksud “bebas dari” dan “bebas untuk” di antara makna kebebasan itu, manusia menyelaraskan dirinya dalam kemanusiaan  antara rentang individual dan kehidupan bermasyarakat. Pemikiran itu pula selaras dengan upaya penemuan kontrak sosial Hobbes, Locke hingga Rousseau. Prinsip dasarnya kebebasan pada ranah private, akan melebur dalam kesepahaman kebebasan di ruang publik.

Peleburan itu tidak bersifat menghilangkan, justru memperkuat kebebasan individu. Tetapi rentang kebebasan pribadi, bernegosiasi dengan titik teritori kebebasan pihak lain, dalam mengakomodasi aspek alamiah manusia sebagai makhluk sosial. Kemampuan manusia beradaptasi sekaligus mengompromikan kepentingan, adalah tahapan tertinggi dari keluhuran manusia sebagai homo sapiens -makhluk yang berpikir.

Perjalanan panjang kesejarahan manusia, kemudian memberikan kesempatan kepada individu lain, yang dianggap lebih mampu dalam mengelola kehidupan bersama untuk menjadi pemimpin. Peran tersebut dilembagakan, mewujud dalam struktur negara, lengkap dengan legitimasi menggunakan instrumen kekerasan untuk menegakkan keteraturan, sesuai dengan tafsir publik. Tetapi sulit dihindari penyimpangan kepentingan kekuasaan baik pada aspek individu maupun kelompok. Kekerasan yang di dalamnya termasuk penggunaan; verbal, fisik dan non fisik adalah sarana represi dalam representasi: polisi, pengadilan dan penjara.

Maka kemudian kebenaran seolah menjadi hak prerogratif kekuasaan. Karena keadilan sebagai pernyataan akan kebenaran, telah masuk dan berada di teritori penguasa. Lantas kemudian catatan sejarah, adalah bentuk transkrip serta dokumentasi dari dominasi penguasa. Dengan demikian narasi kriminalisasi adalah bentuk frasa yang tidak kosong.

Lalu bagaimana memastikan keadilan hadir bagi semua pihak? Sekaligus menjaga syahwat kekuasaan untuk mengangkangi terciptanya keadilan? Jalur yang dapat memastikan tercapainya hal tersebut, adalah dengan menjadikan kebenaran dan kebaikan sebagai sebuah padanan. Baik dan benar tidak terpisahkan, aspek etik dan estetik berjalan harmonis. Apa batasnya? Hati nurani dan moralitas menjadi batas demarkasinya.

Jadi bila penutup mata dewi Themis telah terbuka, kita patut khawatir dia bermain mata dengan para penguasa, untuk mengacungkan pedang yang tajam sebelah ke pihak yang mengancam kekuasaan. Politik memang rawan konflik, tetapi perdebatan yang tajam tersebut harus dikembalikan pada kontrak sosial kita untuk hidup berbangsa, melepaskan kebebasan diri dari penjajahan kolonial, untuk kemudian merujuk bersama dalam kebebasan sebuah cita-cita bersama sebagai Indonesia!. rmol news logo article

Yudhi Hertanto
(Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA