Pasalnya, persoalan sapi dan daging sapi selalu menjadi pembicaraan publik juga merupakan kebutuhan dasar masyarakat apalagi saat menjelang puasa, lebaran, dan hari hari besar keagamaan. Pada saat saat seperti ini, harga daging sering melonjak naik di luar kendali, bahkan kenaikannya bisa diatas 30 persen dari harga daging pada hari hari biasanya.
Sebenarnya, kebijakan Impor merupakan aib Negara kita sendiri, apalagi Indonesia sedang mencanangkan dan fokus pada cita cita terwujudnya kedaulatan pangan. Namun demikian, meskipun Indonesia sudah menentukan cita cita kedaulatan pangan, termasuk di dalamnya adalah kedaulatan daging, akan tetapi realita lapangan masih menunjukkan bahwa Indonesia belum siap untuk mewujudkannya.
Sebagai bahan referensi, setiap tahunnya kebutuhan daging kita pada tahun 2015 adalah 654.000 Ton, setara dengan 5,45 juta ekor sapi. Sementara populasi sapi kita di tahun yang sama hanya 15,5 juta ekor yang terdiri dari 5,5 juta ekor sapi siap potong, 6 juta ekor bakalan, dan 4 juta ekor indukan. Itupun 80 persen populasi sapi adalah milik peternak rakyat yang tidak bisa dipaksa untuk menjual ternaknya sewaktu negara membutuhkan.
Meskipun kita belum bisa lepas dari impor sapi, akan tetapi kita harus tetap hati hati dan berpikir strategis agar tujuan utama dari impor untuk menjaga stok, distribusi, dan menstabilkan harga daging itu bisa tepat sasaran. Sehingga impor tidak semata mata menguntungkan pengusaha saja.
Fenomena Daging Sapi 2015Tahun 2015 lalu, Pemerintah sempat membatasi kuota impor sapi, akan tetapi pembatasan itu sudah dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Berdasarkan kebutuhan daging sapi per kapita yang 2,56 Kg/Tahun, maka kebutuhan daging sapi nasional kita adalah 2,56 x 255.461.700 Jiwa, yakni 654.000 Ton.
Sementara berdasarkan data dari Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, produksi daging sapi lokal mencapai 523.927 Ton, atau defisit daging sapi sebesar 130.073 Ton. Atas perhitungan itulah Pemerintah memutuskan untuk mengimpor daging sapi sejumlah 214.690 Ton, dengan perincian 83.260 Ton dalam bentuk daging, dan 131.430 Ton dalam bentuk sapi sejumlah 773.149 ekor.
Dengan perhitungan di atas, logikanya justru harga daging bisa lebih murah, karena stok daging sapi lokal ditambah dengan daging sapi impor jumlahnya berlimpah dan melebihi kebutuhan daging secara nasional. Namun demikian, harga daging di pasaran ternyata tetap tinggi sampai menembus angka di atas 130 ribu/kg dari yang biasanya 80 ribu/kg. Itupun importir masih menekan dan menyalahkan pemerintah untuk menambah kuota impor.
Prediksi Harga Daging Menjelang Lebaran 2016Di tahun 2016 ini, kebutuhan daging perkapita diperkirakan akan naik 5 persen dari tahun 2015 menjadi 2,69 Kg/orang/tahun. Sehingga kebutuhan akan daging sapi meningkat dari 654.000 Ton menjadi 687.192 Ton. Sementara tingkat pertumbuhan populasi sapi dalam Negeri hanya pada angka 2 persen. Tentu ini akan menjadikan ketidakberdayaan pemerintah untuk melakukan stabilisasi harga daging, kecuali melakukan impor.
Menjelang puasa sampai lebaran 2016 ini, kebutuhan daging sapi diperkirakan naik 30 persen dari hari hari biasa, atau dari 57.266 Ton menjadi 74.446 Ton. Begitu juga dengan harga daging, diperkirakan akan naik 30 persen atau bahkan lebih jika Pemerintah tidak melakukan intervensi pasar.
Berkaca dengan realita harga daging menjelang puasa tahun 2015. Berdasarkan catatan Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI), pada Juni 2015 harga beli sapi hidup tingkat peternak (feedlot) berkisar Rp 37 ribu sampai Rp 38 ribu per kg dan harga karkas sebesar Rp 74 ribu-Rp 75 ribu per kg. Namun harga daging saat itu menembus angka 130 hingga 140 ribu, karena pada saat yang bersamaan, harga kulit dan jeroan menjadi drop akibat konsumsi masyarakat di bulan puasa lebih banyak ke daging, sehingga untuk menutupi kerugian harga kulit dan jeroan, mereka menaikkan harga daging sapinya.
Sementara daging sapi lokal saat ini dipatok dengan harga Rp 27.000 sampai Rp 33.000,- sapi hidup di tingkatan peternak, Rp 50.000 sampai Rp 65.000 - karkas dan Rp 90.000 sampai Rp 99.000,- untuk daging. Sedangkan untuk daging sapi Impor sekarang harga beli di feedlot mencapai Rp 45.000,0 sampai Rp 46.000, per kg, karkas di bulan Maret ini Rp 87.000 sampai Rp 89.000, daging Rp 115 ribu sampai Rp 125 ribu.
Jika pada puasa tahun 2015 lalu harga daging mengalami kenaikan yang sangat tinggi dari yang seharusnya Rp 100.000 sampai Rp 110.000, menjadi Rp 130 sampai Rp 140.000, maka bukan tidak mungkin kalau pada saat puasa tahun ini, harga daging sapi bisa menembus angka Rp 150.000 sampai Rp 160.000/kg nya.
Karena itu Pemerintah harus segera melakukan antisipasi sejak dini, mulai dari memastikan stok daging, mengatur tata niaganya, dan persiapan yang matang jika sewaktu-waktu diperlukan operasi pasar murah untuk daging sapi.
Pangkas Mafia dan Percepat Realisasi Impor Berdasarkan Zona BasedSetelah Presiden menandatangani PP Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan. Maka perlu segera disusul dengan ditandatanganinya Kepmen yang mengatur lebih rinci, agar Impor ternak berdasarkan zona based bisa dilakukan sesegera mungkin.
Berdasarkan data dan fakta lapangan selama bertahun tahun ini, tinggi rendahnya harga daging sapi tidak hanya sebatas dipengaruhi oleh faktor permintaan dan suplai yang terjadi secara alamiah di pasar. Akan tetapi sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya harga sapi di negara pengimpor, dan mafia atau kartel pangan.
Artinya meskipun 65 persen kebutuhan daging sapi kita terpenuhi oleh stok sapi lokal, dan 35 persen dari impor, akan tetapi sebenarnya yang menentukan harga daging sapi di Indonesia saat ini adalah Australia dan New Zealand serta mafia daging yang berkiblat pada kedua negara tersebut. Adapun harga sapi lokal dengan sendirinya naik mengikuti harga yang dibuat oleh mereka.
PP Nomor 4 Tahun 2016 ini sangat tepat dan harus segera diikuti dengan produk perundang-undangan dibawahnya. Agar Indonesia bisa lepas dari ketergantungan terhadap mafia dan daging sapi Australia, menemukan kompetitor baru dari Zona Based, serta bisa menekan tingginya harga daging dalam negeri.
Memang, pemerintah sekarang sudah menunjuk PT. Berdikari sebagai salah satu persero untuk melakukan impor daging sapi sejumlah 10.000 Ton dalam rangka mengantisipasi kekurangan stok dan menstabilkan harga daging saat puasa dan lebaran nanti. Namun demikian, upaya ini kemungkinan besar akan mengalami kegagalan. kalau untuk menjamin adanya stok daging itu mungkin saja berhasil, akan tetapi kalau untuk menstabilkan harga, sepertinya akan jauh panggang dari api.
Karena Impor daging sapi yang dilakukan oleh PT. Berdikari itu berasal dari sapi Australia, dimana kita tahu bahwa saat ini, harga sapi hidup di Australia sudah 3,3 USD dan harga dagingnya mencapai 9,9 USD atau Rp. 128.700,-/kg nya.
Karena itulah, Zona Based harus segera dijalankan sehingga harga daging sapi tidak melambung tinggi. Apalagi harga daging sapi di India juga di kisaran harga Rp 78.000,-/kg nya. Logikanya tidak masuk akal, jika ingin menurunkan atau menstabilkan harga daging sapi, tetapi mengambil dagingnya dengan harga yang sudah tinggi. Kecuali kalau daging impor itu bukan untuk dijual, melainkan hanya untuk dibagi bagi.
Pastikan Stok dan Siapkan Operasi Pasar Daging MurahPerlu dicermati, bahwa di tahun ini, Importir Sapi masih banyak yang menahan untuk tidak melakukan impor, karena kebijakan Menteri Pertanian yang membawa sapi dari NTT NTB masuk ke Jakarta dan membanderol harga daging sapi Rp. 85.000. Mereka masih memilih wait and see untuk menentukan langkah berikutnya.
Kebijakan Mentan ini memberikan pukulan keras kepada mereka dan membuat mereka lebih memilih tidak melakukan impor daripada harus mengalami kerugian sebagai akibat dari tidak bisa menjual sapi/daging sapinya. Belum lagi dengan adanya bayang bayang ketakutan dari mereka, jika mereka sudah melakukan impor, ternyata Pemerintah kemudian memasukkan sapi dari India.
Sikap yang diambil oleh sebagian besar importir ini, tentu akan berdampak pada kekhawatiran akan tidak-pastian dan kurangnya stok daging saat puasa nanti. Apalagi selama ini stok, distribusi, dan harga daging sapi mutlak dikuasai oleh pasar yang mereka kendalikan.
Oleh karena itu, agar tidak terjadi krisis daging, maka pemerintah harus melakukan observasi lapangan guna menjamin ketersediaan dan menentukan langkah apa yang harus dilakukan.
Dalam kondisi dimana importir masih wait and see dan keberadaan sapi lokal yang mayoritas adalah milik peternak rakyat, yang mana pemerintah tidak bisa memastikan kapan mereka mau menjual ternaknya. Maka pemerintah melalui BULOG sebagai stabilisator harga pangan harus mempersiapkan antisipasi dini jika sewaktu waktu terjadi gejolak, maka tinggal melakukan operasi pasar daging murah. Jika tidak, maka persoalan daging ini akan menjadi krisis yang berimbas pada stabilitas politik dan ekonomi sebagaimana yang sudah sudah.
Pelajaran berharga yang terjadi bertahun tahun ini, harus dijadikan sebagai refferensi oleh Pemerintah dalam membuat kebijakan daging sapi. Apalagi dalam masa transisi kebijakan dari country based menjadi zona based ini, Pemerintah harus menyiapkan langkah langkah antisipatif sehingga tidak terjadi gejolak di luar kendali.
Kemungkinan akan terjadinya gejolak daging pada Puasa tahun 2016 ini jauh lebih besar dibandingkan pada puasa tahun 2015 lalu, karena situasi dan kondisi dunia peternakan serta daging di tahun lalu tergolong normal dan kondusif.
Berbeda dengan tahun ini, dimana meskipun kuota impor bakalan sudah ditetapkan oleh pemerintah sebesar 600.000 ekor, daging 82.000 Ton sepanjang tahun 2016 tanpa dibatasi oleh kwartal sebagaimana tahun tahun sebelumnya. Tetapi kebijakan kementerian pertanian yang memobilisir sapi lokal (NTT NTB) dengan mematok harga daging 85 ribu/kg serta adanya ketakutan akan bayang bayang rugi akibat diberlakukannya sistem impor sapi/daging berdasarkan zona based telah membuat importir dan feedlod merasa tidak tertarik untuk mengimpor dan membesarkan sapi bakalan di kandang kandang mereka.
Kerjasama Pemerintah, Pengusaha Peternak dan Lembaga
Sudah lazim terjadi dimana mana. Pada masa transisi kebijakan, pasti akan memunculkan keresahan dan kerumitan, meskipun itu tidak bersifat permanen dan cenderung ke arah perbaikan. Hal yang sama juga pasti akan terjadi di dunia peternakan dan daging di Indonesia. Pasti akan terjadi yang namanya Shock Market.
Oleh karena itu, segala persiapan harus dilakukan agar Shock Market ini tidak memunculkan Tsunami yang sulit diatasi. Pemerintah harus membangun kerjasama lintas sektoral, lintas provinsi atau lintas daerah dengan Pengusaha, Peternak, dan Lembaga-lembaga yang memiliki konsentrasi di bidang peternakan.
Langkah ini sangat mutlak untuk dilakukan, karena merekalah yang terlibat secara langsung dan mengetahui secara pasti tentang berbagai hal yang berkaitan dengan populasi ternak, kesehatan hewan, stok daging, arus distribusi, dan pembentuk harga daging sapi. Tanpa kerjasama yang baik dengan mereka, pemerintah pasti akan merasa kesulitan. [***]
Gidion Wijaya KetarenKetua Bidang Perikanan dan Peternakan Dewan Pimpinan Nasional Himpunan, Kerukunan Tani Indonesia (DPN-HKTI) dan Komite Agribisnis, Pangan dan Kehutanan KADIN Indonesia