Ahok, Penguasa yang Menelanjangi Kebenaran di Jakarta

Kamis, 21 April 2016, 02:12 WIB
Ahok, Penguasa yang Menelanjangi Kebenaran di Jakarta
BERGULIRNYA maraton kepemimpinan saat ini membuat Ibukota Jakarta menjadi buah bibir semua elemen masyarakat. Baik masyarakat di kelas bawah, maupun kalangan atas.

Semuanya mecibir kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta (Basuki Tjahaja Purnama), yang bukan seperti pemimpin, melainkan seperti seorang penguasa. Dia buas dan kejam kepada masyarakat di Ibukota. Ciibiran tersebut berkonotasi negatif.

Hiruk pikuk kerasnya kehidupan di kota, menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat Jakarta saat ini. Apa yang dipertanyakan dan digandrungi oleh masyarakat Jakarta saat ini? Sebut saja  masalah kesewenang-wenangan, dan berbuntut pasa persoalan, pemimpin dan penguasa.

Saat ini masyarakat Jakarta telah kehilangan sosok seorang pemimpin, dan menemukan sosok seorang penguasa. Tidak adanya program blusukan, seperti pemimpin sebelumnya. Memberikan senyuman kepada masyarakat Jakarta yang sedang mengais seorang bayi di posyandu, bahkan rela banjir-banjiran bersama warga Jakarta ketika Jakarta kebanjiran.

Semangat Harmonisasi itu telah hilang seketika dengan majunya Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menjadi Presiden. Saat ini di Jakarta, yang hadir bukanlah sosok pemimpin akan tetapi sosok penguasa.

Sosok pemimpin dengan penguasa dalam hal ini memiliki konotasi yang berbeda. Pemimpin bisa mengayomi dan dimiliki oleh rakyatnya. Sementara penguasa tidak pernah dipilih oleh rakyat dan tidak pula dimiliki oleh rakyat.

Cara kerja penguasa tentunya berbeda dengan cara kerja pemimpin. Penguasa bekerja selalu menggunakan kekuatannya dengan cara mencaci, mendatangkan mobil penghancur "Bulldozer" untuk membongkar rumah warga dan menjadikan serdadu sebagai alat pengamanan dalam setiap tindakannya.

Saat ini, aparat dan serdadu telah berpaling muka, dan lebih memihak penguasa dibandingkan dengan rakyat. Sebagai contoh, aparat dari Polisi Pamong Praja yang akrab disebut POL PP. Mereka, hanya dijadikan sebagai alat kekuasaan penguasa di Ibukota.

Ahok, tidak bisa saya sebut sebagai pemimpin. Dia lebih pantas disebut sebagai penguasa. Pertama, pemimpin itu dimiliki oleh masyarakat. Kedua, masyarakat memiliki kepercayaan kepadanya. Ketiga, pemimpin bisa dijadikan sebagai panutan masyarakat.

Sementara penguasa sebaliknya. Pertama, tidak pernah dipilih oleh masyarakat. Lalu, penguasa tidak pernah memilikinya, dan sosok penguasa bagi masyarakat merupakan suatu, teror terbesar. Ketiga, penguasa tidak mampu menggusur kemiskinin, akan tetapi hanya mampu menggusur masyarakat miskin di Ibukota.

Fenomena penguasa saat ini terjadi di Ibukota di Indonesia. Jakarta, disadari atau tidak telah menjadi kota yang tertukar dan biarkan kebenaran itu telanjang. Saat ini masyarakat masih menunggu sikap setia para penegak hukum.

Dalam menyelesaikan perkara pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras dan perkara mafia Reklamasi Pembuatan 17 Pulau di Jakarta, yakni Reklamasi Pantai Teluk Jakarta.

Tertangkapnya, Ketua DPRD Muhamad Sanusi, beberapa hari lalu, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan langkah awal bagi kita untuk melihat si penguasa dan betapa rusaknya negeri ini dipimpin oleh penguasa.

Perkara ini, akan menjadi jembatan menuju surga bagi para penegak hukum di Ibukota Jakarta. Masyarakat DKI Jakarta, saat ini masih setia menunggu siapakah penegak hukum yang berani membongkar perkara-perkara dipusaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Siapapun yang bisa dan berani membongkar perkara yang saat ini dialami oleh penguasa, maka pantas untuk diberikan apresiasi serta diberikan ijazah pahlawan. [***]

Agus Harta

Koordinator Aliansi Muda Untuk Demokrasi (ALMUD)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA