Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengapa Achandra Mendesak Pertamina Soal Blok East Kalimantan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yusri-usman-5'>YUSRI USMAN</a>
OLEH: YUSRI USMAN
  • Senin, 02 Oktober 2017, 06:43 WIB
<i>Mengapa Achandra Mendesak Pertamina Soal Blok East Kalimantan</i>
Yusri Usman/Net
UPAYA  tergesa-gesa Wakil Menteri ESDM Achandra Tahar seperti dikatakanya pada Jumat (23/9) untuk segera melelangkan blok migas East Kalimantan yang sudah berproduksi hampir 50 tahun dikelola oleh Chevron Indonesia Company, yang akan berakhir kontrak PSC pada 24 Oktober 2018 perlu dipertanyakan. Sesungguhnya untuk kepentingan siapa?

Kalaulah alasannya kebijakan ini untuk kepentingan menjaga ketahanan energi nasional, tentu kenyataan bertolak belakang karena telah mengesampingkan peranan hak Pertamina.

Sejalan dengan itu, perlu juga diketahui adanya penegasan Achandra di depan rapat dengar pendapat (RDP) DPR pada 10 juli 2017 telah mengatakan Pertamina sudah menyampaikan hasil kajian bahwa blok tersebut tidak ekonomis dengan mengunakan skema "gross split" .

Akan tetapi, anehnya setelah Achandra pada awal september 2017 mengubah Permen ESDM 8/2017 menjadi Permen ESDM 52/2017 tentang Revisi Gross Split agar bisa lebih menarik investor berinvestasi di sektor hulu. Maka secara akal sehat, seharusnya dengan adanya ketentuan baru itu, Achandra selayaknya memberikan kesempatan lagi kepada Pertamina untuk mengkaji ulang keekonomiannya. Tetapi faktanya, hal ini tidak dilakukan walaupun Pertamina sudah minta tambahan waktu tiga bulan lagi. Pertanyaannya adalah revisi "gross split" itu untuk kepentingan apa dan untuk siapa?

Adapun fakta ketidakberpihakan Kementerian ESDM kepada Pertamina sejak awal juli 2017 sudah terlihat dengan sikap Achandra yang terkesan sudah mengancam Pertamina untuk segera mengembalikan blok tersebut dari delapan blok migas yang akan dikelola oleh Pertamina.

Asal tahu saja, Pertamina melalui Direktur Hulu Syamsu Alam sudah minta tambahan waktu untuk melakukan kajian keekonomian lapangan secara hati-hati untuk menganalisa dampak resiko kerugian terkait adanya biaya pemulihan lapangan (Abendonment Site Restoration/ASR) pasca produksi yang seharusnya merupakan kewajiban operator lama sekarang disyaratkan menjadi kewajiban Pertamina. Kalau menurut Pertamina apabila semua biaya itu dibebankan akan menjadi kurang ekonomis, maka atas dasar itulah untuk menghindari resiko rugi perlu waktu mengkaji lagi, bahkan bisa jadi dengan revisi konsep "gross split " yang baru menjadi ekonomis.

Padahal biaya pemulihan lapangan (ASR) itu sudah termasuk dalam WP & B dari Plan of Develoment ( PoD) setiap lapangan dikomersilkan dan merupakan kewajiban negara yang sudah menikmati hasil produksi dari lapangan tersebut untuk membiayainya dengan skema "cost recovery", sehingga kalau mewajibkan Pertamina adalah sebuah dagelan mengada-ngada.

Seandainya benar Wamen ESDM Achandra peduli terhadap program ketahanan energi nasional sesuai kebijakan Presiden, maka seharusnya menugaskan Pertamina mengelola blok tersebut dengan melakukan beberapa  simulasi keekonomian yang harus bisa ekonomis, termasuk bila perlu mengurangi bagian negara, toh Pertamina juga perusahaan miliknya negara.

Namun kebijakan itu tidak dilakukan, sementara sikap Pemerintah sangat berbeda dibandingkan terhadap tujuh jenis industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku dan energi dengan sangat peduli mencari jalan harga gas dihulu bisa di bawah 6 dolar AS per MMBTU dengan mengadakan rapat koordinasi di Kementerian Perekonomian pada 16 November 2016. Tetapi problem yang hampir sama kepada Pertamina, PGN dan PLN terkesan diabaikan.

Bahkan Achandra terkesan lebih berpihak kepada KKKS asing daripada PGN dengan merevisi harga jual gas dari Conoco Philips Grissik dari blok Coridor kepada PGN pada tanggal 31 juli 2017 sesuai surat Menteri ESDM 5882/12/MEN.M/2017 dari harga jual 2,6 dolar AS per MMBTU menjadi 3,5 dolar AS per MMBTU dengan alasan supaya menjaga "fairness" bisnis migas hulu, mindstream juga untuk meningkatkan penerimaan negara. Akan tetapi akibatnya PGN babak belur tidak boleh menaikkan harga jual gas kepada PT PLN , IPP, dan konsumen lainnya di Batam.

Sehingga kalau kebijakan Kementerian ESDM seperti ini, maka menjadi tak salah kalau PLN akhirnya mencari jalan sendiri untuk berhubungan langsung dengan sekelas trader di Singapore mencari LNG untuk kebutuhan PLTGU wilayah Kepulauan Riau.

Maka akan menjadi tak salah juga kalau publik menilai aneh selama ini Pemerintah telah menugaskan Pertamina dan PGN di luar negeri mencari lapangan migas untuk menjaga ketahanan energi nasional adalah suatu pencitraan yang konyol, sementara ada potensi lapangan produksi di dalam negeri yang tingkat resiko gagalnya rendah malah diserahkan kepada pihak lain.

Ibarat kata "kambing kurus di negeri orang dikejar kejar, sapi gemuk di halaman sendiri disajikan untuk disantap oleh tamunya".

Mungkin saja Achandra belum tahu ataupun tidak mendapatkan informasi dari bawahannya terkait adanya Blok B dan Blok NSO Aceh milik Exxon Mobil bisa diserahkan kepada Pertamina secara "gratis" pada bulan November 2015, padahal kontrak blok tersebut kontrak PSC tersebut baru akan berakhir pada Oktober 2018, tanpa dibebankan biaya pemulihan lapangan (ASR) kepada Pertamina karena Exxon Mobil terlanjur sudah dibayar oleh Pemerintah sebesar USA 250 juta dari temuan audit BPK.

Ketidaktahuan Achandra bisa dipahami karena keberadaannya di Indonesia baru dipertengahan tahun 2016 ketika saat itu dilantik jadi Menteri ESDM setelah puluhan tahun berdomisili di Amerika.

Maka di akhir tulisan ini, saya masih berharap Kementerian ESDM terkhusus Bapak Achandra Tahar yang sangat saya hormati untuk berkenan bisa meninjau ulang kebijakannya untuk tidak melelangkan blok East Kalimantan tersebut, karena dunia akan menertawakan kita bagaimana mungkin Pertamina tidak bisa efisien mengelola blok tersebut, karena Pertamina juga bisa mengintegrasikan pengeloaan blok tersebut dengan blok Ataka, Blok Sanga Sanga dan Blok Mahakam dalam satu hamparan bisa menjadi lebih efisien.

Oleh karena saya menangkap adanya suasana kebatinan di kalangan Direksi Pertamina untuk tidak bisa menolak terhadap adanya pihak pihak yang mampu mempengaruhi pucuk kekuasaan yang ingin mengambil keuntungan dari blok East Kalimantan dengan mengkondisikan Pertamina tidak ekonomis mengelolanya.  

Bahkan dari rumor yang sudah beredar luas di kalangan masyarakat migas adanya muncul duet maut dengan inisial AB sebagai salah satu cowboy Senayan dari elit partai berkuasa dan inisial DP yang namanya sempat disebut sebut dalam drama papa minta saham rajin mengawal proses ini.

Mudah-mudahan saja rumor ini tidak benar adanya, namun tak salah penegak hukum harus peduli memantau gerakan labi-labi bawah tanah ini. [***]

Penulis adalah Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA