Kegamangan Jurnalis Televisi di Pilpres 2014

Rabu, 11 Juni 2014, 20:10 WIB
<i>Kegamangan Jurnalis Televisi di Pilpres 2014</i>
Hendrata Yudha
“Mungkin saya salah. Tapi ini bacaan saya: Pers dan media massa kita sudah terbelah”

(Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menganggap pers terbelah dalam mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung dalam pemilihan 9 Juli mendatang).

“Keberpihakan dengan political framing merugikan masyarakat. Apakah ini sehat bagi penguatan demokrasi?”


(Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq, mengatakan pemilihan presiden 9 Juli ditandai oleh fenomena baru, yakni keberpihakan stasiun televisi kepada calon presiden. Ini merugikan publip karena masyarakat tak mendapat informasi seimbang).

DUA pernyataan di atas tadi, sepertinya bisa mewakili sikap keprihatinan sebagian besar masyarakat terhadap sikap media masssa, terutama berita di televisi yang semakin jauh dari azas netralitas yang sering didengungkan.

Dalam berbagai diskusi serius hingga diskusi kelas warung kopi, dan arisan ibu-ibu pun, terekam bahwa kekhawatiran pers terpecah belah, dengan menyebarkan berita berat sebelah bahkan menjadi bagian dari propaganda hitam, sulit dibantah. Boleh dikatakan, bahwa pada Pilpres 2014 ini media televisi menjadi contoh paling jelas dan gamblang, polarisasi televisi untuk saling dukung calon presiden bisa disaksikan setiap hari.

Pada dasarnya, secara ideal, pemberitaan media massa haruslah sesuai dengan azas dan prinsip jurnalistik yang berlaku secara universal, yakni menjunjung tinggi azas objektifitas, akurat, adil, berimbang, dan menegaskan posisi netralitasnya. Selain itu, wajib hukumnya setiap pelaku jurnalistik dalam pemberitaannya untuk menaati kode etik.

Privatisasi atau kepemilikan pribadi maupun kelompok atas perusahaan media massa sebenarnya bukanlah masalah, sepanjang pemberitaan yang disebarkan kepada masyarakat luas senantiasa tunduk pada azas serta prinsip ideal tersebut.

Ade Armando dalam artikelnya yang menarik menyebutkan, intervensi pemilik media terhadap isi media tak lepas dari akar sejarahnya. Sejak reformasi, Indonesia  sudah memilih jalan menghargai kebebasan pers. Implikasinya, negara terpaksa tidak boleh dibiarkan terlalu jauh campur tangan dalam mengatur kehidupan media massa. Selanjutnya disebutkan, konsekuensinya, negara tidak bisa melarang para pemilik media untuk terjun ke dalam dunia politik atau sebaliknya melarang politisi untuk memiliki media massa. Karena hal itu harus dilihat sebagai hak asasi warga negara yang dilindungi oleh hukum.

Menjadi masalah kemudian, apabila terjadi penyimpangan terhadap fungsi media sebagai sarana komunikasi massa yang mengutamakan kepentingan publik, terutama jika hal ini dilakukan oleh sang pemilik modal itu sendiri. Sebagai pemilik dari suatu perusahaan media, tentunya mereka memiliki kuasa lebih untuk mengintervensi kebijakan redaksi. Sayangnya, beberapa pihak yang disebut di atas maupun pihak lain yang mengindikasikan fenomena serupa justru beralih memanfaatkan situasi ini untuk memuluskan proyek politik pribadi maupun golongannya saja, sehingga objektifitas pemberitaan sebagai syarat bagi informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat demokratis telah dikesampingkan.

Sekarang ini, fenomena pemanfaatan media massa sebagai alat politik bagi pertarungan kepentingan elit tertentu telah menjadi gejala umum yang terus menjalar tidak hanya di ranah nasional tetapi juga di daerah. Berbagai ajang pencitraan yang berlebihan, tendensi sikap yang diskriminatif terhadap golongan atau tokoh tertentu, serta berbagai upaya pemelintiran substansi pemberitaan pun kerap dengan mudah kita jumpai.

Masa pemilu presiden ini, terus terang menjadi masa paling galau pengelola newsroom di media massa. Dalam pengamatan sekilas saja, penonton dapat mengambil kesimpulan televisi mana yang paling sering menampilkan tokoh politik calon presiden. Juga tokoh politik mana yang “hilang” dalam pemberitaan televisi. Disengaja atau tidak, “menghilangnya” tokoh politik itu dalam pemberitaan menjadi fenomena yang unik. Betapa tidak, di saat masa pencalonan dan keingintahuan publik yang tinggi terhadap sepak terjang calon presiden yang tentunya berkorelasi dengan kenaikan jumlah penonton per hari publik tidak mendapatkan informasi yang maksimal calon pemimpinnya.

Di sisi lain, calon presiden yang di-endorsed oleh pemilik media massa, mendadak menjadi media darling. Semua tindak-tanduknya, gaya bicara dan latar belakangnya, dianggap layak dijadikan berita dan disampaikan ke publik.  Tiap hari ada kru televisi yang siap mengikuti kemana capres tersebut pergi, kampanye dan jumpa pendukung. Tiap program berita ada live report, walau kadang-kadang informasinya gak terlalu penting bagi masyarakat.

Bagi jurnalis yang bekerja di newsroom, news value yang menjadi penilaian penentuan berita layak dan tidak layak tidak lagi berlaku pada musim kampanye atau berita politik. News judgment itu hanya untuk berita non politik. Sisanya, ya masuk ke laut aja…

Dengan melihat fenomena ini, terasa terjadi kegamangan di antara jurnalis yang berada pada posisi pengambil keputusan di newsroom. Sisi idealisme yang mendarah daging dalam kehidupan seorang jurnalis, dihadapkan pada posisi yang perintah pemilik media massa untuk terang-terangan mendukung calon presiden. Sebenarnya, sah-sah saja media massa mendukung calon presiden atau punya pilihan politik tertentu. Asal pilihan dan kebijakan redaksi itu, diumumkan secara terang-terangan ke publik. Sehingga publik juga mengetahui jelas, posisi redaksional sebuah perusahaan media massa.

Apakah media darling bisa diubah? Tentu bisa. Karena tidak ada standar atau kesepakatan sosial yang mengatur. Ini lagi-lagi soal selera pemilik menjadikan seorang tokoh media darling, dengan pengaruh televisi yang kuat maka dengan mudah, media darling bisa menjadi public enemy.

Media darling adalah hasil dari bentuk demokrasi media  yang tidak sempurna karena peranan media yang terlalu besar dalam mengarahkan apa yang dipikirkan publik dan bagaimana memikirkannya. Oleh karena itu, publik perlu memahami fenomena ini secara kritis dan tidak gampang percaya.

Fenomena media darling ini mengingatkan pada teori agenda setting, salah satu teori efek media yang mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan  besar untuk membentuk pikiran orang atau publik. Apa yang dipikirkan media sama dengan apa yang dipikirkan publik. Ketika media memberitakan sosok capres yang dideskripsikan “tegas dan pemberani” secara positif dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi, maka publik akan memikirkan capres itu secara positif pula.

Dalam realitas sehari-hari, independensi ruang redaksi sudah mati suri, tak lagi bernas seperti yang diamanatkan dalam UU Pers No 40 tahun 1999 memberi kebebasan bagi media untuk menentukan sendiri isi yang disajikan pada khalayak.

Bahkan dalam aturan lain yang jelas seperti Undang-Undang Nomor 32/2002 tentang penyiaran pasal 36 ayat (4) menyebutkan bahwa isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu, serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS), yang menjadi acuan bagi penyelenggara siaran televisi wajib menjaga independensi dalam proses produksi program siaran jurnalistik, rasanya juga tak bisa dipungkiri perlahan-lahan tak kedengaran.

Sulit rasanya menyakinkan masyarakat bahwa kebebasan pers yang dimaksud dalam UU dan P3SPS masih ada sampat saat ini. Walau dengan berbagai cara semua pengelola newsroom atau pemilik televisi berusaha menyakinkan masyarakat, bahwa mereka tak pernah ikut campur tangan dalam perencanaan berita. Makin keras membantah hal itu, semakin yakin pula memang ada sesuatu yang disembunyikan.

