Hasil penelusuran terhadap data-data lapangan dan media massa menunjukkan penjualan berbagai produk jauh menurun dibandingkan Lebaran tahun-tahun sebelumnya.
Keluhan tentang kelesuan transaksi jual beli pun disampaikan kalangan pengusaha ritel. Kebangkrutan bisnis ritel 7-Eleven adalah berita mengejutkan di tengah perayaan Hari Raya. Gerai yang biasa disebut Sevel itu kehilangan pasar anak-anak muda. Kalangan remaja dan pemuda kelas menengah bawah memiliki batas kemampuan beli yang merosot, bahkan hanya untuk menikmati kopi. Uang jajan ekstra yang dulunya bisa Rp 35.000-50.000 di kantong, kini tidak ada lagi.
Bukti penjualan yang menurun di masa jelang hari raya juga terlihat di pusat perbelanjaan tekstil Tanah Abang, Jakarta Pusat. Penjualan rata-rata pedagang Tanah Abang diprediksi melorot sampai 30 persen dibanding tahun lalu. Kemerosotan 50-70 persen dikabarkan terjadi merata di Blok A, B dan F.
Rata-rata barang jualan Tanah Abang masih menumpuk di gudang karena tidak terjual. Pembeli dari luar negeri seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan kawasan Afrika mulai kabur. Hasil penjualan rata-rata hanya sepertiga dari biasanya. Ada pula yang cuma mampu menjual 10 persen dari seluruh barang.
Dalam beberapa diskusi terbatas, fenomena melemahnya daya beli masyarakat dikaitkan dengan kinerja dan kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Terutama kebijakan pengetatan anggaran dan pajaknya yang super-konservatif.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan menyebutkan fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam perekonomi nasional, tidak tampak mata tapi terasa secara sungguh-sungguh.
"Semua fakta-fakta itu adalah
warning buat pemerintah dan harus diperhatikan pemerintah secara serius. Jangan hanya berkutat dengan angka-angka di atas kertas saja. Sebaiknya turun ke lapangan. Lihat langsung apa yang sesungguhnya sedang terjadi di bawah," kata Heri kepada redaksi, Selasa (4/7).
Menurutnya, lesunya transaksi jual-beli yang berpengaruh pada merosotnya penjualan hingga 30 persen seperti Tanah Abang, bisa jadi
warning bahwa capaian produktivitas di sektor perdagangan besar dan eceran yang pada tahun 2018 diproyeksikan sebesar 5,5 persen hingga 6,3 persen bisa terganggu.
"Untuk diketahui, daya beli adalah kunci utama pendorong pertumbuhan. Faktor penting yang berpengaruh kuat terhadap pendapatan dan inflasi," ujar Heri.
Selanjutnya, merosotnya produktivitas di sektor perdagangan besar dan eceran sudah pasti akan mengoreksi capaian pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang diproyeksikan pemerintah sebesar 5,4 persen hingga 6,1 persen. Lebih-lebih, berdasarkan data 2016 dan 2017, produktivitas di sektor tersebut bergerak lamban, yaitu hanya 3,9 persen (2016) dan 5 persen (2017).
Dari sisi konsumsi, jelas Heri, produk domestik bruto (PDB) kita sangat bergantung pada konsumsi golongan menengah yang sangat dipengaruhi oleh peningkatan usia produktif.
Ditutupnya Sevel bisa jadi adalah tanda bahwa ada distorsi pada kelompok itu. Hal itu diperkuat oleh fakta bahwa kalangan remaja dan pemuda kelas menengah bawah memiliki batas kemampuan beli yang merosot, bahkan hanya untuk menikmati kopi. Uang jajan ekstra yang dulunya bisa Rp 35.000-50.000 di kantong, makin sulit.
"Apalagi, di daerah-daerah. Jadi, modal usia produktif saja tidak cukup. Kelas menengah itu musti dirawat agar produktif lewat penciptaan lapangan kerja," ungkap Heri.
Soal inflasi masih menurut Heri, harus tetap terjaga sebagaimana proyeksi pemerintah pada kisaran 2,5 persen hingga 4,5 persen. Ada beberapa faktor yang bisa mendistorsi inflasi yang harus diperhatikan antara lain: naiknya permintaan domestik, kecenderungan meningkatnya harga komoditas global, dan kebijakan atas administered price (harga diatur pemerintah) terutama pada barang-barang pokok dan penting (bapokting).
Sedangkan dalam skala makro, melemahnya daya beli bisa jadi karena arah kebijakan yang belum mampu menciptakan
trikcle down effect. Semua masih didominasi oleh sektor finansial. Sektor-sektor produktif masih loyo.
Oleh sebab itu, Heri berpendapat ke depan ada beberapa hal yang musti diperhatikan.
Pertama, sektor perdagangan besar dan eceran musti ditingkatkan kontribusinya hingga minimal 6 persen.
Kedua, perlu peningkatan di sektor pertanian lewat langkah modernisasi dan penerapan teknologi tepat guna. Sampai sekarang sektor ini adalah penyumbang paling kecil terhadap PDB, yaitu hanya berkisar 3 persen hingga 4 persen saja. Padahal, serapan tenaga kerja di sektor itu mayoritas.
Ketiga, akselerasi pembangunan infrastruktur dan perbaikan iklim investasi musti berjalan simultan dan tepat. Sampai sekarang rasio investasi relatif rendah, yaitu masih berkisar 30 persen dari PDB.
"Dengan begitu, harapannya, ke depan ekonomi nasional bisa berjalan lebih baik yang ujungnya bisa berpengaruh pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan daya beli," demikian Heri Gunawan.
[rus]