Fakta di atas menimbulkan persoalan serius dalam rekapitulasi penghitungan suara. Panjangnya rantai penghitungan sebagai konsekwensi pola berjenjang, yang setiap tingkatan memerlukan legitimasi formal melalui rapat resmi, mengakibatkan lamanya waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil akhir secara resmi.
Pada Pemilu 2019 ini, baik hasil Pileg maupun Pilpres memerlukan waktu lebih dari satu bulan.
Kalau disederhanakan, maka masalah proses penghitungan suara disebabkan oleh dua hal, yaitu persoalan yang terkait dengan persoalan teknis dan non teknis.
Persoalan teknis bersumber pada aktor-aktor politik, baik yang maju dalam Pilkada maupun Pileg. Bagi sejumlah politisi ada adagium yang sangat terkenal: "Usaha untuk mendapatkan suara yang sesungguhnya, bukanlah sebelum pencoblosan, akan tetapi sesudah pencoblosan."
Atau adagium lain yang menyatakan: "Kalau yang memetik itu yang menanam, kelasnya masih politisi biasa; akan tetapi jika bisa memetik tanpa menanam, barulah masuk kelas politisi luar biasa".
Cara pandang para politisi seperti ini berimplikasi terhadap strategi dan cara memperoleh suara untuk memenangkan kontestasi. Situasi inilah yang menimbulkan berbagai modus ilegal untuk mendapatkan suara baik sebelum maupun pasca pencoblosan.
Di antara modus yang sudah menjadi rahasia umum antara lain: Bermain pada penghitungan suara di tingkat TPS. Bermain di wilayah ini paling aman, akan tetapi memerlukan biaya tinggi. Itu sebabnya TPS-TPS di daerah terpencil atau TPS tanpa pengawas sangat rawan kecurangan.
Modus lain, bermain dengan oknum KPU di semua tingkatan. Suara bisa bertambah atau bekurang dengan menambahkan atau mengurangi nol pada digit terakhir, atau memindahkan suara caleg dalam satu partai, atau membeli suara yang hangus dari caleg atau partai yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan kursi. Bahkan menggantikan kotak suara pun bukan mustahil untuk dilakukan.
Fakta-fakta ini kemudian menimbulakan
distrust di kalangan para politisi sendiri, yang berimplikasi pada sulitnya menerima metoda penghitungan yang berbasis pada intrumen teknologi khususnya IT, karena dikhawatirkan bisa disalahgunakan secara mudah.
Sementara persoalan non teknis bersumber pada lembaga-lembaga servei yang bekerja untuk partai atau tokoh politik tertentu. Bagi partai politik maupun tokoh politik, lembaga survei kini menjadi instrumen yang sangat efektif untuk mempengaruhi dan mengarahkan persepsi publik.
Sementara bagi lembaga-lembagai survei, parpol dan politisi merupakan pasar yang sangat menggiurkan.
Di sinilah hukum ekonomi berlaku dimana supply dan
demand bertemu.
Bagaimana cara lembaga survei bekerja membantu politisi atau partai politik? Sebenarnya metoda yang digunakan oleh berbagai lembaga survei sampai saat ini masih statistik konvensional.
Metoda penelitian berbasis
big data sebenarnya jauh lebih akurat dan hasilnya bisa didapat dengan lebih cepat.
Berbagai perusahan yang berorientasi keuntungan ekonomi sudah banyak menggunakannya, seperti untuk keperluan analisa pasar atau untuk menyusun kebijakan perusahan.
Dengan kata lain dalam dunia bisnis, penggunaan metode statistik konvensional sebagaimana yang masih jadi andalan berbagai lembaga survei politik sudah di tinggalkan, baik dengan alasan tingkat akurasinya maupun kecepatannya.
Wilayah bermain lembaga-lembaga survei biasanya pada pemilihan sampel, urutan dan pola pertanyaan, kemudian wilayah
margin error, serta narasi penyampaian hasil survei ke publik.
Itulah sebabnya mengapa dalam memperkirakan perolehan suara partai papan tengah, sebagian besar lembaga servei mengalami kesalahan fatal. Kesalahannya bukan saja di atas
margin error, akan tetapi penyimpangannya bahkan mencapai 300 persen dari estimasi. Karena itu sejumlah partai yang diperkirakan tidak lolos ke DPR ternyata justru sangat aman.
Rendahnya kredibilitas kebanyakan lembaga servei terkait independen si dan imparsialitas inilah yang menjadi sumber persoalan ketika
quick count dilakukan.
Sementara lembaga survei membela diri hanya dari aspek keilmiahan metodologinya dan akurasi data-data yang dihimpunnya. Bahkan sejumlah penanggungjawab lembaga servei berani menantang publik untuk buka-bukaan dalam masalah ini. Sementara dalam masalah sumber dana dan nilai kontraknya disembunyikan dan ditutup rapat-rapat.
Menyadari lebarnya wilayah permainan dan mahalnya biaya saksi untuk mengawal suara, di mana hampir semua caleg atau kandidat kepala daerah tidak mungkin menanggungnya. Karena itu relawan menjadi andalan untuk mengamankannya.
Untuk menjaga moral para relawan ini agar tetap bersemangat mengawal suara sampai tuntas, para kandidat harus melakukan berbagai manuver.
Di antara manuver yang diyakini efektif adalah mengingatkan adanya ancaman kecurangan dari pihak lawan dan mengklaim kemenangan sedini mungkin.
Untuk mengatasi masalah ini agar tidak terus berulang, maka KPU perlu dibangun sistem penghitungan suara berbasis TPS. Dengan demikian kita akan mendapatkan hasil perhitungan berbasis
real count bukan
quick count.
Di era kemajuan teknologi digital, khususnya terkait IT yang berbasis internet, hal ini sangatlah mudah dilakukan. Analoginya adalah bagaimana nasabah bank yang bisa mengambil uang di semua ATM tanpa khawatir keliru atau kehilangan. Kuncinya adalah pada
single identity number yang bisa dikembangkan dari KTP-el.
Kekhawatiran adanya permainan bisa diatasi dengan cara audit algoritma dan program yang digunakan dengan melibatkan para pakar yang berasal dari perguruan tinggi.
Selanjutnya sejumlah perguruan tinggi yang memiliki keunggulan di bidang ini juga dilibatkan dalam memantau hasilnya pemilu dengan cara sharing data. Dengan demikian, bila ada data masuk yang mencurigakan, langsung, bisa ditelusuri sampai dengan hulunya berupa data di TPS.
Untuk keperluan ini tidak perlu biaya besar dan tidak perlu waktu panjang, sehingga Pemilu 2024 mendatang sudah bisa digunakan. Asal KTP-el sebagai basis
single identity number bisa dituntaskan. Dengan demikian pencoblosan dapat dilakukan melalui gawai, iPad, atau komputer dimana saja, selain tempat pencoblosan konvensional.
Masalahnya sekarang apakah ada kemauan dari semua pihak, khususnya anggota parlemen dan partai-partai politik sebagai pemangku kepentingan.
Dengan kata lain, menyelesaikan masalah teknis sebenarnya tidaklah sulit, yang sulit bagaimana mengubah budaya
distrust menjadi budaya trust.
Pengamat Politik Islam dan Demokrasi