Peran KPI

Dalam perspektif  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), apa yang bisa dimanfaatkan dari kondisi jauhnya netralitas dari pemberitaan politik di Indonesia?

Polarisasi dukungan politik yang sudah terjadi, tak perlu diratapi terus menerus. Dengan makin kuatnya konglomerasi media televisi, yang cenderung meremehkan, hak publik. KPI harus berperan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 11 UU Penyiaran, (1) Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik. (2) Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran.

Pelanggaran independen yang masih terjadi ini, tentu tidak bisa didiamkan begitu saja. Adalah kewajiban KPI untuk tetap memberikan peringatan kepada stasiun televise yang melanggar.

Jika para pemilik stasiun itu tidak bergeming, dan melakukan pelanggaran lainnya. Kami usulkan agar, melakukan tindakan balasan (resiprokal) yang cukup keras. Caranya, adalah mengkaitkan perpanjangan ijin penyelenggara siaran, yang diatur dalam Pasal 33 di UU No. 23 tahun 2002, dengan sikap bandel penyelenggara siaran yang tidak memperhatikan pelanggaran yang sering dilakukan. Makin sering diperingati, maka skor perpanjangan ijin penyelenggara siaran berubah menjadi makin berwarna “merah” atau skalanya jika 1-10, makin kecil.

Dalam Pasal 33 ayat 1 itu disebutkan, bahwa (1) Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran. Dan ayat 3 Pemberian izin penyelenggaraan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan minat, kepentingan dan kenyamanan publik.

Jika penyelenggara siaran itu, masih juga tidak mengindahkan tegurannya, proses perpanjangan ijin dapat dipertimbangkan sampai mereka mematuhi aturan yang sudah dibuat.

Mekanisme lain yang menurut saya dapat diterapkan, adalah memberikan denda yang cukup besar kepada penyelenggara siaran yang bandel sering melanggar aturan. Denda yang dimaksud bukannya, hanya berupa uang tunai, tapi membebankan kepada mereka untuk membuat Iklan Layanan Masyarakat (ILM) dan menayangkannya dalam jam-jam tayang utama di stasiun televisinya.

Percayalah, bahwa pemilik stasiun televisi sebetulnya tak begitu peduli dengan membayar denda pelanggaran. Tapi akan meradang tinggi ketika inventory iklannya dikurangi atau diambil oleh regulator, dengan alasan apapun. Harus ditekankan bahwa kelebihan utama dari televisi adalah bagaimana mereka dapat mempengaruhi afektif, kognitif dan behavioral pemirsanya. Maka kewajiban membuat dan menyiarkan ILM, menjadi tugas yang harus dipikul mereka mengembalikan kerusakan yang telah dilakukannya.

Pasal 1 ayat 7, UU No 32/2002, “Siaran iklan layanan masyarakat adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku sesuai dengan pesan iklan tersebut,”

Bagi saya, ILM sangat penting untuk membangun civic education dan tata krama yang selama ini sudah tergerus oleh budaya urban. Perilaku pengendara di jalan yang semau gue, tawuran, membuang sampah sembarang,  merusak fasilitas umum, adalah tema-tema yang bisa diwajibkan dibuat.

Masyarakat DKI Jakarta yang majemuk, biar bagaimanapun menjadi contoh perilaku yang sering ditiru oleh masyarakat daerah lainnya. Keberhasilan memberikan dorongan edukasi nilai-nilai moral, sosial dan kebijakan yang baik, perlahan-lahan akan menjadikan masyarakatnya lebih berbudaya dan bermartabat. KPI dan KPI Daerah bisa “memaksa” agar kewajiban penayangan ILM sebesar 10% jam dari 20% sesuai ketentuan dapat dijalankan oleh semua stasiun televisi dan radio.

Jadi penerapan denda membuat dan menyiarkan ILM kepada penyelenggara siaran, bukan lagi utopis namun bisa dilaksanakan. Ibarat pertandingan sepakbola, KPI harus bisa menjadi wasit yang kredibel dan berwibawa di lapangan. KPI memiliki sejumlah aturan yang dipakai untuk mengontrol dan memastikan jalannya pertandingan itu adil, enak ditoton dan menghibur.****

Hendrata Yudha, (Pengurus Pusat Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia/Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Mercu Buana)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA