Istilah pembangunan coast guard diungkapkan oleh Capres Nomor Urut 3 Ganjar Pranowo dalam menyoroti terjadinya tumpang tindih dalam penegakan hukum di laut.
“Membereskan tumpang tindih itu harus dimulai dari pemimpin yang punya komitmen untuk membereskan yaitu pemimpin tertinggi, siapa itu? Presiden. Kalau kita bicara pertahanan di laut, maka sekian lembaga yang ngurus laut harus disatukan dalam sebuah wadah coast guard,” ungkap Ganjar saat debat ketiga di Istora Senayan, Jakarta pada Minggu malam (7/1).
Alhasil, polemik yang terjadi sejak 2008 terbentang kembali. Walaupun pada 2014 berkumandang visi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang poros maritim dunia, namun polemik ini tetap tak kunjung selesai hingga kini.
Menurut pemerhati maritim, Capt. Zaenal Arifin Hasibuan, sejak Undang-Undang Nomor 17/2008 Tentang Pelayaran mengamanatkan pembentukan Penjaga Laut dan Pantai atau Sea and Coast Guard yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Indonesia, sampai hari ini tidak ada kelanjutannya.
“Mengapa tidak pernah dibentuk? Kemungkinan karena ada instansi lain yang menginginkan agar coast guard tidak lewat Kementerian Perhubungan (Kemenhub),” kata Capt. Zaenal dalam keterangannya, Kamis (1/2).
Dia selanjutnya mengurai kronologis polemik berkepanjangan tersebut. Pada 17 Oktober 2014 Indonesia menerbitkan UU Nomor 32/2014 Tentang Kelautan. Saat itu masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hanya tersisa 3 hari sebelum pelantikan Jokowi pada 20 Oktober 2014.
“Di dalam UU 32/2014 disebutkan Bakamla bertanggung jawab kepada Presiden lewat Menteri yang mengurusi soal Kelautan (pasal 1 angka 14). Kepala Bakamla adalah Jenderal TNI Bintang 3, mulai dari Desi Albert Mamahit, Arie Soedewo, Achmad Taufiqoerrohman, Aan Kurnia, dan Irvansyah saat ini,” jelasnya.
Jebolan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) itu mengurap pada 8 Desember 2014 atau kurang dari 2 bulan, setelah diundangkannya UU 32/2014, di masa awal kepemimpinan Presiden Jokowi dikeluarkanlah Perpres 178/2014.
“Di dalam Perpres itu disebut bahwa Bakamla dikoordinasikan oleh Menko Polhukam. Menilik kecepatan terbitnya Perpres 178/2014 dalam waktu kurang dari 2 bulan, cukup menggambarkan bahwa pembentukan Bakamla sangatlah mendesak. Sejak saat itu Bakamla bertugas di perairan Indonesia dan menambah jumlah armada petugas yang ada di perairan Indonesia,” ungkap dia.
Capt. Zaenal yang pernah menjadi pengurus Indonesia National Shipowner’s Association (INSA) itu menyebut sekitar tahun 2016, Bakamla mulai menyematkan tanda sebagai Indonesian Coast Guard di lambung kapal miliknya.
“Di sinilah mulai ramai lagi terjadi perdebatan mengenai coast guard, karena di dalam UU 32/2014 dan Perpres 178/2014 tidak satupun menyebutkan bahwa Badan Keamanan Laut adalah Coast Guard Indonesia,” ungkapnya lagi.
“Sejak saat itu Indonesia mempunyai 2 badan yang mengklaim dirinya sebagai Coast Guard, yakni Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) dan Bakamla. Buat pelaku pelayaran niaga sebagai pengguna perairan Indonesia, hal ini makin membingungkan dan menakutkan lagi,” tukasnya.
Masih kata dia, pada 1 Maret 2022, Pemerintah menerbitkan sebuah peraturan bernama Peraturan Pemerintah Nomor 13/2022 Tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia.
“PP ini sebagai delegasi dari UU 32/2014 dan menyebut Bakamla sebagai badan yang melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan serta Gakkum di perairan Indonesia dan perairan Yurisdiksi Indonesia (pasal 1 angka 5),” ucapnya.
Capt. Zaenal menyatakan pada tanggal 15 dan 16 Juni 2023 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengusulkan revisi UU 32/2014 untuk bisa mengakomodir Bakamla menjadi Coast Guard Indonesia.
“Lalu diadakan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32/2014 tentang Kelautan, dimana di dalam salah satu usulannya adalah menghapus beberapa pasal di dalam UU 17/2018 khususnya berkenaan dengan pasal Coast Guard. Jelas ini
offside, dan melanggar UU Nomor 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan. Tidak bisa sebuah aturan kementerian mencoret aturan kementerian lainnya,” tegas dia.
Menurutnya, UU 17/2008 yang mengamanatkan pembentukan Coast Guard di Bab XVII tidak pernah dibuatkan aturan turunannya sama sekali karena berbagai sebab.
Sementara UU 32/2014 sudah dibuatkan aturan turunannya yaitu; Perpres 178/2014, Peraturan Pemerintah Nomor 13/2022, lalu pada Juni 2023 merevisi lagi UU 32/2014.
“Sampai saat ini Bakamla bukanlah penyidik, di perairan Indonesia. Kita hanya mengenal Penyidik Polri, Penyidik PPNS dan Penyidik TNI AL. TNI AL tidak menyelenggarakan pengadilan sesuai penjelasan pasal 9 UU 34/2004 Tentang TNI.
UU 34/2004 tentang TNI, pasal 47 ayat disebutkan ‘Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan’.
Dan di ayat 2 tertulis ‘Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung’.
“Karena belum dikategorikan di dalam UU TNI, apakah lalu prajurit TNI yang menduduki posisi di Bakamla harus mengundurkan diri atau pensiun dari TNI?” tanyanya.
Sambungnya, sampai tahun 2024, Kemenhub tidak pernah bisa melanjutkan usaha membentuk coast guard, Sementara Bakamla juga mentok tidak bisa berubah menjadi coast guard jika lewat jalur KKP.
“Indonesia terancam gagal mencapai mimpinya untuk menjadi poros maritim dunia karena tidak mampu melahirkan coast guard. Masalah coast guard bukanlah persoalan siapa yang ingin ditunjuk, tetapi masalah keberlangsungan ekonomi bangsa kepulauan ini,” tutup Capt. Zaenal.
BERITA TERKAIT: