Ma'ruf Amin Jadi Cawapres Jokowi, Intoleransi Di Indonesia Makin Meningkat?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Jumat, 24 Agustus 2018, 10:53 WIB
Ma'ruf Amin Jadi Cawapres Jokowi, Intoleransi Di Indonesia Makin Meningkat?
Jokowi dan Ma'ruf Amin/Net
rmol news logo Dipilihnya Ma'ruf Amin sebagai bakal calon wakil presiden mendapingi calon petahana, Joko Widodo merupakan indikasi meningkatnya intoleransi beragama di Indonesia.

Begitu analisa Toru Takahashi, Editor Nikkei Asian yang dipublikasikan pekan ini.

Dalam artikelnya dia mengutip pernyataan Ginandjar Kartasasmita dalam kunjungannya ke Jepang Juli lalu yang mengatakan bahwa kemungkinan besar Jokowi akan terpilih kembali dalam pemilu 2019 mendatang. Jokowi dinilai memiliki dukungan yang kuat seperti Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.

Namun pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, siapa yang akan menjadi wakilnya? Karena wakil presiden yang terpilih di tahun 2019 mendatang merupakan sosok potensial untuk maju sebagai calon presiden di pemilu 2024.

Pertanyaan itu pun terjawab di tanggal 9 Agustus kemarin ketika Jokowi memilih Ketua MUI Ma'ruf Amin sebagai wakilnya untuk maju ke pilpres 2019.

Namun dipilihnya Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presidennya agak mengkhawatirkan. Human Rights Watch (HRW), sebuah organisasi non-pemerintah internasional, mengatakan Ma'ruf Amin telah memainkan peran kunci dalam menindas minoritas agama dan minoritas seksual. HRW memperingatkan bahwa hak asasi manusia di Indonesia mungkin dalam bahaya.

"Saya seorang nasionalis. Dia (Ma'ruf Amin) adalah figur agama yang taat. Kami saling melengkapi dengan baik," kata Jokowi ketika menjelaskan alasannya memilih Ma'ruf Amin sebagai pendamping.

Di sebagian besar negara, kaum nasionalis biasanya dianggap sebagai sayap kanan. Namun di Indonesia tampaknya nasionalis berada di tengah jalan.

"Indonesia adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang telah berjuang dalam perang kemerdekaan, dan ingatannya masih bertahan dalam bentuk nasionalisme," kata profesor di Sekolah Pascasarjana Universitas Asia-Pasifik Waseda University di Tokyo, Ken Miichi dalam artikel yang dipublikasikan Nikkei Asian Review tersebut.

Muslim konservatif, mulai dari moderat hingga ekstrimis, dianggap sayap kanan di Indonesia.

Jokowi milih Ma'ruf Amin kemungkinan krena kontroversi yang mengguncang kepemimpinannya.

Diketahui bahwa setelah mengundurkan diri sebagai gubernur Jakarta pada tahun 2014 untuk mengambil kursi kepresidenan, Jokowi menyerahkan kendali kepada Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang adalah seorang etnis Tionghoa dan Kristen.

Dengan kaya khasnya yang blak-blakkan, pada bulan September 2016, Ahok memicu kontroversi karena ucapannya di Kepulauan Seribu yang dinilai menistakan agama Islam.

Kontroversi itu kemudian berujung pada kecaman nasional dan turunnya 200 ribu orang ke jalanan di Jakarta untuk melakukan protes.

Ahok akhirnya kalah dalam pemilihan gubernur bulan April 2017. Dia juga dinyatakan bersalah melakukan penodaan agama dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara.

Kejatuhan Ahok menciptakan pukulan serius bagi Jokowi yang agak sekuler. Partai-partai oposisi menyatakan bahwa agama bisa menjadi masalah di pemilu mendatang,

Di sisi lain, Prabowo Subianto muncul dan diperkirakan menggunakan kelemahan Jokowi untuk memenangkan suara.

Karena itulah, Ma'ruf Amin yang memiliki pengaruh pada mayoritas umat Muslim di Indonesia diperkirakan akan berfungsi sebagai "perisai" yang sangat kuat terhadap serangan agama dari kubu oposisi terhadap Jokowi.

Namun hal ini bukanlah pertanda baik. Pasalnya, analis dari Eurasia Grop yang merupakan perusahaan riset berbasis di Amerika Serikat, Peter Mumford memprediksi bahwa pencampuran agama dan politik akan tumbuh lebih kuat di Indonesia.

Mengingat usianya, Amin tidak mungkin mencalonkan diri dalam pemilihan presiden setelah pilpres 2019, tetapi perannya sebagai calon raja masa depan tidak dapat diremehkan.

Skandal Ahok mau tak mau telah meningkatnya intoleransi agama di Indonesia. Sebuah survei 2017 yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia, menemukan bahwa 49,1% responden menentang pemimpin non-Muslim di pemerintahan. Angka ini naik tajam dari 32,4% dalam survei 2010 yang serupa.

"Politik identitas Indonesia sekarang berada di persimpangan jalan; antara Islam yang berpikiran terbuka sesuai dengan modernisasi dan Islam yang berpikiran sempit dan eksklusif," kata rektor Universitas Prefektur Kumamoto dan seorang ahli di Asia Tenggara, Takashi Shiraishi.

Di saat banyak negara Asia Tenggara menjadi lebih otoriter, terutama Thailand, Filipina dan Kamboja, Indonesia telah mengalami demokratisasi yang stabil. Tetapi intoleransi beragama mulai membanjiri kondisi negara saat ini dan itu adalah pertana buruk.

Islam radikal, yang dulunya tetap dikecualikan dari politik, telah mengambil keuntungan dari kebebasan yang tumbuh di Indonesia untuk secara bertahap merusak demokrasi, menempatkan negara dalam posisi yang tidak menyenangkan dan ironis. [mel]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA