Desakan tersebut muncul dari mantan Wapres Jusuf Kalla, PBNU, PP Muhammadiyah, Komnas HAM dan mayarakat secara umum telah menyatakan keberatannya.
Alasan umumnya pengumpulan massa dalam proses kampanye Pilkada berpeluang menjadi klaster penyebaran Covid-19 yang baru.
Terbaru Partai Amanat Nasional (PAN) juga meminta pemerintahan Joko Widodo membuka opsi penundaan Pilkada.
“Partai Amanat Nasional, pada prinsipnya memprioritaskan keselamatan dan kesehatan masyarakat, sehingga aspek inilah yang selalu melandasi kebijakan kita dalam menentukan arah pelaksanaan Pilkada serentak 2020â€, ujar Sekjen DPP PAN Eddy Soeparno, Rabu (23/9).
Menurutnya, dari sudut pandang kesehatan, penyebaran Covid-19 yang semakin merebak sangat mengkhawatirkan seluruh masyarakat Indonesia.
“Sehingga keputusan pemerintah dan DPR untuk tetap melaksanakan Pilkada pada tanggal 9 Desember yang akan datang, harus disertai protokol kesehatan yang sangat ketat dan mekanisme sanksi yang berat bagi semua pihak yang melanggar, khususnya paslon, tim pemenangan dan partai pengusungnya,†katanya.
Wakil Ketua Komisi VII ini mengatakan, paslon patut diberikan sanksi dengan diskualifiksi, jika memang terbukti melanggar protokol kesehatan yang telah ditetapkan.
“Namun demikian, kita perlu tetap membuka opsi untuk menunda pelaksanaan pilkada andaikata dalam beberapa waktu ke depan, penyebaran Covid 19 semakin marak,†ujarnya.
Pihaknya menambahkan, pelaksanaan pilkada jangan sampai memberikan risiko besar kepada seluruh masyarakat Indonesia dan harus bisa diubah dengan suatu kebijakan baru.
"Keputusan melaksanakan pilkada di bulan Desember hendaknya bukan harga mati dan bisa diubah jika risiko penyebaran virus Corona semakin merebak. Saya kira teman-teman parpol memiliki komitmen yang sama untuk melanjutkan proses Pilkada, namun tetap memprioritaskan aspek kesehatan masyarakat," tandasnya.
Eddy menambahkan, selain dari aspek kesehatan, pelaksanaan Pilkada di tengah-tengah pandemi juga akan mengurangi kualitas pesta demokrasi saat ini, khususnya jika partisipasi masyarakat rendah.
“Seorang kepala daerah akan memiliki legitimasi yang lemah untuk memimpin daerahnya jika partisipasi masyarakat di Pilkada tersebut hanya 20-30 persen saja misalnya,†tutupnya.
BERITA TERKAIT: