Benarkah NU Merasa Ditipu?

Pengganti Hasyim & Khofifah Bukan Dari NU

Senin, 29 Januari 2018, 11:14 WIB
Benarkah NU Merasa Ditipu?
Foto/Net
rmol news logo Masuknya Agum Gumelar menggantikan Hasyim Muzadi dan Idrus Marham yang menggantikan Khofifah ndar Parawansa ke stana dipersoalkan. Salah satu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merasa dua tokoh itu bukan perwakilan Nahdlatul Ulama. Apa benar NU ditipu?

Agum masuk ke kabinet menggantikan Hasyim Muzadi yang telah wafat sebagai Wantimpres. Hasyim merupakan mantan Ketum PBNU. Sedangkan drus menggantikan Khofifah ndar Parawansa yang ikut dalam pertarungan Pilgub Jawa Timur 2018 sebagai mensos. Khofifah adalah petinggi Muslimat NU. Hasyim dan Khofifah bisa dibilang sebagai representasi kalangan NU. Bisa saja, beberapa pihak berharap pengganti keduanya juga merepresentasikan organisasi Islam terbesar di Indonesia ini.

Presiden pun telah menjatuhkan pilihan kepada Agum dan Idrus. Namun, keduanya dianggap tidak merepresentasikan kalangan NU. Sekretaris embaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) PBNU, Djoko Edhy Abdurahman menyebut, Presiden menipu PBNU karena jabatan itu, utamanya Wantimpres sebagai jembatan komunikasi umat. "Ya ditipu, kami bukan hanya kecewa, marah. Dulu, waktu aksi 212, 414, kalau PBNU nggak pasang badan, Jokowi sudah game over. Kok tiba-tiba balasannya begini. Itu kursi (Watimpres) bukan minta, tapi itu kursinya PBNU dari zaman dulu, untuk menyampaikan kepada Presiden langsung," ujar Djoko saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, tadi malam.

Diceritakan Djoko, pada era SBY salah satu personil Wantimpres ditempati Ma'ruf Amin yang kini Rois Aam PBNU. Kemudian, di era Jokowi kursi itu beralih ke Hasyim hingga meninggak Maret 2017. Kursi itu pun kosong. Sejurus kemudian, PBNU mengajukan nama tokoh NU, KH Achmad Bagja menggantikan Hasyim. Namun, nama itu tidak muncul saat pelantikan. Jokowi malah memilih Agum Gumelar.

Bagi Djoko, posisi politik Wantimpres sangat penting bagi PBNU. Dulu, namanya Dewan Pertimbangan Agung (DPA), kini telah berganti dan populer dengan nama Wantimpres. "Ini adalah badan eksekutif garis ke samping, yang memberikan masukan kepada Presiden. DPP adalah badan yang menampung masalah strategis masyarakat yang disampaikan langsung kepada Presiden," tegasnya.

Bukan Agum saja yang dipersoalkan. Idrus Marham juga dipersoalkan Djoko. Dia menyebut, meski Idrus pernah mengurusi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), tapi Idrus tidak berhubungan dengan PBNU, melainkan lebih ke Partai Golkar.

Untuk itu, Djoko mengatakan bukan tidak mungkin PBNU akan melakukan reposisi dukungan terhadap Jokowi. Alasannya, ada empat faktor yang dianggap telah merugikan PBNU. Pertama, kepentingan strategis PBNU tak mampu dilindungi oleh Jokowi. Kedua, komitmen PBNU dengan Jokowi wanprestasi.

"Yang mestinya take and give, minimal tidak ditipu seperti itu. Selama ini PBNU telah bersedia menjadi bemper ketika Jokowi diserang 17 ormas Islam, baik di 411 maupun 212, sehingga PBNU dimusuhi. Jokowi membalas susu dengan tuba," katanya. Ketiga, dengan digusurnya PBNU dari Wantimpres untuk mewakili dan menyampaikan aspirasi 92 juta umat nahdliyin, menunjukkan PBNU di rezim Jokowi hanya pelengkap penderita yang sebelumnya penafsir dan penyampai wahyu rakyat.

Keempat, PBNU dilecehkan. Rois Aam dan Ketum PBNU hanya disuruh menjaga Pancasila versi Rezim Jokowi, disuruh berkelahi dengan 17 Ormas Islam, dikandangin di UKP-PIP yang derajatnya hanya unit di pemerintahan. "Itu pelecehan luar biasa,"  pungkasnya.

Namun, pendapat berbeda disampaikan Wasekjen PBNU, Hery Haryanto Azumi. Dia membantah keras jika itu pendapat PBNU secara organisasional. "Itu pernyataan pribadi beliau (Djoko Edhy Abdurahman), tidak mencerminkan sikap resmi NU," tegas Hery kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.

Soal reshuffle, Hery menilai itu hak prerogatif Presiden. Apapun pilihan Presiden harus diapresiasi. Tidak hanya itu, dia juga menganggap sosok Idrus bisa dibilang kader NU tulen 24 karat. Hanya saja, pengabdiannya melalui Partai Golkar.

"Jadi kami tidak khawatir dengan loyalitas ideologi beliau. Ke depan saya yakin beliau akan membangun komunikasi yang baik dengan PBNU," katanya.

Menurutnya, Ketum PBNU dan Rais Aam PBNU telah menunjukkan dukungan yang sangat serius kepada Presiden Jokowi dalam menjalankan program-program pro-rakyat. Misalnya, pengembangan ekonomi syariah dan kemitraan pengusaha besar dengan pengusaha kecil dalam pemberdayaan ekonomi umat. "Program-program seperti inilah yang harus dikonkretkan sampai 2019 sehingga memberikan manfaat besar bagi segenap rakyat Indonesia," pungkasnya.

Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno menduga komentar bernada miring ini sengaja digulirkan untuk mengadu domba antara Jokowi dengan PBNU.

"Analisisnya asal tembak, asal kena, alias asal-asalan. Saya menduga, sekali lagi menduga, (Djoko Edhy) telah berafiliasi dengan kekuatan di luar jaringan pendukung Pak Jokowi. Dia sepertinya akan gembira apabila Presiden dan PBNU berjarak, atau bisa diadu domba," ujar Hendrawan kepada Rakyat Merdeka.

Hendrawan menjelaskan, Jokowi termasuk sebagai warga NU, dekat dengan NU dan pengagum berat Gus Dur dan Gus Mus.

"Presiden sangat menaruh hormat kepada ulama, bahkan menetapkan Hari Santri Nasional. Cukup banyak pembantu utamanya adalah nahdliyin,"  katanya.

Tidak hanya itu, Hendrawan juga menuturkan NU bukan organisasi yang haus akan kekuasaan atau bersikap hitung-hitungan apalagi transaksional. Menurutnya, NU adalah kekuatan pemersatu dan pencerah bangsa, kekuatan transformasional.

"Sayang kalau direduksi sikapnya secara simplistik. Seakan-akan, sikapnya hanya fungsi dari iming-iming atau perolehan jabatan semata," jelasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA