Pengamat: Strategi Kampanye Demokrat Cerdik Tapi Rawan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Senin, 12 November 2018, 16:51 WIB
Pengamat: Strategi Kampanye Demokrat Cerdik Tapi Rawan
rmol news logo . Arahan Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) agar calon legislasi Demokrat mengkampanyekan prestasi pemerintahan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tergolong cerdik, tetapi rawan mendapatkan serangan lawan.

Demikian disampaikan pengamat politik yang juga Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin dalam keterangan tertulis kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (12/11).

"Strategi yang diformulasikan oleh Partai Demokrat itu sebetulnya bagus. Mereka dan juga parpol-parpol yang lain tentu perlu mencari cara untuk melepaskan diri dari situasi pelik Pemilu serentak," kata Said.

Ketika Pilpres sesama parpol koalisi perlu saling mendukung dan menjadi kawan guna meraih kursi eksekutif, di Pileg mereka justru harus saling bersaing sebagai lawan untuk memperebutkan kursi legislatif.

"Nah, itu kan situasi yang rumit bagi parpol koalisi, terutama bagi parpol yang tidak berhasil mendudukan kadernya sebagai calon presiden atau calon wakil presiden," ujar Said.

Dari sejumlah hasil survei setidaknya tergambar bahwa parpol-parpol itu, termasuk Partai Demokrat, tidak menerima tetesan "presidential effect". Hanya PDIP di koalisi Jokowi-Ma'ruf dan Partai Gerindra di kubu Prabowo-Sandi yang mendapatkan benefitnya.

Atas alasan itulah Said menilai Demokrat merasa perlu merancang strategi tersendiri, yang mereka nilai akan efektif untuk memperbesar peluang meraup lebih banyak kursi di pemilu legislatif.

Beruntung, Demokrat pernah punya pimpinan partai yang menjadi penguasa selama 10 tahun. Maka pencapaian di era SBY itulah yang mereka akan pakai untuk memengaruhi pemilih pada masa kampanye.

"Sudah barang tentu, hanya pencapaian-pencapaian terbaik dari SBY saja yang akan mereka ingatkan kembali kepada pemilih, guna dibandingkan dengan kinerja pemerintahan saat ini," sebut Said.

Sayangnya, tidak semua parpol yang tergabung dalam dua koalisi bisa meniru siasat Demokrat. Sebab, parpol-parpol itu tidak pernah punya kader yang menjadi Presiden.

Memang ada Soeharto yang prestasinya bisa juga dijual oleh Partai Golkar dan Partai Berkarya. Tetapi Golkar jelas tidak mungkin menawarkan pencapaian Soeharto kepada pemilih. Sebab, pemimpin koalisi dari kubu petahana justru penentang utama Soeharto.

Prestasi Soeharto tampaknya juga tidak akan berhasil ditawarkan oleh Partai Berkarya, sebab Soeharto bukan kader partai itu. Hanya kebetulan saja ada irisan trah disana. Lagipula, merujuk hasil survei, masyarakat seperti belum lagi rindu dengan masa Orde Baru.

Namun demikian, lanjut Said, sekalipun strategi kampanye Demokrat terbilang cerdik, tetapi gagasan itu memiliki celah yang bisa digunakan oleh pihak lain untuk membenturkan Demokrat dengan Prabowo.

Publik tentu masih ingat, selama 10 tahun kepemimpiman SBY, Prabowo dan Gerindra secara konsisten mengambil peran sebagai oposisi. Jejak digital yang menggambarkan Prabowo dan Gerindra pernah menampik program-program SBY masih sangat mudah ditemukan.

"Nah, ketika Demokrat kini hendak menjual pencapaian SBY, perbedaan pandangan yang pernah mengemuka diantara SBY dan Prabowo atau Demokrat dan Gerindra bisa saja di-'blow up' kembali oleh pihak-pihak tertentu untuk membenturkan teman sekoalisi itu," papar Said.

"Tetapi hal tersebut saya kira bukan menjadi persoalan besar, sebab dalam iklim pragmatisme politik saat ini, problem semisal itu juga dialami oleh banyak partai yang lain: dulu lawan, sekarang teman, atau sebaliknya," lanjutnya.

Menurut Said, seandainya di awal pembentukan koalisi, parpol-parpol yang membangun kesepakatan untuk mendukung capres-cawapres juga menyepakati format kerjasama politik untuk pileg, maka strategi yang dirumuskan oleh Demokrat itu sebetulnya menjadi tidak perlu.

"Oleh sebab itu, pengalaman pertama di Pemilu serentak 2019 ini saya kira penting untuk dijadikan pelajaran oleh partai-partai politik untuk memperbaiki format kerjasama politik mereka di pilpres sekaligus di pileg. Kalau pemilu-nya serentak, kerjasamanya juga tentu perlu dilakukan serempak untuk dua pemilu," tutupnya. [rus]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA