Dampaknya, nelayan di bawah 30 GT harus memasang VMS di kapal guna memperoleh rekomendasi BBM subsidi.
Merepons hal ini, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta KKP mengecualikan kapal di bawah 30 GT dari kewajiban VMS sebagai syarat memperoleh BBM subsidi.
“Ini memberatkan nelayan, maka kami meminta KKP mengecualikan kapal di bawah 30 GT dari kewajiban VMS sebagai syarat memperoleh BBM subsidi. Jika tetap diberlakukan, harus disediakan subsidi perangkat VMS atau mekanisme pendampingan," ujar Wakil Ketua Umum KNTI, Sugeng Nugroho, di Jakarta, Sabtu 17 Mei 2025.
Sugeng pun memaparkan kondisi anggota KNTI di Rembang, Jawa Tengah, yang ditolak perpanjangan rekomendasi BBM subsidi untuk melaut, karena tidak memasang VMS.
“Anggota kami di Rembang tidak bisa memperpanjang pengajuan BBM subsidi karena tidak ada VMS. Padahal syarat itu tidak tepat secara hukum maupun pertimbangan ekonomi,“ tuturnya.
Pertama, lanjut Sugeng, syarat itu tidak diatur eksplisit dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas maupun Perpres No.191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Kedua, persyaratan tersebut melanggar prinsip perlindungan nelayan pada UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, yaitu Pasal 4 bahwa Pemerintah wajib memberikan kemudahan akses terhadap BBM bersubsidi dan menjamin keberlanjutan usaha nelayan.
Dan ketiga, membebani kelompok rentan secara ekonomi karena harga perangkat VMS dapat mencapai Rp15–20 juta per unit, dengan biaya operasional tahunan sekitar Rp6 juta. Ini tidak sebanding dengan skala ekonomi kapal di bawah 30 GT.
Sementara itu, Ketua DPD KNTI Kabupaten Rembang, Eko S Waluyo menambahkan, keuntungan hasil tangkapan nelayan di Rembang tidak sebanding dengan biaya-biaya seperti operasional dan pelelangan.
“Nelayan pengguna mini purse seine umumnya mengoperasikan kapal berukuran 15-30 GT dengan 15-20 orang awak. Dalam satu trip selama 4–5 hari, hasil tangkapan yang diperoleh berkisar antara 15 hingga 70 basket ikan (1 basket setara dengan 40 kg). Hasil tersebut dilelang di pelabuhan-pelabuhan kecil seperti Pandangan, Sarang, dan Karanganyar," paparnya.
"Namun dengan biaya operasional Rp10-13 juta per trip dan sistem pembiayaan pelelangan yang masih bergantung pada pihak ketiga, keuntungan bersih yang diterima nelayan sangat terbatas. Bila hasil tangkapan buruk, pemilik kapal menanggung utang, dan AKP hanya membawa pulang sisa tangkapan yang minim," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: