Menurutnya, ada kemungkinan DPR juga menyerap aspirasi dari berbagai sumber yang mungkin lebih besar dari pemerintah, yang dalam hal ini Ditjen Cipta Karya dan Ditjen Sumber Daya Air Kementerian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
"Saya kurang yakin betul bahwa itu murni hanya dari inisiatif DPR. Pasti DPR juga menyerap aspirasi dari berbagai sumber yang mungkin sumbernya lebih besar dari pemerinta," ujar Tigor dalam keterangan tertulis, Kamis (8/11).
Diyakini ada masukan-masukan yang didapatkan DPR dari berbagai sumber yang menjadi dasar mereka ketika menyusun RUU SDA. Karena kalau dilihat dari bahasannya ini, sudah sangat teknis.
"Jadi kalau hanya dari segi politisi, barangkali saya agak mempertanyakan. Jadi ini sebetulnya ada tim DPR yang di belakangnya walaupun kita tidak tahu tim ini datangnya dari mana," tuturnya.
Tigor melihat adanya kepincangan dalam draf RUU SDA ini. Misalnya soal pembahasan air minum dan air limbah. Di RUU SDA, itu sangat pincang dibahas.
"Jadi bagaimana menyatukan air limbah dan air minum, dan di hulunya menjadi sumber daya air. Ini sebetulnya di dalam RUU SDA belum keluar," ujarnya.
Begitu juga soal air perpipaan dan air minum dalam kemasan (AMDK) yang ada dalam RUU SDA, Tigor mengatakan bahwa dalam usulan pemerintah sebetulnya sudah dijelaskan bahwa ada dua klasifikasi penyediaan air untuk masyarakat, yaitu melalui air perpipaan untuk kebutuhan pokok dan AMDK sebagai gaya hidup atau life style.
"Sepatutnya harus dipisahkan mengingat yang satu untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan satunya untuk gaya hidup. Kalau itu menjadi satu dengan klausul RUU seperti sekarang, maka dunia usaha akan mengalami kesulitan khususnya yang terkait dengan penggunaan air," ucapnya.
Selain itu, terkait dengan keterlibatan BUMN, BUMD, dan BUMDes untuk mengelola AMDK, pemerintah juga tidak sepakat. Menurut Tigor, dalam dokumen Daftar Inventaris Masalah (DIM) kepada DPR terkait pembahasan RUU SDA, pemerintah mengusulkan agar lembaga-lembaga itu dilibatkan hanya untuk penyediaan air minum perpipaan.
Masih dalam keterangan yang diterima redaksi, ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri berpendapat, RUU SDA sebaiknya lebih difokuskan kepada pengelolaan air minum. Karena dia melihat adanya manajemen yang salah dalam pengelolaan air minum selama ini. Dia mencontohkan, dengan potensi sumber daya Indonesia sebesar 3,9 triliun meter kubik per tahun, yang telah dapat dikelola baru mencapai sekitar 691 miliar meter kubik atau 18 persen dari potensi.
"Jadi ada potensi yang belum termanfaatkan sekitar 3,2 triliun meter kubik per tahun atau 82 persen dan itu terbuang ke laut dengan percuma. Menurut saya, masalah yang dihadapi hingga saat ini adalah jeleknya manajemen air kita," ungkapnya.
Faisal melihat kebutuhan terhadap air saat ini lebih cepat daripada mengelola airnya, sehingga memicu kelangkaan air daerah. "Lantas yang disalahkan pengusahaan air dan dikambinghitamkan. Padahal penggunaan air oleh mereka itu hanya dua persen saja," ucapnya.
Sementara itu, Fani Wedahuditama dari Global Water Partnership South Eas Asia, mengatakan draft RUU SDA tersebut dinilai belum menjamin hak asasi manusia atas air seperti sanitasi dan akses terhadap air bersih, sebagaimana diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi; tertuang dalam Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan menjadi target Sustainable Development Goals (SDG).
Saat ini, sebanyak 70 juta jiwa penduduk belum memiliki akses kepada layanan sanitasi layak dan 30 juta orang Indonesia masih buang air sembarangan (BABS) di dunia setelah India (Data JMP 2017).
Draft RUU SDA juga dinilai belum cukup mengakomodir Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat. Sampai saat ini, tercatat sekitar 12.254 sistem air berbasis masyarakat yang dibangun lewat program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) yang melayani sekitar 15,6 juta penduduk Indonesia yang tersebar di 33 provinsi dan 365 kabupaten.
Tahun 2020 direncanakan terbangun 20.000 SPAM, dengan target 22,1 juta jiwa terlayani air minum yang aman. Perhitungan tersebut diluar SPAM yang dibangun diluar proyek PAMSIMAS. Dalam RPJMN 2015-2019 bahwa sistem berbasis masyarakat diproyeksikan untuk melayani sampai 60 persen penduduk Indonesia dan sisanya akan terlayani melalui sistem perpipaan PDAM.
[rus]