Komisi XIII DPR:

Karya Cipta Miliki Banyak Fungsi untuk Peradaban

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/faisal-aristama-1'>FAISAL ARISTAMA</a>
LAPORAN: FAISAL ARISTAMA
  • Selasa, 26 Agustus 2025, 17:23 WIB
Karya Cipta Miliki Banyak Fungsi untuk Peradaban
Ketua Komisi XIII DPR Willy Aditya. (Foto: RMOL/Faisal Aristama)
rmol news logo  DPR menyoroti polemik seputar penarikan royalti musik yang gaduh belakangan ini. 

Ketua Komisi XIII DPR Willy Aditya, mengungkapkan bahwa karya cipta tidak boleh hanya dinilai dari aspek ekonomi semata, melainkan banyak aspek yang berkaitan.

“Kita jangan sampai terjebak. Karya cipta bukan hanya soal dihitung dengan uang, tetapi juga punya fungsi sosial, fungsi publik, dan fungsi kebudayaan yang menjadi instrumen untuk memajukan peradaban,” kata Willy dalam diskusi bertajuk “Akhiri Polemik Royalti, Revisi UU Hak Cipta Menjadi Solusi” yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 26 Agustus 2025.

Legislator Nasdem ini menuturkan, salah satu persoalan yang membuat masyarakat bingung adalah keberadaan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dalam jumlah banyak. 

Peraturan perundang-undangan memang membuka peluang siapapun membentuk LMK sehingga kini jumlahnya mencapai belasan. Kondisi tersebut akhirnya menimbulkan polemik. 

Willy lantas mencontohkan kasus rumah makan kecil yang harus membayar royalti hanya karena memutar musik.

“Itu kan sesat pikir. Ada warung kecil jualan Indomie lalu dipungut royalti karena memutar musik. Padahal, musik di situ hanya sekadar pengisi suasana agar tidak hening seperti kuburan. Hal-hal seperti ini yang harus diluruskan,” ucapnya.

Ia menyebutkan bahwa penarikan royalti kini sudah dipusatkan pada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). 

“Komisi XIII siap membahas (revisi UU Hak Cipta) bahkan kami sudah melakukan riset kecil untuk menyusun regulasi secara proporsional,” ujarnya.

Di sisi lain, Anggota Komisi X DPR Fraksi Gerindra, Ahmad Dhani, mengingatkan agar pemerintah lebih cermat dalam menafsirkan aturan terkait hak cipta. 

Ia menyoroti praktik lama yang menyebut Event Organizer (EO) sebagai pihak pengguna musik yang wajib membayar royalti.

“Dalam undang-undang sebenarnya yang diatur adalah pencipta dan penyanyi, bukan EO. Akibat tafsir yang keliru itu, para komposer kehilangan hak mereka selama bertahun-tahun. Padahal jika dihitung dari penjualan tiket konser sejak 2014, hak komposer bisa mencapai ratusan miliar,” ujar Ahmad Dhani.

Pentolan Grup Band Dewa 19 itu menegaskan bahwa revisi UU Hak Cipta ke depan harus mampu menghindarkan kekeliruan serupa.

“Kita harus hati-hati menafsirkan kata demi kata. Jangan sampai komposer kembali dirugikan. Bagi saya, pengguna yang dimaksud dalam UU Hak Cipta lebih tepat adalah penyanyi, bukan EO,” pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA