Trisula Ala Tirai Bambu

Sabtu, 14 Januari 2017, 09:01 WIB
GONJANG-ganjing soal derasnyaTKA asal negeri tirai bambu susah kita elekan sebagai konsekuensi dari kepentingan Presiden Jokowi menarik investasi asing sebanyak-banyaknya dalam rangka pembangunan infrastruktur startegis yang di targetkan.

Pembangunan Industrisepertipertambangan, batubara, minyak, listik, gas bumi, infrastruktur, keuangan dan manufaktur akan dipertaruhkan antar investor asing seperti pembangunan mega proyek jalur keretA api Jakarta-Bandung, Jepang vs China.

Demikian pula pembangunan kilang dan rencana eksplorasi gas blok Masela, apakah onshore atau offshore antar kementerian dan lembaga Negara yang akan dikelola oleh Inpex dan Shell Plc.

China memiliki cadangan devisa terbesar di duniasebesar US$ 3,2 TrilIun jauh mengalahkan Amerika Serikat yang hanya US$ 120 Miliar, sementara Indonesia hanya sebesar US$ 111 MilIar.

Bahkan, BUMN perbankan seperti BRI, Mandiri dan BNI "sudah dimiliki" China dengan melakukan suntikan dana sebesar US$ 3 MilIar setara dengan Rp 40 Triliun sebagai pinjaman pada 16 september 2015. Bahkan jika nilai investasi China digabung dengan Hong Kong sebagai konsep kebijakan satu negara akan mencapai US$ 1 Miliar.

Selama pemerintahan Jokowi, China nampaknya sudah mempersiapkan diri untuk berinvestasi besar-besaran di pelbagai proyek pembangunan infrastruktur strategis dengan dukungan dana besar, teknologi serta paket tenaga kerja dalam pengerjaan proyek tersebut.

Seperti pelbagai mega proyek di Benua Afrika, China pun menggempur negeri mutiara hitam itu dengan pembangunan infrastruktur dan eksplorasi sumber daya alam plus tenaga kerja yang didatangkan langsung dari China baik profesional maupun tenaga kasar.

Di Indonesia, China menerapkan hal sama, tidak hanya kepentingan investasi tetapi juga berdampak pada kondisi demografis dan peningkatan penyelundupan narkotika yang datang dari China.

Ketiga hal itu, saya menyebutnya sebagai operasi trisula ala tirai bambu, yaitu:

Pertama, Operasi Ekonomi


Total investasi China yang ditawarkan kepada Presiden Jokowi sebesar Rp. 1.350 TrilIun untuk menggarap proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang masuk sebagai daftar rencana pinjaman atau hibah.

Proyek-proyek yang disasar China di Indonesia termasuk pembangunan jalan, pabrik baja, pelabuhan, bandara dan pertambangan.

Sebagai tujuan investasi, Indonesia menempati urutan kedua setelah Amerika Serikat, Rusia dan India. Financial Times mengungkapkan sejak 2010-2015 investasi China keluar negeri menyentuh angka US$ 219.897 Miliar atau 11% ditujukan ke Indonesia.

Pada pertemuan tingkat menteri ekonomi di The 2nd Meeting of High Level Economic Dialogue Indonesia-China di Jakarta pada 9 Mei 2016 lalu, pemerintah Cina akan memberi dana hibah sekitar 30 juta yuan untuk mematangkan proyek-proyek infrastruktur milik Indonesia, termasuk pengerjaan megaproyek kereta api Jakarta-Bandung yang dimenangkan China atas Jepang.

Indonesia mendapatkan nilai investasi dari China sebesar US$ 500 Juta pada kuartal pertama 2016 lalu atau naik melesat sebesar 400% menempatkan China menjadi investor keempat besar setelah Singapura sebesar US$ 2,9 Miliar, Jepang US$ 1,6 Miliar, Hong Kong USS$ 500 Juta, dan Belanda US$ 300 Juta.

Kita berharap bahwa kepentingan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat jauh lebih penting sesuai tujuan konstitusional Negara daripada sekedar memenuhi kepentingan investasi asing, sebagaimana konsepTrisakti ajaran Bung Karno, "Berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara sosial budaya”.

Kedua, Operasi Demografi


China dengan penduduk sekitar 1,3 Miliar merupakan penduduk terbesar di dunia akan mengemigrasikan penduduknya keluar negeri sebagai pekerja di industri-industri yang dibangun.

Dalam satu kesempatan saya menghadiri peresmian industri PLTU yang dibangun China di salah satu kabupaten di Provinsi Timur Indonesia. Semua spanduk, papan petunjuk dan bahkan pintu masuk gapura utama kawasan beraksara Han Ziatau Mandarin dan tidak menemukan bahasa Indonesia apalagi Inggris.

Para pekerja industinya pun didatangkan dari China kecuali staf security yang direkrut dari daerah setempat. Jumlah pekerja asal negeri tirai bambu sekitar ratusan orang. Demikian pula berita di media cetak maupun elektronik memuat tentang membanjirnya tenaga kerja asing dari China seperti di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Kawasan industri yang dibangun oleh investor China, suasana dan pemandangannya seperti anda berada di negeriTiongkok sendiri. Polri dan TNI pun dibuat kewalahan dengan aksi TKA asal China yang mengibarkan bendera negaranya di wilayah NKRI.

Sementara angka pengangguran kita lebih 7 juta orang (BPS 2016) dapat menimbulkan kerawanan sosial, konflik horizontal dan semakin menguatkan sentimen anti-China karena tidak diberi peluang kerja seperti yang terjadi di Vietnam atau Myanmar saat ini.

Data resmi pemerintah menunjukan hanya sekitar 21 ribu jumlah TKA asal China yang ada saat di Indonesia dari total 74 ribu lebih TKA. Tapi bagimana dengan yang masuk secara ilegal atau penyalagunaan visa. Dari visa kunjungan (turis) tapi dipakai untuk bekerja.

Pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan bebas visa ini yang sesungguhnya ditujukan untuk menggairahkan dunia pariwisata tetapi disalah-gunakan oleh warga China menjadi pekerja kasar di Indonesia. Pemerintah harus tegas menindak pelanggaran ketenagakerjaan dan kemungkinan perdagangan manusia (human trafficking).

Ketiga, Operasi Candu

Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukan bahwa narkotika banyak masuk ke Indonesia dari Negara China yang diselundupkan melalui mesin genset dan tiang-tiang pancang reklamasi dan pelbagai modus lainnya.

Narkotika dari China bermacam jenis dan bentuk seperti permen, stik, butiran pil, serbuk dan atau diekstraksi kebahan lainnya. Bahkan temuan terbaru BNN sudah di formulasi dalam bentuk kopi dan minuman lain.

Pemakai narkotika di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat tajam, tahun 2015 saja pemakainya mencapai 5,9 Juta orang atau meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 40%.

Dari rilis BNN akhir tahun 2016 berhasil mengungkap 807 kasus nakotika dengan jumlah tersangka 1.238 orang terdiri dari 1.217 WNI dan 21 WNA. Sedangkan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang terkait dengan narkotika 21 kasus dari 30 tersangka serta menyita aset senilai Rp 261,8 Triliun.

Jumlah perputaran uang di bisnis narkoba per tahun mencapai Rp 66,3 Triliun, dan melibatkan pelbagai kalangan dan profesi sebagai pemakai atau pengedar dari kalangan penegak hukum, politisi, pengusaha, pejabat hingga pengacara.

China punya sejarah panjang dan kekalahan memalukan akibat perang candu (opium war) pada masa dinasti Qing, dinasti terakhir China.

Inggris dan Perancis berhasil menguasai beberapa wilayah China seperti Hong Kong dan semenanjung Kowloon pada perang pertama tahun 1839-1842 dan perang kedua 1856-1860.

Akibat serangan candu itu, para pemuda dan rakyat China tak sanggup melakukan perlawanan terhadap bangsa Eropa sehingga mudah ditaklukan. Pada tahun berikut, dalam perang dunia kedua, Jepang menduduki China dengan sangat mudahnya.

Jika pengedaran narkoba tidak bisa diatasi oleh pemerintah melalui penegakan hukum yang tegas, maka masa kelam China di masa lampau akan juga kita alami. Sayangnya, soal candu dari China dalam pertemuan Jokowi dan Xi Jinping pada 26-28 Mei 2015 lalu tidak dibicarakan. 

Berbeda dengan Presiden Duterte yang meminta agar China mencegah pengiriman narkotika ke negaranya di tengah perang atas narkotika yang dikumandangkan.


Syamsuddin Radjab
Direktur Jenggala Center dan Dosen Politik Hukum UIN Alauddin, Makassar

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA