“Jadi kalau mau jujur, pendapatan ojol itu masih jauh di bawah UMP (Upah Minimum Provinsi),” kata Jumhur saat dihubungi, Selasa malam (19/3).
Sementara, lanjut Jumhur, pendapatan mereka diambil sekitar 20-30 persen oleh pihak penyedia layanan ojek online alias aplikator.
“Masa sih duit segitu banyak, triliunan enggak dikembalikan sesuai porsinya kepada mereka (driver ojol), kan kebangetan banget,” tegas Jumhur.
Memang, status para pengemudi ojol di perusahaan aplikator tidak jelas. Namun demikian, secara logis mereka juga menjual tenaga untuk keuntungan aplikator.
Jika imbauan Kemnaker hanya dianggap angin lalu, dengan kata lain tidak dijalankan penyedia layanan, aktivis buruh ini menilai pihak aplikator sangat tidak Pancasilais.
“Enggak cocok hidup di bumi Pancasila, aplikator-aplikator itu. Lebih baik pergi saja dari Indonesia, sudah terlalu banyak menghisap tenaga driver ojol,” kata Jumhur geram.
Jumhur pun menyarankan agar para driver ojol menggeruduk kantor aplikator jika tidak mengindahkan imbauan dari Kemnaker untuk memberikan THR.
“Haruslah menggeruduk. Kita dukung itu. Jadi ojol jangan diam saja,” pungkas Jumhur.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker, Indah Anggoro Putri, mengimbau agar perusahaan transportasi online seperti Gojek dan Grab untuk memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) keagamaan kepada para drivernya.
Indah mengatakan, driver ojol memang bekerja dengan sistem kemitraan, tetapi masuk dalam kategori pekerja waktu tertentu (PKWT) sehingga berhak menerima THR.
"Ojek online termasuk yang kami imbau untuk dibayarkan (THR) karena masuk dalam kategori pekerja waktu tertentu," jelas Indah saat jumpa pers di Kemnaker, Jalan Gatot Subroto kav 51, Jakarta Selatan, Senin (18/3).
BERITA TERKAIT: