Pasalnya, pinjol terus mencatat pertumbuhan yang mencolok.
Berdasarkan catatan OJK per Maret 2025, outstanding pembiayaan dari fintech peer-to-peer (P2P) lending telah mencapai Rp80,02 triliun, meningkat hampir 29 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Marwan Cik Asan berpandangan, krisis yang lebih dalam mengintai di balik pertumbuhan ini yaitu keterjebakan finansial generasi muda akibat literasi keuangan yang tidak memadai dan penetrasi layanan keuangan digital yang terlalu agresif.
“Dalam konteks ini, peran OJK harus diperluas dan ditegaskan. Sebagai otoritas yang bertanggung jawab atas pengawasan industri jasa keuangan, OJK tidak cukup hanya menjadi regulator teknis," kata Marwan dalam keterangannya pada Senin, 19 Mei 2025.
Ia mengatakan, fakta menunjukkan bahwa mayoritas kredit macet berasal dari kelompok usia 19-34 tahun. Menurutnya, lebih dari 52 persen dari total kredit bermasalah senilai Rp2,01 triliun pada akhir 2024, berasal dari individu di rentang gen Z dan milenial tersebut.
Marwan menyebut, hal ini merupakan gejala sistemik dari kelemahan edukasi keuangan, regulasi yang belum sepenuhnya berjalan efektif, serta penetrasi layanan digital yang tidak diimbangi dengan perlindungan konsumen yang kuat. Menurutnya, fakta di lapangan menunjukkan implementasi dan pengawasan masih lemah.
"Meski OJK telah menetapkan serangkaian regulasi yang lebih ketat, seperti penurunan bunga pinjaman harian, pembatasan platform peminjaman, perlindungan terhadap penyalahgunaan data kontak darurat, dan larangan penagihan intimidatif," kata dia.
Atas dasar itu, Marwan berharap OJK harus mengambil posisi lebih proaktif sebagai pelindung publik, serta pengawasan yang tegas dan terukur, dan sanksi keras terhadap penyelenggara yang tidak patuh.
OJK, kata Marwan, perlu memastikan setiap penyelenggara memenuhi kewajiban administratif dan menjalankan prinsip-prinsip perlindungan konsumen secara substantif.
"Edukasi literasi keuangan digital tidak bisa lagi dianggap sebagai tugas tambahan. OJK harus menjadikannya sebagai agenda utama dan permanen, melibatkan kerja sama lintas sektor untuk menjangkau Gen Z sejak bangku sekolah," tuturnya.
Lebih lanjut, Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat itu pun mendorong pemerintah dari level pusat hingga daerah memperkuat instrumen perlindungan terhadap masyarakat dari praktik pinjol ilegal yang masih marak, terutama di wilayah-wilayah yang belum tersentuh layanan keuangan formal.
Menurutnya, banyak platform ilegal yang menawarkan kemudahan yang justru menjebak, memanfaatkan data pribadi, melakukan penagihan dengan kekerasan, hingga intimidasi secara daring.
Tak hanya itu, peran aparat penegak hukum sebagaimana telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) menindak pinjol ilegal dan pelaku penagihan yang melanggar hukum.
"Aparat penegak hukum harus lebih tegas, cepat, dan responsif terhadap laporan masyarakat. Perlu juga dibentuk satuan tugas lintas institusi yang secara khusus menangani pinjol ilegal dan memberikan perlindungan langsung kepada konsumen," kata Marwan.
Adapun, langkah pencegahan dan penindakan harus disertai dengan penyebaran informasi publik yang memadai. Pemerintah dan aparat hukum perlu secara aktif mempublikasikan daftar pinjol ilegal dan membuka kanal pengaduan terpadu yang mudah diakses masyarakat luas.
Marwan menyebut, ketegasan dari regulator, pemerintah, dan penegak hukum bukan semata demi menjaga stabilitas sistem keuangan, tetapi untuk melindungi masa depan finansial generasi muda Indonesia.
Marwan menambahkan, OJK, pemerintah, dan aparat penegak hukum harus memastikan bahwa inklusi keuangan tidak berubah menjadi ilusi yang menyengsarakan.
"Tantangannya tidak ringan, tetapi langkah awalnya jelas: menjadikan perlindungan konsumen sebagai prioritas utama dalam agenda keuangan digital nasional," tandasnya.
BERITA TERKAIT: